Leo
Rumah Sejuta Martabak
Mars, TX 75778
Baca
tulisan pertama di sini: Cancer
Baca
tulisan kedua di sini: Taurus.
Perempuan
Leo yang pernah gue kenal di masa lalu ini adalah salah satu perempuan yang
sangat sulit gue pahami. Gue adalah orang yang selalu memulai segala sesuatunya
dari obrolan, dan dia susah sekali nyambung dengan berbagai obrolan.
Dia
suka bola, gue suka bola. Gue suka MU, dia pun (katanya sih) suka. Tapi ketika
gue tanya siapa pemain favoritnya, dia malah menjawab Alessandro del Piero. Mau
gue koreksi, nggak enak. Nggak gue koreksi, jadi awkward.
“Oh
ya? Kenapa, kok kamu sukanya sama Del Piero? Biasanya kan cewek-cewek sukanya
Ronaldo atau Nick Powell gitu.”
“Karena
Del Piero ganteng, mirip Valentino Rossi.”
Kalau
pertanyaan berikutnya gue lontarkan, bisa jadi gue akan mendengar nama-nama
lain yang nggak ada hubungannya sama sepakbola seperti misalnya Tiger Woods,
Serena Williams, atau mungkin Inul Daratista. Jadi gue memutuskan diam dan
percakapan tidak mengalir ke mana pun.
Ujung-ujungnya
tetap jadi awkward.
Kami
lebih banyak menghabiskan waktu dengan diam tanpa kata.
…tapi
tangan meraba-raba.
YA
ENGGAK LAH!
Karena
baru awal-awal kenal, jadi gue merasa mungkin karena masih baru jadi kami masih
malu-malu untuk membahas percakapan yang lebih-lebih. Mungkin juga, membahas
sepakbola dengan perempuan adalah kesalahan meskipun dia mengaku suka
sepakbola. Karena kebanyakan perempuan, yang gue tahu, suka sepakbola bukan
karena dribbling bolanya atau karena skill rabonanya yang mumpuni, tapi karena
gantengnya. Mereka pasti tau ketika ditanya kenal Cristiano Ronaldo atau Paulo
Dybala, tapi pasti menggeleng ketika ditanya siapa itu Bacary Sagna atau
Eliaquim Mangala. “Entahlah, pembaca kartu tarot? Atau manajer pasar malam di
bilangan Jakarta Utara mungkin?”. Kira-kira begitulah jawabannya. Padahal dari
segi kemampuan, Dybala nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan Sagna. Istri
Sagna juga seorang model cantik, for your additional information, tapi
kebanyakan perempuan pasti nggak kenal.
Gue
yang pada saat itu hanya akan sangat nyambung ketika diajak bahas bola, harus
memutar otak untuk bisa menciptakan percakapan yang membuatnya tertarik. Lalu gue
mulai mencari tahu karakter perempuan Leo.
Katanya,
Leo itu suka memimpin, murah hati, penuh gaya, aristokratik, congkak, dan penuh
percaya diri. Sayangnya, gue nggak menemukan sifat suka memimpin di dalam diri
Leo yang satu ini karena setiap kali gue tanya “mau makan di mana?” selalu
dijawab dengan “terserah!” sambil mengeluarkan api dari hidungnya. Kalau soal
penuh gaya dan percaya diri, mungkin iya. Gara-gara hal itu, gue yang dari dulu
selalu bergaya apa adanya jadi jiper dan kehilangan percaya diri karena gayanya
dia yang selangit dengan percaya diri yang sama tingginya. Kalau lagi jalan
sama dia, gue lebih mirip asisten pribadi daripada kekasih. Untungnya gue nggak
pernah diminta bawain tasnya. Kalau iya, beneran gue akan resign sebagai pacar
dan minta diangkat jadi asisten rumah tangga di keluarga besarnya saja.
Karena
dia kuliah di jurusan Sastra dan Bahasa Indonesia, gue berpikir untuk
mengimbanginya dengan mulai membaca buku-buku sastra dan belajar teknik-teknik
penulisan yang baik dan benar sesuai Panduan Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
sebelumnya dikenal dengan EYD. Gue juga mulai mencari tahu siapa saja penulis
sastra terkenal di Indonesia.
Tetapi kebanyakan kenyataan memang nggak sesuai dengan ekspektasi.
“Aku
masuk jurusan ini sebenarnya bukan karena suka sastra, melainkan karena pilihan
orangtua yang seorang guru bahasa,” jelasnya tanpa rasa bersalah ketika mulut
gue udah berbusa dan tenggorokan paceklik membahas karya-karya lama Sapardi
Djoko Damono dan Aan Mansyur.
Para
tentara mungkin gugur dalam peperangan karena ditembak oleh musuh—atau nggak
sengaja ditembak oleh temannya sendiri, tetapi gue memilih menjadi tentara yang
menembak kepala sendiri. Gue menyerah menghadapi perempuan yang susah diajak
ngobrol santai sambil minum teh atau kopi, nggak peduli seleranya soal fesyen
sebagus apa. Kenyamanan satu sama lain nggak gue lihat dari merek pakaiannya,
tapi dari seberapa nyaman gue sama dia bahkan ketika kami hanya membahas
hal-hal nggak penting seperti “apakah tukang cukur Kim Jong Un berani
nyuruh-nyuruh beliau buat nengok kiri-kanan-nunduk-dongak saat bercukur?” lalu membahasnya
sampai rahang ingin terlepas dari tempatnya.
Tapi,
hei, itu bukannya pertanyaan yang sulit?
Gue
nggak bisa membayangkan bagaimana ekspresi tukang cukur The Supreme Leader
ketika ditatap lewat cermin oleh beliau dengan tatapan yang… mungkin seperti
ini.