The Emptiness Machine
MUMPUNG KELAS KOSONG, seorang teman mengajak saya untuk menghabiskan sisa waktu jam pelajaran terakhir di rental PS sembari menunggu bel pulang berbunyi. Saat itu gim Winning Eleven adalah gim nomor satu dan semua orang memainkannya. Ya tentu kecuali saya karena saya sama sekali tidak bisa mainnya. Maka teman saya menawarkan permainan lain dan kami sepakat memainkan Metal Slug saja.
Saat tiba di rental PS, belum ada PS yang kosong sehingga kami harus menunggu sejenak. Saat menunggu itulah saya mendengar lagu Linkin Park diputar di radio untuk pertama kalinya, tapi saya belum tau siapa mereka. Saya hanya tau orang-orang menyukainya, jadi saya ikut menikmatinya.
-///-
Tujuh tahun adalah penantian yang cukup panjang sebagai seorang penggemar sebuah band yang vakum. Sejak kematian Chester Bennington, kepala saya selalu berandai-andai: bagaimana seandainya suatu hari hadir vokalis baru, apakah saya akan siap untuk itu?
Pertanyaan itu bukan tanpa alasan. Dalam kurung waktu tujuh tahun, Mike Shinoda menggelar satu tur, kalau tidak salah merilis tiga album, dan banyak sekali kolaborasi dengan musisi berbakat dari industri musik dunia.
Juga, perilisan lagu-lagu yang sebelumnya tak sempat masuk ke album pertama memperlihatkan hasrat tak sabar kembali ke panggung. Namun, saya tidak pernah bisa membayangkan Chester digantikan orang lain.
Teriakan Chester pada lagu “A Place for My Head” adalah suara yang membuat saya jatuh cinta pada Linkin Park. Dan tidak pernah ada yang bisa menandingi kemampuan itu. He’s something different.
Dan vokalis baru itu akhirnya hadir juga.
Tadinya saya pikir saya siap. Ternyata tidak. Bangun jam lima pagi untuk menyaksikan panggung pertama LP sejak kepergian Chester, dimulai dengan satu lagu baru bersama vokalis baru—Emily Armstrong, lalu dua lagu lagi sebelum short speech dari Mike Shinoda membuat saya bergidik, dan masih setengah berharap Chester tiba-tiba muncul di tengah panggung untuk mengejutkan semua orang. Saya tau itu tidak akan pernah terjadi, tapi pikiran bodoh saya tetap mengharap.
Namun, siap atau tidak, saya harus menerima dan mulai terbiasa dengan penyanyi baru. Saya menikmati aksi panggung mereka selama satu jam, tetapi menahan napas pada beberapa bagian—masih berharap bagian-bagian itu diisi Chester.
Tetap saja, Emily bukan Chester dan dia tidak akan pernah menggantikannya. Dan saya harus menerima keputusan mereka, karena itulah yang terbaik. Lagi pula, manggung lagi setelah tujuh tahun vakum sudah lebih dari kabar baik, ‘kan?
Emily Armstrong
Gosip-gosip soal vokalis baru perempuan ini memang sebenarnya sudah banyak dibicarakan di jagat maya. Ya, namanya juga one of the biggest bands of the 21th century. Media-media musik tak mungkin tutup mata dan pura-pura tidak tau rumor itu.
Bahkan, sampai ada yang membuat teori sendiri-sendiri.
✅ Harus perempuan biar enggak dibanding-bandingin
✅ Harus nama yang tidak terkenal
✅ Harus ganti nama band
❌ Harus anggota partai.
Dari banyaknya nama yang terseret, saya ingat beberapa nama yang paling sering dibuat bercandaan. Mulai dari Corey Taylor, Oliver Sykes, sampai Deryck Whibley yang sampai harus repot-repot bikin klarifikasi bersama bandnya saking mengganggunya rumor-rumor itu.
Saya sendiri salah satu yang percaya vokalis baru Linkin Park nanti adalah perempuan, tapi—untuk siapanya, tebakan saya meleset jauh. Bonnie Fraser adalah nama yang paling pertama muncul begitu saya mendengar dia di sesi bersama Shinoda di Australia. Tetap tak bisa menggantikan Chester, tetapi bisa saya terima jika dia adalah vokalis pengganti. Suaranya khas, sama seperti Chester. Dan yang paling penting, bisa scream.
Saya tak bisa bilang Emily Armstrong jelek. Sesungguhnya penampilan dia sangat bagus. Saya bahkan dibikin merinding di beberapa lagu awal. Scream yang powerful dan suara yang juga khas. Saya hanya belum bisa sreg, terutama ketika memasuki pertengahan show dan suaranya mulai habis. A bit disappointing, but understandable.
The Emptiness Machine
Judul yang catchy. Saya juga baru ngeh kalau lagu ini yang dibawakan sebagai pembuka show kemarin. Lagunya bagus sekali. Saya suka. Dan ini adalah musik Linkin Park pasca The Hunting Party. Tapi, saya tidak (atau setidaknya belum) melihat Emily menyatu dengan Linkin Park. Rasanya seperti melihat Linkin Park melakukan featuring dengan penyanyi lain, sama seperti ketika Mike Shinoda featuring dengan Upsahl, Grandson, atau F.Klay. Emily bisa digantikan oleh penyanyi di genre yang sama dan orang mungkin tidak akan mencari Emily lagi. Setidaknya itu yang saya rasakan.
Namun, ada satu hal menarik yang saya soroti. 1) Saya tidak ingat Mike Shinoda memperkenalkan Emily sebagai vokalis baru secara terang, dan 2) Mike menunjuk penonton sebagai pengganti suara Chester Bennington, alih-alih Emily. Asumsi saya, bisa jadi Emily Armstrong belum menjadi vokalis tetap di Linkin Park alias masih magang. Asumsi ini didukung fakta bahwa band dia, Dead Sara juga masih aktif dan menyatakan tidak bubar. Maka, bisa jadi Emily adalah bagian dari proyek tur Linkin Park, tidak lebih.
Menonton Ulang
Setelah selesai menonton show-nya subuh hari, malamnya saya langsung menonton ulang dan berharap feel-nya sudah dapat. Sayang, saya masih belum sanggup menerima Emily Armstrong dan kembali memutar ulang konser Live in Texas dan Rock am Ring. Kemudian saya menyadari satu hal: Linkin Park is too heavy and too big for her. Truly sorry for saying this, but I have to. I friend said, “Give her a chance”. I will. I’m just not ready, yet.
From Zero
Terlepas dari semua itu, sebagai penggemar saya jadi makin tidak sabar untuk menunggu album terbaru mereka setelah tujuh tahun vakum. Saya tidak akan berharap lagu-lagu seperti album-album awal, karena sejatinya mereka sudah meninggalkan genre itu. Chester sendiri mengaku tak kuat lagi teriak lama-lama ketika ada yang protes kenapa genre musik LP berubah jadi makin soft. Saya masih berharap kejutan lain setelah ini—seperti kembalinya Rob Bourdon, misalnya.