Toxicity
Rumah Sejuta Martabak
Mars, TX 75778
PHOTO: facundowin on Pixabay |
Judul : Toxicity
Penyanyi : System of A Down
Album : Toxicity
Tahun : 2001
Gue,
Andri, Bagas, Ilo, dan Tyo duduk berhadap-hadapan di warung tenda yang baru
buka. Setiap Jumat-Sabtu-Minggu kami memang selalu sarapan di sini. Bukan
karena makanannya enak, tapi karena anak yang punya warung cantik dan lebih
dari satu.
Ina
dan Ani.
Kakak
beradik.
Kembar.
Tapi
kami bukan berniat buat ngegodain anak pemilik warung nasi kuning langganan
kami sih. Kami berlima sedang pusing.
Tyo:
Toxicity?
Gue:
Belum dapat rhythm-nya.
Andri:
Belum dapat drumnya juga.
Gue:
Semut Hitam?
Ilo:
Bass-nya agak susah.
Gue:
Penjaga Hati?
Bagas:
Suara aku belum nyampe.
Tiga
priring nasi kuning menghampiri meja kami. Kata Ilo itu Ina yang bawain, tapi
gue nggak bisa bedain mana Ina dan mana Ani. Mereka benar-benar mirip. Sampai
sekarang pun kalau ketemu gue belum bisa bedain, entah bagaimana cara Ilo
membedakannya.
Tyo:
Gini.. kalau target kita cuma sebagai pelengkap, bawain lagu Kangen Band aja.
Tapi kan udah sepakat paling enggak juara harapan. Kalau aku sih, tetap Toxicity.
Gue
& Andri: TAPI…
Bagas:
Aku setuju.
Ilo:
Kalau Bagas sudah setuju, aku mau nggak mau ngikut.
Tyo:
Habis makan kita latihan lagi. Sebelum siang udah harus bisa, siang kita ke
studio.
Dua
piring nasi lagi menyusul dan Ina (atau Ani, entahlah) membalas dengan senyuman
ketika gue bilang terima kasih. Senyumnya manis banget, kayak gula dikasih
kecap.
Gue
& Andri: BAIKLAH!
Akhirnya
kami setuju buat bawain lagu Toxicity dari System of A Down di festival musik
yang akan diadakan besok malam. Selesai
makan, kami berlima langsung menuju rumah Bagas buat latihan lagi. Jadi
rencananya di acara besok kami akan membawakan dua buah lagu, 1) Godbless –
Kehidupan dan 2) System of A Down – Toxicity. Dan target kami adalah minimal
juara harapan.
Siang
hingga sore kami latihan sangat serius mulai dari rumah Bagas hingga ke studio
musik dan baru pulang ke rumah masing-masing sekitar pukul sepuluh malam.
Saking capeknya, belum lima menit kepala gue rebahan di bantal, gue sudah
tertidur dan baru bangun setelah dikagetkan sama suara handphone.
Jam
dua pagi ada telepon masuk dari suami kakak gue.
“Iya,
halo…”
“Ke
rumah sakit sekarang, mbak muntah-muntah dan nyari kamu.”
Tanpa
mematikan telepon gue langsung bangun, pake baju, pake celana, ngambil jaket,
mampir minum di dapur bentar, lalu bergegas ke rumah sakit yang disebutkan oleh
kakak ipar gue.
Di
rumah sakit sudah ada dua mertua kakak gue dan beberapa orang lain yang nggak
gue kenal.
“Kenapa?”
tanya gue ke siapa saja yang bisa mendengar di dalam ruangan itu.
“Tiba-tiba
muntah sejak jam satu tadi,” jawab suami kakak.
Setelah
kakak gue nggak muntah-muntah lagi dan kelihatannya sudah mulai bisa diajak
bicara, gue mendekati dia untuk mencari tau lebih lanjut.
“Tadi
habis salat Isya saya makan mi pangsit, nggak lama langsung muntah. Kayaknya
sambalnya basi, deh.”
Gue
yang jarang makan sambal nggak merespons. Jangankan bedain sambal basi sama
enggak, mencobanya saja gue harus mikir berkali-kali dulu karena takut mules.
“Ya
udah, kakak istirahat dulu aja.”
Saat
pagi hari, kakak sudah bisa pulang, kata dokter. Tapi karena di rumah kakak
sendirian, jadi gue disuruh jagain karena suami dan mertuanya harus kerja. Mau
nggak mau gue harus jagain daripada gue dikutuk jadi kertas struk Indomaret
plus nggak dikasih uang jajan.
Sejak
pagi, pikiran gue udah nggak konsen. Siangnya gue harus latihan sampai sore dan
malamnya harus tampil sama teman-teman se-band. Tapi kenyataannya, gue bahkan
belum bisa istirahat. Dengan terpaksa, gue pun memutuskan nggak ikut dulu kali
ini.
“Kalian
berempat dulu aja, ya, aku nggak bisa nih. Kakak aku nggak ada yang jagain,”
jelas gue di telepon. Teman-teman sudah ngumpul dan gladi kotor sejak tadi.
“Nggak
bisa diusahain banget nih? Masih ada waktu,” kata Bagas yang disambung gumaman
menyetujui oleh Tyo dari belakang.
“Duh..
masalahnya kalau aku janji, aku takut nggak keburu dan kalian kecewa.”
“Nggak
masalah. Kita tunggu.”
Telepon
ditutup dan gue bingung.
Kalau
gue nggak datang, jelas mereka akan kecewa berat. Tapi kalau gue datang dengan
persiapan yang seadanya, gue khawatir hasilnya malah malu-maluin. Masalahnya
festival musik yang kami ikuti ini levelnya kabupaten, otomatis banyak yang
nonton dan nggak sedikit yang pasti ngenalin kami.
Setelah
sekitar sejam berpikir, gue pun memutuskan untuk nggak jadi tampil.
“Walaupun
berempat, kita akan tetap tampil. Biaya pendaftarannya mahal dan udah keluar
banyak juga buat latihan.” Bagas mengeluh di telepon.
“Sori
banget, men, tapi aku bener-bener nggak bisa.”
“Nggak
papa, tapi kalau kita juara tanpa kamu, kamu kita keluarin dari band,” kata
Bagas bercanda.
“IYA,
IYA. Keluarin di dalem.”
“Sama
satu lagi.”
“Apa?”
“Nasi
di warung kemarin belum dibayar. Kamu yang bayar!”
Belum
sempat gue jawab, telepon udah ditutup.
Bangsat.
-III-
Gue
baru bisa ngumpul lagi sama anak-anak keesokan paginya. Penampilan mereka
katanya gagal total. Bukan karena nggak ada gue, tapi karena pas giliran mereka
tampil ada bagian alat yang rusak dan mood mereka buat tampil keburu hilang.
Tyo:
Pas lagu pertama sebenarnya aman aja, sih. Tapi pas lagu kedua—Toxicity—alatnya
tiba-tiba mati lagi pas udah mau banget masuk chorus. Kan kampret.
Andri:
Aku juga langsung lupa ketukan drum gara-gara suara gitar dan mic-nya nggak
kedengeran.
Ilo:
…
Gue:
Terus dari panitia tanggung jawabnya gimana?
Bagas:
Nggak ada. Kita disuruh ngulang dari awal. Tapi mood udah keburu hilang. Kamu
bayangin aja bawain lagu Toxicity tanpa ekspresi sama sekali dari awal sampai
akhir.
Gue
dan Ilo berpandangan dan tidak ada sepatah kata pun terucap sampai nasi kuning
kami habis. Sejak saat itu gue nggak pernah lagi ngeband sampai sekarang.