A Place for My Head
PHOTO: Free-Photos on Pixabay |
Judul : A Place for My Head
Penyanyi : Linkin Park
Album : Hybrid Theory
Tahun : 2000
A
Place for My Head adalah lagu pertama yang bikin gue jatuh cinta sama LinkinPark, hingga sekarang. Sebelumnya gue hanya sekadar suka sama lagu-lagu mereka
seperti In the End, Papercut, Crawling, dan One Step Closer.
Semua
dimulai ketika gue baru masuk SMP, mengenal dunia musik, dan sok-sokan jadi
anak band. Gue ikut jadi peserta di bazaar musik yang digelar di lapangan depan
sekolah, gue dan empat anggota band lainnya waktu itu tampil kedua terakhir
membawakan dua lagu, Bayang Semu dari Ungu dan satu lagu yang mungkin sekarang
nggak ada yang pernah dengar lagunya lagi: Permen Karet – Bosan.
Ya,
di masanya lagu-lagu sejenis sangat digemari, kok.
Setelah
turun dari panggung, niatnya kami mau langsung pulang aja karena pas lagu kedua
sempat ada yang miss antara gitaris dan drummer jadi kami udah nggak berharap
apa-apa lagi. Tapi karena MC keburu teriak kalau peserta tinggal satu, jadi
kami tinggal dan menyaksikan penampilan terakhir dari total sekitar duapuluhan
band yang tampil malam itu.
Band
yang tampil terakhir ini pakai keyboard dan bawa gitar dan bass masing-masing.
Waktu itu band yang punya keyboardist menurut kami satu level di atas mereka
yang cuma pake alat yang disediakan panitia pelaksana acara. Personelnya juga
terlihat lebih dewasa, beda banget dengan kami yang masih dibawain tisu sama
emak kalau mau ngelap ingus.
Gue
suka lagu-lagu yang keras dan musiknya unik seperti lagu-lagu Alesana. Dan A
Place for My Head juga sama uniknya. Setelah vokalis I selesai memperkenalkan
diri dan anggotanya yang dibarengi dengan mulainya intro, vokalis II datang
dari belakang dengan penuh tenaga meloncat dari panggung setinggi satu meter
sambil menyanyikan bait pertama lagu diikuti hentakan musik yang luar biasa
keras.
Lalu
panggung roboh.
Nggak,
ding.
Walaupun
suara si vokalis I jauh banget jutaan kali dari suara Chester Bennington, tapi
alunan musik mereka nggak ada miss sama sekali dan scream si vokalis II lumayan
bikin penonton tercengang. Gue sempat ngelihat ada bapak-bapak yang nggak jadi
nguap ketika lagu sampai di bagian lirik “You try to take the best of me, go
away!”
“Ini
lagu siapa ya?” tanya ke gue drummer gue yang belakangan mengaku merasa
bersalah lupa gebukan drum.
“Linkin
Park,” jawabnya sambil teriak.
“Judulnya?”
“Nggak tau, lupa. Itulah pokoknya.”
Gue
lupa band penutup ini nyanyi lagu apa di lagu kedua mereka, gue juga nggak
terlalu peduli karena udah sibuk mikirin lagu Linkin Park yang mereka bawakan
pertama tadi.
Besoknya gue langsung nyari daftar lagu-lagu Linkin Park di
warnet dan muterin lagunya satu per satu tapi nggak nemu satu pun lagu itu dari
13 lagu yang gue putar. Belakangan gue baru sadar kalau ternyata gue muterin
lagu dari album Meteora sedangkan lagu A Place for My Head ada di album Hybrid
Theory. Gue emang dulu agak goblok sih, walaupun sekarang makin.
Tapi
gara-gara itu, gue juga jadi ketemu lagu-lagu bagus lainnya seperti Breaking
the Habit, From the Inside, Numb, Somewhere I Belong, Faint, Lying from You,
hingga akhirnya gue menyukai semua lagu yang ada di album ini. Gue baru
menyadari salah album ketika kembali lagi ke warnet beberapa hari berikutnya.
Tidur gue nggak nyenyak mikirin lagu itu. Gue pengin dengerin versi aslinya,
cetak liriknya ke kertas HVS, dan ngafalin sampai mampus. Karena waktu itu juga
gue belum punya handphone jadi agak susah kalau mau dengerin lagunya
sewaktu-waktu. Tapi untunglah beberapa minggu setelah gue tau lagunya, gue bisa
beli CD-nya di pasar.
Iya,
bajakan.
Harganya
lima ribu rupiah.
Dan
videonya Curt Cobain nyanyi Smell Like Teen Spirit.
Gara-gara
ketidaksabaran gue kalau lagi penasaran sama sesuatu itulah yang bikin gue
akhirnya jatuh cinta sama Linkin Park. Belakangan ketika gue udah mulai mencari
tau arti lirik lagu-lagu mereka, gue juga jadi tau kalau ternyata lagu-lagu Linkin
Park nggak cuma enak didengar, tapi juga lirik-liriknya penuh makna dan bisa
jadi motivasi untuk orang-orang dengan masalah hidup yang kompleks. Sampai
akhirnya gue beranjak dewasa, mengenali Chester lebih jauh, mengalami kejadian
yang serupa tapi tak sama, dan segalanya menjadi semakin bangsat.
Separuh lagu-lagu Linkin Park yang dinyanyikan Chester mewakili jutaan perasaan pendengarnya. Membantu mereka keluar dari keterpurukan lewat lagu-lagu itu, dan berakhir menjadikan diri Chester sendiri sebagai “tumbal”. Sungguh ironi dramatik yang terlambat disadari semua orang.