Dari Sebuah Senyum Kecil
Sabtu
siang yang cukup terik, cuaca yang disukai semua maskapai penerbangan di
seluruh dunia, aku dan keluargaku baru saja mendarat di bandara internasional
Ngurah Rai, Bali. Pesawat domestik dengan nomor penerbangan JT-200 dari
Makassar baru saja tiba dengan selamat. Aku bergegas menuju pintu depan pesawat
sesaat setelah pilot mengucapkan terima kasih pada seluruh penumpang dari balik
kokpit yang tertutup.
“Kak
Andri, bawakan tasku,” pinta Indra yang kesulitan membawa tasnya, adikku yang
masih kecil yang juga ikut penerbangan ini bersama ayah dan ibuku. Kami
sekeluarga sedang dalam rangka liburan sekolah.
“Sudah
kubilang, tidak usah bawa tas,” jawabku dengan aksen kental orang Makassar.
Ayah
dan ibu hanya tersenyum menunggu kami. Sementara pramugari hanya tersenyum di
ujung pintu pesawat.
Setelah
mengambil koper di pengambilan barang, kami segera menuju ke luar bandara. Di
sana sudah ada mobil yang sudah dipesan ayah sebelum berangkat dari Makassar
tadi. Ayah hampir setiap bulan ke sini untuk urusan bisnis, jadi ia punya
banyak kenalan, teman, relasi dan semacamnya di sini. Sedangkan bagiku dan
Indra, ini adalah kali pertama kami datang ke Bali.
Bali
tidak begitu berbeda jauh dengan Makassar secara umum. Perbedaan yang begitu
mencolok hanya bule lebih gampang ditemukan di sini dan landasan pacu bandara
yang langsung mengarah ke laut. Pemandangan yang sedikit mengerikan untukku,
tapi aku berusaha bersikap biasa saja.
Sekitar
10 menit kemudian kami sudah duduk di mobil yang dipesan tadi, bersiap menuju
tempat istirahat yang aku sendiri belum tahu di mana. Ayah dan ibu yang
mengatur semua itu. Kami hanya tinggal nebeng.
“Langsung
ke penginapan, Pak?” kata pak supir pada ayah.
“Gimana,
mau ke penginapan langsung, atau kita cari makan siang dulu?” Tanya ayah ke
kami.
“Langsung
ke penginapan saja, Pak,” kata ibu.
“Makan
siang dulu, lapar nih,” kataku sambil memegangi perutku yang memang sudah
kelaparan sejak tadi. Tegang di pesawat membuat tenaga dari sarapan pagi tadi
jadi hilang semua.
“Jalan-jalannya
kapan, Pak?” kata Indra dengan muka polosnya. Janji ayah memang mau mengajak
kami jalan-jalan keliling Bali. Mungkin Indra pikir makan tidak termasuk bagian
dari jalan-jalan. Aku tertawa kecil mendengarnya. Pikiran anak kecil memang
selalu tidak terduga.
“Loh,
perjalanan ke penginapan ini kan juga sudah termasuk jalan-jalan, Dek,” kata
ibu. Kami semua tertawa kecuali pak supir yang hanya tersenyum kecil.
“Jadi
gimana, Pak?” kata pak supir sekali lagi untuk memastikan.
“Kita
ke tempat biasa aja, Pak,” jawab ayah dengan aksen yang agak ke-Jawa-an.
Sepanjang
jalan aku menatap Bali dari jendela sebelah kiri mobil yang kacanya setengah
terbuka sementara Adikku Indra di sebelah kanan. Kami begitu menikmati perjalanan
padahal cuacanya sedang terik sampai-sampai panasnya terasa masuk sampai ke
mobil sedan putih berpelat Bali yang sedang kami tumpangi. Di depan ayah dan
ibu terlihat serius bercakap-cakap dengan supir. Aku tidak tahu apa yang sedang
mereka bicarakan dan aku pun sama sekali tidak ingin tahu. Aku terus saja
melihat-lihat apa yang mataku tangkap sepanjang jalan. Gedung-gedung yang tidak
lebih tinggi dari gedung-gedung yang ada di Makassar, orang pribumi yang
memakai peci yang mirip seperti blankon tetapi tengahnya bolong, dan bule yang
jalan kaki dengan dengan hanya memakai tank-top di bawah
terik matahari,. Kalau di Makassar, mereka akan jadi Bule Goreng saking
panasnya, pikirku.
Perjalanan
yang begitu kunikmati harus tertunda sejenak setelah mobil yang kami tumpangi
berhenti di depan sebuah restoran seafood yang
sepertinya milik Chinnese.
Terlihat dari tulisan yang terpampang di pintu masuk restoran ini. Saking
terpakunya menikmati keindahan kota Bali, aku sampai lupa kalau perutku sudah
kosong dari tadi.

Setelah
menghabiskan dua ekor kepiting saus tiram yang besar dan lezat dengan lahap,
kami melanjutkan perjalanan menuju penginapan dengan perut yang terisi penuh.
Aku kembali duduk menghadap ke luar jendela dengan kaca yang masih setengah
terbuka. Sekitar pukul empat sore, kami tiba di sebuah gerbang besar
bertuliskan “The Bay” yang jaraknya kuperkirkan lebih dari 10 kilometer dari
bandara. Bukan main, sepanjang mobil melaju, pemandangan pantai indah nan
nyaman tercipta di sini. Ini pertama kali aku melihat pemandangan pantai
seperti ini. Di Makassar, hanya akan ada sampah berserakan di pinggir pantai
yang terlihat. Tapi keindahan di sini sangat bisa membuatku betah tinggal
berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan.
“Kita
di mana?” Tanya Indra.
“We are in The Bay,
Bali, Kids,”
jawab ayah dengan bahasa Inggris yang tetap beraksen khas Makassar.
“Di
mana itu? Apa itu di surga?” kata Indra, lagi dengan mukanya yang polos.
“Bisa
jadi,” kataku.
Di
rumah, ayah memang sering menceritakan pada kami tentang surga yang penuh
dengan keindahan. Barangkali Indra mengingat itu.
“Kita
sedang di Nusa Dua, anak-anak. Ayah selalu ke sini saat sedang di Bali,” jelas
ayah.
Indah
dan mewahnya tempat ini hampir tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Suasana
elit yang masih terlihat alami membuat tempat ini jadi lebih indah dan sedap
dipandang mata. Pantai pasir putih yang membentang menambah keindahan tempat
ini. Tempat yang benar-benar sempurna untuk liburan.
***
“Andri,
Indra, bangun. Kalian akan melewatkan art show tahunan
yang keren. Cepat bangun.” Ibu membangunkan kami yang masih sedikit kelelahan
setelah bermain ke sana-kemari siang tadi di sepanjang The Bay.
“Apa
itu arsou,
Bu?” Tanya Indra, sambil mengucek-kucek matanya.
“Art show,
tampan,” kataku membetulkan. “Sebuah pegelaran seni. Seperti yang kita tonton
di Baruga Pettarani bersama Ayah minggu lalu.”
Indra
merespons girang. Mata sendunya membelalak tiba-tiba. Ia memang sangat suka dengan
hal-hal yang berbau seni. Katanya kelihatan lucu ketika melihat orang-orang
dengan pakaian adat menari atau berdrama. Ia juga suka dengan seni berupa
lukisan sampai-sampai di kamarnya ia punya lukisan karya Pablo Picasso dan
Effendi.

Seperti
yang dijadwalkan, art
show dimulai beberapa saat setelah matahari terbenam. Kami semua menikmati
pertujukan sore ini. Dan, tentu saja Indra yang menikmatinya lebih daripada
kami. Setelahnya kami memesan makan malam di Gyu-Kyu Restaurant, sebuah
restoran yang menyajikan berbagai masakan Jepang. Di Makassar, hanya ada
beberapa restoran Jepang dan aku baru mencicipi Terayaki dan beberapa jenis
Sushi.
Betapa
indahnya malam ini, apalagi bersama keluarga seperti sekarang ini. Kebersamaan
dalam sebuah keluarga memang adalah sebuah kebahagian yang tak tenilai
harganya. Setiap keluarga yang terpisah jarak pastilah merindukan saat-saat
mereka berkumpul bersama. Bersyukurlah aku masih bisa merasakan kebahagiaan ini
sampai umurku sebentar lagi memasuki usia 17. Membentuk sebuah keluarga yang
bahagia dalam kebersamaan memang tidak mudah. Kekompakan dalam keluarga tidak
pernah tercipta begitu saja. Dan aku bersyukur bisa berada di tengah-tengah
keluarga sederhanaku yang senantiasa diliputi bahagia ini.
“Bhuhuk! Hukkk!”
Tiba-tiba
Indra batuk, semakin lama semakin panjang dan muntah di meja makan. Makanan
yang sudah tertelan, keluar dengan terpaksa. Kami baru sadar kalau ternyata
Indra punya alergi dengan makanan-makanan Jepang. Rupanya kesenangan ini
membuat kami lupa akan kekurangan. Sekejap wajah Indra berubah pucat dan
badannya lemas. Seorang pelayan membantu ayah membawa Indra ke penginapan. Aku
dan ibu mengikuti dari belakang dengan perasaan yang was-was meski sebenarnya
kami tahu setelah ini Indra akan kembali baik-baik saja.
***
“Di
mana ini?” kata Indra setelah ia siuman.
“Belum
di surga, tampan,” kataku.
“Syukurlah.
Berarti masih hidup,” jawabnya.
Sedari
tadi memang aku yang menjaga Indra sementara ayah mengurus administrasi hotel
dan ibu menyiapkan pakaian yang masih tertumpuk di dalam koper.
Tak
lama kemudian, kami semua sudah berkumpul di satu kamar besar berwarna dominan
putih dengan dua kamar tidur yang sudah disewa ayah. Menertawai kebodohan kami
yang lupa dan membiarkan alergi Indra kambuh sekaligus mengacangi Indra
yang cengeng karena menangis saat dibawa ke sini.
“Anak
cowok jangan menangis. Anak cowok tidak boleh menangis,” kata ibu.
“Tidak
menangis, tidak menangis, tidak menangis,” kata Indra pelan pada dirinya
sendiri dengan selimut yang masih membalut tubuhnya. Kata-kata itu selalu
diucapkannya ketika berebut barang denganku dan aku mengalahkannya. Ibu selalu
mengajarkannya untuk tidak menangis setiap aku memenangkan perebutan barang
dengannya. Kalimat yang diucapkannya tadi diajarkan oleh ibu. Anehnya, setiap
kali ia mengucapkan itu, seperti ada hal yang membuatnya tidak membutuhkan
benda yang kami perebutkan itu lagi.
“Kalau
besok kamu sembuh, kita lanjutkan liburan ke Focus Adventure. Tapi kalau tidak,
kita pulang,” kata ayah.
Dalam
hati aku bertanya-tanya apa itu Focus Adventure, tapi tidak berusaha
menanyakannya. Aku tahu, Indra pasti akan menanyakan itu.
“Apa
itu Focus Pencur,
Pak?” Tanya Indra.
“Focus
Adventure, anak tampan.” Ini sudah kesekian kali aku memperbaiki setiap kali
Indra mengucapkan kata yang salah.
“Ya,
itu. Ingat Bugis Waterpark? Seperti itu, tapi ini akan lebih menantang dan
menyenangkan,” tutur ayah.
Mendengar
itu, aku langsung terbayang perosotan-perosotan panjang dan berputar-putar
seperti di Bugis Waterpark, Makassar. Pikirku besok akan lebih menyenangkan,
jika Indra sembuh tentu saja.
“Sembuhlah,
tampan, dan kita benar-benar akan ke surga besok,” kataku meyakinkan Indra.
Indra
terkekeh, meninju dadaku yang tepat di sampingnya.
“Jangan
membohongiku. Di surga tidak mungkin ada perosotan,” kata Indra.
Kami
semua tertawa. Indra pun tersenyum lepas dan sepertinya ia sudah baikan
sekarang. Sebuah senyuman kecil menciptakan bahagia dalam keluarga kami,
kembali. Ayah pernah bilang bahwa kebahagiaan keluarga kami tercipta dari
senyum bahagia kami, anak-anaknya, dan itu berlaku juga bagi semua keluarga di
belahan bumi mana pun. Kini aku tidak sabar menunggu matahari terbit besok pagi
dan bersiap menikmati petualangan di hari kedua di pulau Dewata ini bersama
bahagia yang kami ciptakan di keluarga ini. :))