Linkin Park
Saya tau Linkin Park adalah band besar dan bahkan salah satu band terbesar abad ke-20, tapi saya baru menyadari kalau mereka sebesar itu beberapa waktu terakhir.
Dimulai ketika mereka mengumumkan tur dunia di Brasil yang tiketnya ludes hanya dalam satu jam. Lalu dibuka lagi pembelian tiket untuk konser hari kedua di lokasi yang sama karena banyaknya permintaan, dan habis tak tersisa juga sehari kemudian. Stadion Allianz Parque di Sao Paulo yang jadi tempat konser Linkin Park di Brasil ini berkapasistas 43 ribu penonton. Artinya, ada lebih dari 80 ribu penonton di sana.
Lalu tidak lama setelah konser di Brasil, teman saya yang tinggal di Newcastle ngasih tau kalau dia juga baru saja mengamankan satu tiket untuk konser di Wembley, Juni tahun depan. Besoknya, Linkin Park mengumumkan tiketnya sold out.
Speechless.
Anyway, kayaknya ini bakal jadi tulisan terpanjang tentang Linkin Park yang pernah saya tulis, baik di blog ini maupun di tempat lain.
Saya sudah berkali-kali menulis tentang Linkin Park. Bahkan mungkin tiap album ada minimal satu tulisan, karena saya senang mengomentari album-album mereka yang sejak album Hybrid Theory sampai One More Light selalu menghadirkan suasana baru. Linkin Park sendiri mengakui bahwa mereka selalu bereksperimen tiap album, jadi kecil kemungkinan vibes-nya sama dengan album lainnya.
Menariknya, pada era baru Linkin Park bersama vokalis dan penggebuk drum baru ini, album mereka From Zero menggabungkan semua vibes dari album-album sebelumnya—menjadikannya album berisi lagu-lagu yang semuanya enak didengar, sangat ear catchy hingga bikin eargasm, dan bikin saya sulit menentukan lagu favorit karena semuanya benar-benar enak di kuping.
Dan bukan cuma saya yang notice. Banyak orang yang bahkan bikin konten membandingkan lagu-lagu dari album From Zero ini yang cukup mirip dengan lagu dari album-album sebelumnya. Misalnya seperti "intro" yang mirip dengan "Krwlng" dari album remix Reanimation dan "The Requiem" dari album A Thousand Suns, "The Emptiness Machine" yang mirip banget sama "Guilty All the Same" dari album The Hunting Party, atau gebukan drum lagu "Cut the Bridge" yang hampir sama persis dengan "What I’ve Done" dari album Minutes to Midnight.
Menariknya, kemiripan ini membuat lagu-lagu di album baru ini jadi terasa familiar—beberapa lagu bahkan terdengar seperti lagu klasik, dan karena itu jadi lebih mudah diterima karena ibarat menggunakan formula yang sama dengan lagu-lagu mereka yang sebelumnya sudah terbukti berhasil di pasaran.
Album favorit
Sebelum From Zero, album Linkin Park favorit saya adalah Hybrid Theory dan Meteora. Tentu saja karena ini adalah album yang membuat saya mengenal Mike Shinoda dan kawan-kawan, dan yang membuat saya jatuh cinta pada musik nu-metal. Saat itu saya hanya mengenal genre musik dangdut (akibat besar di lingkungan kampung pencinta dangdut), dan rock dan metal (akibat lingkungan sekolah yang menolak mendengarkan musik dangdut karena dianggap kampungan).
Oh. Perkenalan saya dengan Linkin Park pernah saya tulis di sini, barangkali mau baca (tulisannya masih acakadut, pasti). Dan, ya, sejak saat itu saya jatuh cinta dengan Linkin Park hingga hari ini.
Sejak perilisan single "The Emptiness Machine", saya belum berhenti mendengarkan dan mengikuti update tentang Linkin Park. Makin excited ketika "Heavy Is the Crown" dirilis karena ternyata jauh lebih bagus dari single pertama, dan seterusnya, dan seterusnya. Di album ini, dari lagu satu ke lagu lain hingga akhir, seolah level tiap lagu selalu naik.
Dan saya pun secara resmi menjadikan From Zero sebagai album favorit saya, menggeser posisi Hybrid Theory dan Meteora.
Brad Delson
Ada yang datang, ada yang pergi, kecuali Brad Delson.
Sejak era baru Linkin Park dimulai, Brad Delson sang gitaris memutuskan tidak mau tampil di panggung lagi, tetapi masih ikut terlibat di belakang layar, termasuk masih terlibat dalam pembuatan video klip album From Zero.
Saya ingat, dulu pernah ada yang bilang kalau Brad Delson ini gitaris yang biasa aja. Orang itu mempertebal argumennya dengan bilang Brad tidak pernah memperlihatkan skill bergitarnya di tengah lagu seperti yang sering dilakukan gitaris di band-band populer lain.
Saya setuju dengan argumen yang kedua.
Memang Brad Delson hampir tidak pernah terlihat show off ihwal permainan gitar yang melodik sampai harus terekspos kamera seperti ketika kamera harus menyorot gitaris seperti Slash atau Zacky Vengeance, atau bahkan Eddie van Halen. Alih-alih, Brad lebih suka membuat riff “sederhana” pada tiap-tiap lagu Linkin Park. Sebut saja riff di lagu-lagu seperti "One Step Closer", "Given Up", "Bleed It Out", dan (tentu saja) "A Place for My Head". Riff gitar di lagu-lagu yang saya sebutkan ini bisa dipelajari kurang dari lima menit. Artinya tidak ada yang sulit—semuanya bisa dipelajari dengan mudah. Saya yang hanya bisa bermain gitar dasar pun bisa memainkan riff "A Place for My Head" setelah diajari lima menit oleh teman saya.
Namun justru di situ letak kegeniusan seorang Brad Delson. Riff ciptaannya justru jadi ikonik dan orang-orang bisa langsung mengenal lagu-lagu Linkin Park hanya dengan mendengarkan riff-nya saja. Brad tidak perlu show off, tapi penjualan selalu sold out. Tsah!
Oh, saya juga tidak ingin lupa untuk bilang terima kasih pada Alex Feder yang jadi pengganti Brad Delson selama tur dunia Linkin Park sejak comeback mereka setelah tujuh tahun hiatus. Dia benar-benar menunjukkan dedikasi tinggi tanpa berusaha mencuri perhatian di panggung. Mirip seperti Brad, Mas Alex juga diam-diam mematikan.
Colin Brittain
Tanpa mendiskreditkan Rob Bourdon, penggebuk drum baru di Linkin Park ini buat saya lebih unik. Selain lebih ekstrover, dia juga jago bermain gitar (dan bisa nyanyi) sehingga selalu ada kesempatan dia memperlihatkan kebisaannya di atas panggung selain mukulin drum. Sebelumnya, kita tidak pernah melihat pemandangan ini di konser Linkin Park.
Saya juga merasa Colin sengaja diberi spotlight lebih banyak pada album baru ini untuk memastikan dia diterima dengan baik sebagai pengganti Rob, dan bahwa penggantinya bukan kaleng-kaleng. Penggemar Linkin Park juga pasti tau betapa paripurnanya seorang Rob Bourdon sebagai pemain drum di Linkin Park. Dan kehadiran Colin memastikan Linkin Park tidak salah pilih orang.
Saya juga baru tau kalau ternyata Colin Brittain sudah cukup lama bekerja sama dengan Linkin Park dan Mike Shinoda sebagai produser kreatif, sehingga ketika ia ditunjuk menjadi anggota resmi, dia tidak lagi asing dengan Linkin Park, termasuk dengan LPU yang sungguh suportif dalam kondisi apa pun.
Emily Armstrong
Saya adalah salah satu dari cukup banyak orang awalnya skeptis dengan vokalis baru ini. Bahkan saya sampai menulis khusus tentang dia di postingan ini. Bagaimana tidak, baru 15 menit, suaranya sudah pecah. Meski penampilannya membuka konser dengan "The Emptiness Machine" sangat memukau saya, satu jam setelahnya buat saya cukup memprihatinkan. Satu-satunya alasan saya menonton konser live streaming itu sampai tuntas adalah karena saya ingin menonton Linkin Park. Saya sangat meng-underestimate Emily di situ. Meski begitu, saya tetap memberinya waktu karena tulisan itu saya buat tentu saja sebagai reaksi dangkal saya saja.
Lalu keluarlah single kedua; "Heavy Is the Crown" yang dibarengi dengan konser di beberapa kota di Eropa. Segalanya berubah sejak saat itu. Emily terlihat sekali makin nyaman di panggung, orang-orang makin menerimanya (haters-nya juga tetap banyak), dan dua single awal sudah langsung jadi nomor satu di mana-mana, menjadi bukti kalau lagunya memang mantap—dan Linkin Park memang sebesar itu.
Kemudian single ketiga, "Over Each Other" keluar, Linkin Park seperti ngasih pesan kalau Emily bisa nyanyi tanpa dibantu Mike Shinoda, lo. Tak lama, lagu berikutnya keluar, lalu lagu lainnya, lalu albumnya keluar juga. Dan yang pertama kali terlintas di kepala saya ketika mendengar lagu-lagu di album From Zero: holy shit, this is fucking amazing!
Tiap lagu selalu lebih bagus dari lagu selanjutnya, sampai-sampai saya sulit memilih lagu favorit di album ini. Saat mendengar lagu pertama, saya bergumam: sepertinya ini lagu favorit saya. Lalu terputar lagu selanjutnya, ternyata lebih bagus. Lalu terputar lagu berikutnya, lebih enak lagi—sampai lagu terakhir. In short, lagu-lagu di album From Zero adalah gabungan dari album-album sebelumnya. Rasa nostalgianya kental, klasiknya dapat banget, dan modernnya sudah pasti. Nu-metalnya? Ada banget, meskipun mereka tidak mau mengakui itu. Yang pasti, semua itu menyatu dalam satu album yang bikin saya tidak bisa berhenti mendengarkannya.
Jarang sekali saya menemukan album yang semua lagunya enak didengar dari awal sampai akhir, dan betapa senangnya ketika satu dari sedikit album itu adalah milik Linkin Park.
I feel like I'm 15 years old again.
I noticed this too
Setelah saya perhatikan, Linkin Park punya kebiasaan menyimpan lagu dengan lirik yang paling deep di akhir. Di Hybrid Theory, lagu "Pushing Me Away" liriknya bikin sesak, "Numb" di Meteora udahlah gak usah dibahas, "The Little Things Give You Away" di album Minutes to Midnight yang adalah salah satu lagu favorit saya juga, juga ditaruh paling akhir. Loncat ke album terakhir, From Zero, saya pengin nangis ketika dengerin lirik lagu "Good Things Go". Dan tiap mendengarkannya sambil menutup mata, wajah Chester Bennington selalu terbayang-bayang.
Haters
Saya juga ingin mention soal haters Linkin Park yang ternyata banyak sekali. Saya seperti melihat fans Messi dan Ronaldo berdebat.
Pokoknya sejak kemunculan Emily Armstrong sebagai vokalis baru Linkin Park, pendengar langsung terpecah dua kubu: yang senang sekali; dan yang benci sekali. Rata-rata orang yang benci ini menyebut bahwa 1) Linkin Park adalah Chester, jadi setelah Chester meninggal, Linkin Park sudah tidak ada, 2) Linkin Park bukan lagi Linkin Park, sebaiknya ganti nama saja (clearly they haven’t listened to the new album, but fine), dan 3) Vokalis barunya suaranya gak sebagus Chester—gak suka.
Nah. Pertama-tama, sangat jelas terlihat kalau Linkin Park itu adalah Mike Shinoda dan kawan-kawan. Dia adalah otak utama di balik suksesnya karya-karya Linkin Park. Dia juga yang menemukan Chester dan talenta lain di Linkin Park, maka pernyataan Chester = Linkin Park ini sangat mudah buat dibantah. Orang yang serbabisa di band ini juga Mike Shinoda, kok.
Kedua, Linkin Park tidak pernah lebih Linkin Park dari ini, menurut pandangan saya pribadi. Banyak orang bilang Linkin Park sudah beralih genre setelah Hybrid Theory dan Meteora dan memaki-maki album lain setelahnya. Alasannya sudah saya jelaskan; bahwa mereka senang bereksperimen. Kalau ada yang tidak suka dengan eksperimen itu, sangat wajar, tapi rasanya tak perlu sampai memaki. Saya sendiri tak lantas jadi suka semua lagu Linkin Park hanya karena saya penggemar mereka. Tidak semua lagu di album The Hunting Party dan One More Light saya suka, dan itu sangat wajar. Banyak kok band di luar sana yang dari satu album hanya satu lagu yang dikenal orang, dan itu tidak apa-apa. Saya juga punya pilihan untuk mendengarkan album atau lagu dari band lain tanpa harus membenci apalagi sampai memaki.
Ketiga, saya setuju suara Emily tidak se-oke suara Chester. Dan itu sangat masuk akal. Seorang vokalis, apalagi band kelas dunia, sudah seharusnya punya suara yang tidak bisa ditiru vokalis lain. Karena kalau iya, lalu apa bagusnya vokalis itu? Chester punya suara yang unik, salah satu yang terbaik yang pernah ada, dan tidak akan ada yang bisa menggantikannya. Lagi pula, Linkin Park sendiri tidak bermaksud menggantikan Chester. Mereka hanya ingin move on dan melanjutkan perjalanan, dan mereka memilih Emily dalam perjalanan baru itu. Kalau saya tidak suka, saya punya pilihan untuk berhenti mendengarkannya karena masih banyak lagu lain yang bisa saya dengarkan.
Saya juga tidak suka-suka amat sama suara Emily, kok. Sampai sekarang pun telinga saya masih belum terima dengan baik tiap dia menyanyikan lagu yang pernah dibawakan oleh Chester. Apakah dia jelek? Tidak. Telinga saya hanya tidak terbiasa mendengar lagu Linkin Park yang dulu-dulu dinyanyikan orang lain karena buat saya suara Chester sudah paling pas. Namun saya juga mesti mengakui, vokal Emily di album From Zero sangat luar biasa. Dia berhasil men-deliver tiap lagu dengan sangat-sangat baik.
Lagian juga, orang-orang yang tidak suka Emily di Linkin Park saya yakin adalah orang yang sama yang teriak Linkin Park bukan lagi Linkin Park setelah Hybrid Theory dan Meteora. Jadi pada dasarnya mereka memang bukan penggemar Linkin Park saja—so it’s a good choice to left them behind.
Live concert
Hampir lupa mention soal ini.
Pernah gak, kamu dengar lagu yang bagus banget versi studionya, tapi pas dengerin versi live-nya ternyata kureng?
Saya pernah, bahkan sering banget. Kebiasaan saya memang kalau suka sama sebuah lagu, gak lama pasti akan nyari versi live-nya di berbagai konser di YouTube. Namun dari sepuluh lagu yang versi studionya bagus banget, hanya satu atau dua yang versi live-nya juga bagus. Sisanya, kurang. Bahkan, ada juga yang, sorry to say, jelek.
Beberapa lagu yang saya ingat versi live-nya tidak sebagus versi studionya adalah "You Only Live Once" dari Suicide Silence, "The Final Episode" dari Asking Alexandria (dengan vokalis barunya), dan beberapa lagu dari Twenty One Pilots.
Nah, kalau kebalikannya, pernah gak? Dengerin lagu yang versi studionya bagus banget, pas dengerin versi live-nya ternyata malah ketagihan—pengen dengar lagi dan lagi karena saking bagusnya.
Inilah salah satu alasan yang bikin saya masih suka sama Linkin Park sampai sekarang. Penampilan mereka versi studio dan versi live itu sama, bahkan cenderung lebih baik saat live. Karena sesungguhnya, tidak banyak lagu atau musisi yang bisa tampil seperti ini karena banyak sekali faktor yang mempengaruhi penampilan langsung di atas panggung, dan kalau nemu yang begini sudah pasti akan saya ulang-ulang terus dengar/nontonnya.
Saya ingat pernah suka banget sama satu band, tiap hari saya dengarkan lagu-lagunya sampai bosan. Lalu ketika ada kesempatan ke warnet, saya download banyak sekali video konser mereka untuk saya tonton di rumah. Ternyata versi live mereka kurang oke, jadi saya berhenti menonton konser live mereka dan memilih menikmati versi studionya saja.
Beli Album
Meski suka banget dengan Linkin Park, saya belum pernah sama sekali beli album original atau merchandise original mereka—bahkan ketika saya berkesempatan menonton konser Mike Shinoda di Jakarta tahun 2019 lalu. Dan ada banyak sekali alasan kenapa saya belum melakukannya. Di antaranya 1) Harganya mahal (pajaknya setara harga produknya), 2) Saya tidak punya kartu kredit, 3) Saya tidak suka jastip, dan 4) Semua sudah bisa dinikmati secara digital. Saya baru menyadari sekarang bahwa membeli album mereka adalah satu bentuk menghargai karya artis yang kita sukai karena itu adalah salah satu cara mereka bisa survive di industri itu.
Waktu nonton konser Mike Shinoda, sebenarnya saya kepikiran buat beli kaosnya. Sayangnya ukuran S bajunya seperti ukuran XL buat saya karena saat itu saya kurus kerempeng seperti pohon jagung yang gagal panen. Sekarang mungkin sudah muat ukuran M, tapi karena saya juga masih jadi kaum mendang-mending, jadi saya memutuskan buat beli CD albumnya saja dulu di Amazon. Next, kalau punya uang lagi baru saya beli stiker, gantungan kunci, mug, tumbler, dan kaos kakinya. Kaosnya? Nanti saja kalau saya sudah bosan belanja di Toko Tiga.
Nonton Konser
Menonton konser Linkin Park masuk ke dalam bucket list saya. Atau lebih spesifiknya, daftar 10 hal yang ingin saya capai sebelum meninggal. Setelah Chester meninggal, impian itu saya kubur dalam-dalam. Saya tidak pernah berharap Linkin Park akan kembali lagi. Saya pikir mereka akan selamanya jadi Linkin Park yang mati bersama Chester. Linkin Park pun sudah saya hapus dari bucket list.
Pas tiba-tiba mereka comeback, saya senang sekali sekaligus sedih. Sedih karena saya sedang tidak dalam posisi siap secara materi untuk menonton konser mereka di Jakarta, Februari tahun depan. Meski begitu, saya tetap berdoa semoga saya diberi kesempatan suatu hari untuk bisa menonton konser Linkin Park di negara mana pun yang saya inginkan. Kalaupun tidak kesampaian, seperti kata Chester, in the end it doesn't even matter.