Insiden
Dua
pertemuan tak disengaja dengan Anna di depan kedai kecil dan kafe malam itu, kini
membawaku ke pertemuan-pertemuan lain dengannya. Anna yang satu ini sungguh
berbeda dengan Anna yang mengkhianatiku sekitar setahun lalu. Yang ini, ia
pantang menyerah dan selalu sukses membangunkanku dari lamunan tentang Anna
yang satu lagi.
Malam
ini, kami berada di kafe lagi. Kafe yang sama dengan sebelumnya. Akan tetapi,
aku tidak ingat ini sudah pertemuan keberapa. Aku tidak terlalu pandai
menghitung hari, mungkin kecuali hari-hari yang telah aku jalani tanpa Anna.
Oh, tidak. Aku bahkan tidak ingat itu secara pasti.
Aku
menyeruput kopi sambil memandang keluar jendela yang kini tidak lagi hujan.
“Kau
terlihat senang,” kata Anna.
Aku
melirik ke arahnya. “Kau dari tadi memandangiku?”
“Tidak
juga.”
“Berapa
lama?”
“Mungkin
sekitar semenit.”
“Jika
seseorang menatapmu lebih dari sepuluh detik, maka ada dua hal. Ia ingin
membunuhmu, atau ia ingin tidur denganmu. Kau yang mana?”
“Yang
pertama mengerikan. Yang kedua, sepertinya menyenangkan.”
“Kau
tidak menjawab pertanyaanku.”
“Memangnya
kau tidak ingin bersenang-senang?”
“Aku
sudah terbiasa dengan kengerian.”
“Bahkan
denganku?”
Aku
menatap matanya dalam-dalam. “Aku sedang ingin menikmati kopiku saja.”
“Baiklah,”
katanya, mengunyah kentang goreng dengan ekspresi kesal.
Pengunjung
perlahan mulai meninggalkan kafe, pertanda sebentar lagi akan tutup.
Aku
masih menyeruput kopi sedikit demi sedikit, sementara Anna masih sabar
memperhatikanku. Aku tidak tahu mengapa ia begitu tahan dengan sikapku yang menyebalkan
ini. Bahkan, kadang-kadang aku sendiri kesal dengan sikapku.
“Akutahu
apa yang sedang kaupikirkan,” kata Anna tiba-tiba.
Aku
sedikit terkejut, tetapi berusaha tetap santai. Aku tidak percaya dengan orang
yang bisa membaca pikiran.
Aku
diam cukup lama sebelum akhirnya membuka suara lagi.
“Apa
kau tidak bekerja?”
“Maksudmu?”
“Kau
selalu mengajakku keluar setiap malam.”
“Aku
kerja pada siang hari.”
“Akutahu.
Maksudku, apa kau tidak lelah, atau butuh istirahat setelah bekerja?”
“Bagiku,
menatapmu sedekat ini adalah istirahat,” katanya sambil menggigit kentang
goreng. “Oh, dan sekaligus kedamaian.”
“Orang
aneh!” jawabku.
Salah
satu pekerja di kafe ini mengusir kami dengan halus. Ia sengaja membanting
salah satu perabot dengan keras, dan saat aku dan Anna refleks melihat ke
sumber suara, wajah pekerja itu sungguh kusut seperti alas tempat tidur sehabis
dicakar-cakar anak harimau.
Aku
dan Anna pun memutuskan untuk turun ke jalan dan berjalan kaki. Cuaca malam
yang cerah seperti mengubah sesuatu di dalam diriku. Aku mendadak suka dengan
kota ini.
“Kautahu,
Anna. Sebenarya aku masih tidak paham kenapa kau menggangguku.” Aku mulai
membuka percakapan lagi ketika kami sudah berbelok ke salah satu gang.
“Jadi
kau merasa terganggu dengan kehadiranku?”
“Mengganggu
dalam tanda kutip,” ralatku, sebelum Anna marah. Sebenarnya aku bisa saja
menjawab “iya” dan membiarkan ia marah lalu aku kembali menjalani hari-hariku
sendirian. Namun, entah kenapa mulutku refleks meralatnya.
“Apa
kautahu kalau di dunia ini setidaknya akan ada satu orang yang sangat mencintaimu,
akan ada satu orang yang sangat membencimu, akan ada satu orang yang
mengkhianatimu, dan satu-orang-satu-orang lainnya?”
“Aku
baru tahu itu.”
“Aku
bisa jamin, iya.”
“Kaubaca
teori itu dari mana?”
“Aku
mengarangnya, baru saja.”
Aku
tertawa cukup keras mendengar jawaban konyolnya. Akulihat, ia juga tertawa
kecil sambil menatapku.
“Kau
punya selera humor yang bagus, tetapi kau lupa menjawab pertanyaanku.”
“Oh,
aku tidak lupa,” katanya. “Sekarang begini. Apa kau sudah tahu orang yang
sangat membencimu?”
“Aku
tidak tahu kalau ada orang yang begitu membenciku.”
“Kalau
begitu kita sepakat saja, belum. Bagaimana dengan orang yang sangat
mencintaimu?”
“Tadinya
akupikir itu adalah Anna. Ternyata salah.”
“Hm.”
“Maksudku
Anna yang satu lagi, bukan kau.” Ia hanya menatapku dengan senyum.
“Bagaimana
dengan yang mengkhianati?”
“Akurasa
jawabannya adalah Anna,” kataku, “dan langsung aku klarifikasi, Anna yang satu
lagi.”
“Akutahu.”
“Tetapi
aku belum menangkap poinmu,” kataku.
“Kau
harus memasukkan bola ke dalam keranjang untuk dapat poin.”
“Ah,
kau ini!”
Anna
lagi-lagi tersenyum. “Sepertinya kau memang sedang banyak pikiran untuk
menangkap maksudku,” katanya.
“Pikiranku
baik-baik saja,” elakku.
“Oh
ya?”
“Ya.”
“Seberapa
yakin kau dengan itu?”
“Sangat
yakin?”
“Mana
sepeda motormu?”
Ya
Tuhan!
Aku
melupakan sepeda motorku di parkiran kafe. Aku benar-benar lupa kalau aku
datang dengan sepeda motor.
“Kau
... kau sadar kalau aku melupakan sepeda motorku di sana dan kau baru
memberitahuku setelah kita berjalan sejauh ini?”
Anna
menertawaiku. Aku buru-buru berjalan balik dan ia mengikutiku. Sepertinya kami
sudah berjalan beberapa kilometer.
“Tiga
kilometer,” katanya. “Jarak dari gang ini ke kafe, tepat tiga kilometer.”
Aku
tidak menggubris, berjalan dua kali lebih cepat dari sebelumnya, dan kali ini
dengan perasaan kesal. Baik, aku mengaku. Aku berjalan dengan rasa malu.
Kafe
yang tadi kami datangi sudah tutup, dan sepeda motorku terparkir sendirian di
sana. Aku mengelap joknya yang sedikit basah sebelum menaikinya.
“Cuaca
malam ini sedang cerah,” kata Anna.
Aku
menatap langit. “Ya, cerah sekali. Aku lupa kapan terakhir kali aku melihat
langit secarah ini,” ungkapku.
“Kau
ingin langsung pulang?”
Aku
menatap Anna yang berdiri di depan sepeda motorku.
“Kau
tidak sedang berharap aku akan memintamu membonceng, kan?”
“Tentu
saja tidak.” Ia membalik badan dan berjalan menjauh.
***
Sepeda
motorku melaju dengan kecepatan cukup kencang, menyusuri kota yang langitnya
sedang bagus-bagusnya. Berhubung helm yang aku kenakan tidak ada kacanya, aku
memakai kacamata agar debu tidak masuk ke mataku.
“Akutahu
kau sedang senang, tapi bisakah kau pelan sedikit?” teriak Anna yang membonceng
di belakang.
“Aku
tidak mendengarmu!” seruku, berpura-pura.
“Pelankan
laju motormu, bodoh!” Aku memelankan laju sepeda motorku sesuai keinginannya. “Kau
ini ingin mati, ya,” katanya lagi.
“Dengan
kecepatan seperti ini, kita bisa ditangkap polisi dengan mudah. Kau harusnya
memakai helm.”
“Di
daerah ini tidak pernah ada polisi lalu lintas.”
“Kalau
ada, kau yang bertanggung jawab.”
Aku
berusaha mencari jalan yang menurutku dan Anna tidak akan dilewati polisi yang
akan menilang kami; jalan-jalan sempit dengan gedung-gedung tinggi tetapi kumuh
dan penuh gelandangan di sepanjang jalan.
Di
belokan kesekian, seseorang menyeberang jalan tiba-tiba dan aku refleks menarik
rem depan, membuat aku kehilangan keseimbangan. Aku terjatuh dan akulihat tangka
sepeda motor berada di atas kepalaku. Sesuatu menghantam bagian belakang kepalaku
dan aku mendadak tidak sadarkan diri.