Anna
Ini adalah cerita bersambung, dan kalian sedang membaca cerita pertama.
Cerita kedua: Sesuatu yang Lain
Cerita ketiga: Insiden
Cerita keempat: Kepulangan
-///-
Sore itu, aku sedang duduk di ujung dermaga bersama Anna. Di bawah sana, aku dan dia memandangi bebatuan yang diempas ombak tanpa henti.
Cerita kedua: Sesuatu yang Lain
Cerita ketiga: Insiden
Cerita keempat: Kepulangan
-///-
Sore itu, aku sedang duduk di ujung dermaga bersama Anna. Di bawah sana, aku dan dia memandangi bebatuan yang diempas ombak tanpa henti.
“Lihat,
ada kepiting!” serunya.
“Ya,
aku melihatnya.”
“Itu
makanan favoritmu, kan?”
“Ya,
tetapi itu tidak bisa dimakan.”
“Apa
maksudmu?”
“Kepiting
batu dagingnya tidak enak.”
“Kau
pernah mencobanya?”
“Tidak.”
“Bagaimana
kautahu?”
“Orang-orang
bilang begitu.”
Aku
menarik napas panjang. Kulihat ia melakukan hal yang sama. Aku mencoba
memikirkan hal lain untuk aku jadikan bahan obrolan selanjutnya. Akan tetapi,
pikiranku selalu melayang ke masa-masa yang tidak lagi bisa terulang.
“Kadang-kadang,
aku masih suka memandangi langit dan berharap tidak sendirian,” suaraku
kemudian.
“Ya,
aku pun,” jawab Anna. Aku menatapnya dengan sedikit sinis.
“Aku
juga masih suka mempelajari tentang bagaimana satu jam di luar angkasa bisa
setara dengan bertahun-tahun waktu di Bumi. Itu mengesankan.”
“Sebetulnya,
kita belum membuktikannya.”
“Tetapi
aku tetap percaya.”
Beberapa
orang lewat di belakang kami, menatap kami yang duduk di pinggir dermaga, yang masih
menatap bebatuan dan segerombol kepiting yang menghindari ombak. Tanganku tidak
sengaja menyentuh tangan Anna, dan ia menjauhkan tangannya dariku. Secara
refleks, aku mengangkat tanganku ke udara.
“Maaf,”
kataku.
“Bukan
masalah,” jawabnya.
Matahari
sebentar lagi tenggelam. Jingganya petang ini tidak sempurna, tertutup awan, sementara
bulan belum muncul di sisi lainnya.
“Aku
sangat bahagia denganmu,” kataku lagi. Aku tidak tahu kenapa suasana menjadi
sangat kikuk seperti ini. Padahal, suara ombak dan angin sejuk ini seharusnya
bisa lebih menenangkan suasana.
“Aku
juga bahagia,” katanya.
“Akupikir,
kita bisa jadi pasangan paling bahagia.”
“Tentu
saja.”
Kami
diam cukup lama untuk kesekian kalinya. Aku, ingin sekali memeluk Anna. Namun,
selalu akutahan karena aku tidak ingin merusak semuanya.
Masih
kupandangi bebatuan yang tidak bergerak sedikit pun meski diterjang ombak tanpa
henti. Akuraba batu-batu kecil yang bisa akuraih dengan tangan kiri.
“Kautahu,
Anna,” kataku. “Di kehidupan selanjutnya, aku ingin hidup kembali sebagai
batu.”
“Kenapa?”
Ia memandangiku dengan tatapan heran. Dahinya mengernyit. Tiga baris di
keningnya menandakan ia tidak muda lagi. Sama sepertiku.
“Agar
tidak ada yang bisa menyalahkanku.”
“Maksudmu?”
“Kau
tidak bisa menyalahkan batu jika kau gagal dalam karir maupun asmara.”
“Aku
tidak mengerti maksudmu.”
“Ya,
begitulah.”
Sudah
dua tahun—jika aku tidak salah ingat—aku terakhir kali bertemu dengan Anna. Ia
terlihat lebih tua, tetapi tetap cantik seperti saat pertama bertemu beberapa
tahun lalu.
Aku
bahkan masih ingat, ketika itu ia mengenakan kemeja putih kesukaannya, celana
jins hitam, jaket cokelat yang warnanya sudah lusuh, dan kacamata bulat yang
menambah kecantikannya.
Itu
pertama kali kami bertemu.
Kami
melanjutkan hubungan dan semua berjalan baik-baik saja, sampai suatu hari aku
menemukan foto Anna bersama laki-laki lain.
“Ya,
aku sudah menikah,” akunya.
“Akupikir
kau masih sendiri.”
“Tadinya.
Namun, aku berubah pikiran.”
Aku
berusaha bertingkah seolah semuanya baik-baik saja.
“Bukan
masalah. Aku juga sudah menikah, jika kau ingin tahu.”
Hari
itu aku menghabiskan waktu dengan membenamkan diri di kasur. Begitu juga dengan
hari-hari berikutnya sampai aku tidak bisa lagi menghitung berapa banyak waktu
yang akuhabiskan hanya untuk menangis.
Aku
tidak tahu kenapa orang-orang begitu senang memulai hubungan dengan kebohongan.
Namun, akuanggap semua itu sudah berlalu, dan di sinilah aku petang ini,
menatap Anna begitu dalam.
…dan
kikuk.
Matahari
sudah menghilang, dan bulan sudah muncul meski hanya separuh.
Anna
berdiri dan menepuk bagian belakang celananya yang dipenuhi butir pasir. Aku
melakukan hal yang sama.
“Kautahu,
aku ingin sekali memelukmu. Aku adalah satu dari sekian banyak orang yang
menyukai aroma tubuhmu, dan mengagumi bentuknya.”
Anna
tidak menjawab. Ia menatap ujung dermaga. Di sana berdiri lelaki yang baru saja
ia nikahi.
“Adam
sudah datang, kau boleh pergi,” kataku.
“Kautahu,
sebetulnya aku suka tempat ini.”
“Ya,
tentu. Di sini kau bisa menyaksikan pemandangan matahari terbenam paling indah
di kota ini.”
“Bagaimana
caranya agar aku tidak usah pergi dari sini?”
“Tidak
ada cara, Anna. Kau telah memutuskan.”
Tanpa
kata, ia pun meninggalkanku di ujung jauh dermaga. Ia menghampiri lelaki yang
tidak pernah aku kenal, tetapi membencinya dengan sangat.
Mereka
pergi dengan mobil hitam kesayangan Anna. Aku menaiki sepeda motorku, memakai
helm, dan menancap gas menembus angin yang cukup dingin. Angin dermaga memang
selalu dingin.
Setengah
perjalanan, aku mampir ke sebuah kedai kecil untuk membeli minuman. Aku duduk
di atas motor dan menenggak minumanku. Seorang perempuan menghampiriku.
“Kau
terlihat berantakan. Apa kau sedang patah hati?”
“Oh,
kau pasti tertipu. Ini adalah hari paling bahagia dalam hidupku.”
“Oh,
aku tidak menyangka itu.”
“Aku
bisa jamin demikian.”
Ia
duduk di atas sepeda motor yang terparkir di sebelahku. Aku cukup yakin itu bukan
miliknya.
“Kau
tukang parkir di kedai ini?”
Tentu
saja aku bercanda. Wajahnya tidak cocok untuk profesi itu. Rambutnya yang
kuning sebahu dan matanya yang biru seperti laut membuatnya lebih pantas sebagai
aktris.
“Tidak,”
jawabnya. “Aku hanya mampir.”
Aku
meneguk habis minumanku dan melempar botolnya ke tong sampah di samping kedai.
“TIGA
POIN!” seruku.
“Oh,
aku harus pergi,” kata perempuan itu.
“Ya,
aku pun.”
“Arah
mana?”
“Aku
pastikan tidak searah denganmu.”
“Baiklah.”
“Kau
punya mata yang bagus,” kataku lalu menyalakan mesin motor.
“Terima
kasih,” jawabnya. “Ngomong-omong, namaku Anna.”
Aku
cukup terkejut.
“Oh,
hai, Anna. Aku Adam. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi!”
Aku
menjabat tangannya dan menancap gas setelahnya. Tentu saja, aku mengarang nama
itu.