The Catalyst


Judul               : The Catalyst
Penyanyi        : Linkin Park
Album             : A Thousand Suns
Tahun             : 2010

Tahun 2010 adalah tahun-tahun menyenangkan saat gue mulai main Twitter. Politik? Oh, politikus kayaknya belum ada yang kepikiran main Twitter, apalagi menyebar fitnah atas nama agama di sana #EH. Pokoknya kalau di Twitter sekarang ada yang menyebar hashtag #MakeTwitterGreatAgain itu pasti dari anak Twitter 2012 ke bawah yang jengah sekaligus sudah terkontaminasi twit intimidatif dari Donald Trump.

Tahun 2010, beberapa bulan setelah gue bikin akun Twitter, Linkin Park merilis A Thousand Suns dengan The Catalyst sebagai single album pertama lalu disusul Waiting for the End yang dipilih berdasarkan komentar-komentar penggemar di YouTube dan MySpace. Akun Twitter Mike Shinoda dulu username-nya masih @m_shinoda, belum centang biru, dan pengikutnya masih ribuan.

Tapi, senangnya gue adalah Mike Shinoda aktif di semua platform dan membalas setiap interaksi dari para pengikutnya, terutama jika itu adalah penggemar Linkin Park yang bertanya seputar album barunya.

Bahkan, secara khusus, Mike mengirimkan logo hologram Linkin Park ke para pengikutnya yang nama akunnya memiliki embel-embel LP, LPU, LP Soldier, lewat Direct Messages.

Logonya gini, gede dan bisa nyala kayak mobil-mobilan di alun-alun kidul Jogja.

Sudah hampir delapan tahun lalu, tapi bahagianya masih gue rasakan sampai sekarang. Gue bikin akun Twitter, MySpace, dan YouTube semuanya karena gue pengin lebih dekat dengan band favorit gue. Bahkan, gue pernah punya akun di website LP Underground yang gue buka hampir setiap hari cuma buat nungguin personel Linkin Park live stream di sana.


Ketika Mike Shinoda mengumumkan The Catalyst sebagai lagu pembuka album A Thousand Suns, gue ngikutin semua video-video terkait di YouTube. Mulai dari cerita di balik pembuatan lagunya, video liriknya, video di balik layar pembuatan video klipnya, wawancara dengan media, hingga komentar pribadi Mike dan Chester di forum LP Underground, semuanya gue ikutin tanpa ada yang tertinggal satu pun.

Nggak sia-sia waktu itu gue jadi penjaga warnet.

Waktu lagu The Catalyst, gue heboh sendiri dengerin lagu ini di kelas. Teman-teman gue yang lain nggak ada yang terlalu suka sama lagu kayak gini. Tapi begitu Waiting for the End rilis, gue mulai meracuni seisi kelas dengan lagu-lagu Linkin Park.

Cuma beberapa hari setelahnya, setiap hari gue mendengar lagu Linkin Park diputar di dalam kelas. Bukan lagu-lagu dari album A Thousand Suns tapi justru dari album-album sebelumnya. Bahkan beberapa teman gue jadi punya lagu favorit.

Wawan: Shadow of the Day

Aan: A Place for My Head

Risna: Waiting for the End

Amri: Kroncong Protol.

Nggak ada yang lebih menyenangkan gue saat itu ketika melihat apa yang gue sukai juga disukai oleh teman-teman gue. Banyak teman yang bertanya kenapa gue suka Linkin Park, dari mana gue tau mereka pertama kali, lagu mereka yang gue paling suka apa dan kenapa, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang kadang juga nggak masuk akal seperti, “Mike Shinoda dulu waktu sekolah makan siangnya beli di kantin atau bawa bekal sendiri?”, “Chester keramas pakai Clear atau Head & Shoulders?’, hingga “Siapa nama anak pertama pak Jusuf Kalla?”

Dan berangkat dari pertanyaan-pertanyaan itulah gue bikin blog ini.

Jadi awal blog ini gue bikin adalah untuk menulis tentang Linkin Park, apa pun tentang Linkin Park. Hingga pas dapat tugas Bahasa Indonesia dan disuruh bikin cerpen, gue juga bikin cerita yang ada hubungannya sama Linkin Park. Cerpennya masih ada di blog ini, nggak gue edit, dan kadang masih gue baca untuk gue jadikan perbandingan gaya menulis gue dulu dengan sekarang, termasuk teknik menulis gue dulu dengan sekarang.

Setahun setelah A Thousand Suns rilis, Linkin Park menggelar A Thousand Suns World Tour dan Indonesia masuk dalam daftar lokasi World Tour dipromotori oleh Big Daddy.

Gue senang sekaligus sedih.

Senang karena: Linkin Park memutuskan memasukkan Indonesia ke dalam daftar destinasi konser dunia mereka, ada andil gue di dalamnya. Selama tiga bulan kami, para Linkin Park Underground di Indonesia, nyampah di Twitter dengan hashtag #IndonesiaNeedsLPBack yang kemudian direspons oleh Mike Shinoda dengan twit berbahasa Indonesia, menandakan kalau kami berhasil menarik atensinya.

Sedih karena: gue nggak bisa datang ke konser mereka karena alasan yang nggak keren sama sekali; nggak punya duit.

Setelah itu, Linkin Park dua kali mengadakan World Tour Concert (Living Things dan The Hunting Party yang juga sekaligus mempertegas pegeseran genre musik Linkin Park) tapi tidak pernah lagi menyambangi Indonesia. Mentok di Malaysia dan Singapura.


Setelah kerja, gue menabung dan berjanji akan menonton live concert Linkin Park sebelum gue mati, lalu tahun 2017 kemarin, setelah album One More Light rilis, Chester Bennington memutuskan untuk bunuh diri, yang akhirnya menghancurkan hati gue hingga berkeping-keping saat gue juga berada di titik terendah dalam hidup.

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.