Messi Atau Ronaldo?
KEBENCIAN TERHADAP RONALDO dan Messi dari masing-masing penggemarnya makin lama makin mengganggu. Setiap kali ada postingan di media sosial tentang Messi, selalu ada komentar yang menjatuhkannya dan menganggap Ronaldo lebih baik.
Pun sebaliknya.
Mereka selalu ribut dan saling mempertahankan argumen tentang siapa yang lebih baik di antara keduanya. Padahal, jika melihat dari sudut pandang penggemar sepakbola netral, kita cukup menikmati dan mengakui bahwa Messi dan Ronaldo adalah dua pemain terbaik yang pernah hadir di generasi kita tanpa harus mendiskreditkan salah satunya.
Alih-alih menganggap Messi lebih baik dari Ronaldo atau sebaliknya, saya lebih memilih untuk menikmati keindahan sepakbola yang lahir dari kaki keduanya. Buat saya, Messi adalah bukti bahwa ada manusia yang dilahirkan dengan bakat alami, sedangkan Ronaldo adalah bukti nyata dari apa yang disebut kerja keras. Bagi yang mengikuti sepakbola di luar pertandingan selama 90 menit di lapangan pasti tau bahwa Ronaldo selalu datang ke tempat latihan paling awal dan pulang paling akhir. Bagi yang terbiasa menonton sepakbola secara langsung, juga pasti tau bahwa cara Messi memainkan bola di kakinya adalah bakat alami yang membuatnya berbeda dari pemain lain.
Namun kita juga perlu tau bahwa 1) kerja keras saja tidak cukup buat bikin Ronaldo bisa sesukses sekarang sebagai pesepakbola. Ia tentu punya kemampuan dasar sepakbola yang terus ia latih sejak kecil, 2) bakat alami tidak akan membawa Messi ke panggung sepakbola internasional jika ia tidak melatihnya secara terus-menerus, dan 3) Ronaldo dan Messi takkan tiba di titik karier mereka sekarang jika tidak pernah ada talent scout yang melihatnya.
Jadi, bakat alami, kerja keras, dan segala tetek-bengeknya itu takkan pernah kita temui jika semesta tidak saling mendukung untuk menemukannya. Ronaldo dan Messi juga mendapat restu dari orangtua untuk bisa mengejar impian mereka. Itu juga poin penting, sebab banyak talenta berbakat yang pada akhirnya tak mendapat tempat karena terhalang kendala berbabak-babak. Contoh fananya adalah Si Madun. Madun adalah talenta berbakat yang tak direstui orangtuanya sehingga alih-alih menjadi pesepakbola profesional, ia malah masuk pesantren dan jadi guru ngaji. Padahal, bakatnya ada di sepakbola.
Contoh yang lebih nyata adalah suami dari sepupu saya. Buat saya, dia amat sangat berbakat. Dan sampai hari ini saya masih mengagumi bakat dia yang 1) bisa memetik buah kelapa langsung dari pohonnya dengan memanjat dengan tangan kosong hanya dalam hitungan detik—saya percaya banyak atlet panjat tebing yang bakal minder melihatnya, 2) bisa menangkap ikan di danau dengan tangan kosong, dan 3) bisa memanah burung dari jarak puluhan meter tanpa meleset meski dengan peralatan seadanya. Namun bakatnya hanya diketahui orang-orang di kampung kami, tak pernah dilirik untuk menjadi atlet, dan kini ia bekerja sebagai nelayan pada hari biasa dan kerja sambilan sebagai tukang cukur rambut pada akhir pekan.
Maka, ketika ada talenta hebat yang mendunia seperti Messi dan Ronaldo, kenapa kita lebih sibuk berdebat sampai berkata kasar siapa yang terbaik alih-alih duduk diam dan menikmatinya saja? Messi dan Ronaldo bahkan tidak pernah ribut di dalam dan luar lapangan—hubungan mereka baik-baik saja selama lebih dari 20 tahun mereka menjadi pesepakbola.
Sekarang adalah tahun-tahun terakhir Ronaldo dan Messi menjadi pesepakbola profesional. Saya percaya, dalam lima tahun ke depan mereka berdua sudah pensiun—sebagai catatan: Messi bahkan sudah pernah pensiun dari timnas Argentina. Dan begitu mereka berdua pensiun, penggemar sepakbola akan tiba pada salah satu hari paling menyedihkan dalam hidup mereka. Sebab, ada jutaan orang di dunia yang menyukai sepakbola dimulai dari Messi dan Ronaldo, dan mungkin menjadi alasan mengapa mereka masih menonton sepakbola hingga hari ini. Maka, alih-alih berdebat sebenarnya lebih baik menikmati hari-hari terakhir kehadiran mereka di lapangan hijau.
Namun kemudian saya juga ingat, ketika jadi tamu dan membahas sepakbola di podcast salah seorang teman, saat menyinggung hal ini dia sempat bilang, “Ya, kurang lebih begitulah nasib media sosial kalau diisi orang-orang yang belum cukup umur, tapi sudah boleh pegang ponsel.”