Human
Rumah Sejuta Martabak
Mars, TX 75778
PHOTO: MichaelGaida on Pixabay |
Judul : Human
Penyanyi : The Killers
Album : Day & Age
Tahun : 2008
Mal
dan musik adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Kalau ada mal yang tidak
ada suara musiknya, rasanya sama seperti sayur tanpa garam; kurang enak, kurang
sedap. Karena itu Inul goyang, agar semuanya senang.
Eh
sori, sori, sori.
Pokoknya
kalau ada mal yang nggak ada suara musiknya pasti sepi banget, kayak kuburan
pribumi.
Seperti
itulah yang gue lihat ketika kerja sebagai promoter handphone di sebuah mal di
tengah kota. Setelah mal buka, para pemilik toko yang punya speaker besar pasti
langsung memutar lagu-lagu andalan mereka. Lagu-lagu yang mereka putar setiap
hari sebenarnya selalu itu-itu saja, sampai-sampai sebulan gue kerja di situ,
gue bisa hafal semua lagu saking seringnya lagu itu diputar. Salah satu lagu
yang gue hafal padahal nggak suka dan nggak pernah dengar sebelumnya adalah You
& I-nya One Direction yang diputar sekitar 87 kali sehari oleh frontliner
toko di sebelah toko tempat gue jaga.
Kemudian
beberapa bulan setelahnya, gue dipindahkan ke bagian pameran karena hasil
penjualan yang cukup bagus di bulan-bulan awal. Dan di situlah gue mengenal
Alif.
Alif
sebenarnya sudah setahun lebih dulu kerja sebagai promoter daripada gue, tapi
gue baru ketemu dia hari itu di pameran karena kami nggak satu tim kerja.
Ketika itu Alif jengah sama frontliner yang bukannya mutar lagu-lagu hits kekinian malah mutar lagu-lagu Islami. Nggak ada yang salah sih dengan memutar
lagu-lagu Islami, cuma gue dan Alif merasa momennya nggak cocok aja. Kecuali
saat itu lagi bulan puasa, nggak masalah. Tapi waktu itu lagi dekat perayaan
Imlek, jadi itu sama aja kayak bikin Imlek tandingan versi syariah.
“Aku
nggak punya lagu-lagu baru di hape,” kata si frontliner yang gue lupa namanya.
“Ya
udah matiin,” pinta Alif. “Pake punyaku aja.”
Gue
sebagai anak baru di pameran, diam aja. Karena di toko tempat gue jaga
sebelumnya jangankan bisa milih lagu buat diputar, speaker aja nggak ada di
situ. Makanya setiap hari gue cuma dengar You & I-nya One Direction sampai
hafal sama terjemahannya dalam 12 bahasa.
Sebelumnya
juga, gue nggak tau selera musiknya Alif seperti apa, tapi dari penampilannya
sepertinya dia bukan penyuka musik melayu.
Lagu
pertama pun diputar.
Samar-samar
gue mengenali lagu yang terputar lewat speaker Bluetooth ukuran cukup besar
milik bos kami.
Gue
tau nih lagunya.
Intronya
lumayan panjang sedangkan gue agak susah ngenalin lagu kalau vokalisnya belum
nyanyi. Tapi lagu yang terputar ini cukup familier. Begitu lagu masuk bait
pertama, gue langsung mengenalinya. Nggak salah lagi. Ini Cinta yang
Sempurna-nya Kangen Band.
Bangsat.
Ternyata penampilan yang kece nggak menunjukkan selera musik yang sama kecenya.
Begitu
Andhika nyanyi, Alif memandangi gue sambil tertawa. Gue balas dengan tawa
kecil. Sebagai anak baru, gue nggak mau protes, apalagi berani nyuruh-nyuruh
anak lama. Jadi gue diem aja mendegarkan Andhika menyelesaikan lagunya. Sehabis
ini kuping gue rusak juga nggak papa, gue iklas. Tapi baru sekitar 30 detik,
Alif langsung mengganti lagu tersebut.
“Pemanasan,”
kata dia.
Kalau
pemanasannya aja Kangen Band, terus selanjutnya apa? Wali Band? ST12? The
Potters? Gosh!
Ternyata
gue salah. Lagu yang terputar berikutnya adalah dentuman bass yang kemudian gue
kenali sebagai intro lagu Human dari The Killers. Otomatis gue langsung joget
kayak anak-anak nongkrong Pantai Utara diperdengarkan lagu dangdut.
Karena
masih pagi dan toko masih lumayan sepi, gue dan Alif ikut nyanyi. Di stand
pameran waktu itu memang cowoknya cuma gue dan Alif. Sisanya frontliner gue,
dan dua orang dari Telkomsel dan Indosat, cewek semua. Setelah Human selesai,
lagu langsung dilanjut dengan Mr. Brightside yang kemudian membuat gue
menyimpulkan kalau Alif adalah penggemar The Killers.
“Kamu
suka The Killers juga, Man?” tanya Alif.
“Cuma
beberapa.”
“Apa
aja?”
“Ya,
yang tadi sama yang lagi diputar ini.”
Padahal
lagu The Killers yang gue tau emang cuma dua itu.
“Kamu
sukanya apa kalau gitu?”
“Random,
yang penting bukan melayu.”
Alif
lalu ketawa. “Yang Kangen Band tadi dari YouTube, kok. Sengaja,” katanya.
Gue
ikut ketawa lalu selanjutnya playlist masih didominasi oleh lagu-lagu The
Killers yang diselingin lagu-lagu lain secara acak. Tapi yang jelas nggak ada
Kangen Band-nya, apalagi lagu Imlek tandingan versi syariah.
Pas
jam istirahat makan siang, gue dan Alif makan siang barengan di warung
touchscreen (warung tunjuk-tunjuk, anak-anak yang kerja di mal nyebutnya
touchscreen) belakang mal. Kalau bukan karena Alif, gue nggak akan pernah tau
ada warung kayak gini (biasanya gue makan bakso plus lontong di seberang jalan
depan mal). Pas mau makan kita tinggal nunjuk mau lauk yang mana, lalu pas
bayar tinggal ngasih tau kasir tadi ngambil apa aja.
“Kadang
aku makan sampai kenyang terus bayarnya cuma sepuluh ribu,” aku Alif.
“Eh,
kok bisa?”
“Iya,
karena selalu makan di sini, jadi pas bayar tinggal ngasih sepuluh ribu sambil
bilang, ‘sama aja kayak kemarin ya’ ke Masnya.”
Bangsat.
Sekali
waktu gue juga mencoba trik Alif, tapi memang beneran kemarinnya gue cuma bayar
sepuluh ribu dan besoknya beneran ngambil lauk yang sama persis dengan kemarin.
Gue nggak berani bohong apalagi buat makanan yang akan masuk ke perut. Kalau
makanan buat kucing, nggak masalah. Gue pernah ngasih kucing liar donat terus
gue bilangnya ikan salmon.
Nggak
dimakan sama kucingnya sih tapi.
-III-
Perjalanan
gue sama Alif nggak berhenti sampai di situ. Pameran hanya berlangsung sebulan,
dan setelahnya kami sama-sama dipindahkan ke toko yang bersebelahan di lantai
tiga mal. Di toko baru Alif, kebanyakan laki. Ada perempuan tapi udah pada
punya anak. Sementara di tempat gue, kebanyakan promoter baru dan cewek semua.
Dari brand kompetitor tentu saja.
Karena
toko gue dan Alif sebelahan, dia naksir sama salah satu promoter yang kebetulan
waktu itu cukup dekat dengan gue karena hari pertama dia masuk, gue disuruh bos
buat nemenin dan ngajarin dia cara jualan.
Namanya
Anisa.
Cantik.
Giginya
rata dan putih.
Sama
putih sama kulitnya.
Kerjaannya
senyum mulu.
Tapi
telmi.
“Kamu
yakin, Lif, mau sama Anisa ini?”
“Yakin.”
Alif
bayarin makan siang gue karena gue ngasih nomor Anisa. Sebulan kemudian, Anisa
dipindahkan ke toko di lantai satu sementara gue dan Alif tetap di toko yang
sama. Selama sebulan setelah Alif kenal Anisa, kami nggak pernah lagi makan
siang bareng pas istirahat dan baru bareng lagi setelah Anisa pindah toko.
“Man,
minta nomor frontliner kamu aja, deh,” kata Alif setelah ngambil nasi yang
lauknya segunung.
“Lah,
si Anisa kenapa?”
“Telmi.”
GUE
BILANG JUGA APA KAN KITA BAHASNYA APA DIA JAWABNYA APA.
“Tapi
frontlinerku juga sama aja, ah.”
“Ha?
Kok di tokomu nggak ada yang bener, sih?”
“Ya,
mending daripada di tokomu, nggak ada yang bisa dipepet. Pfft.”
Alif
berhenti sejenak buat minum.
“Terus
siapa ya?”
“Sama
laki aja udah. Sensasi baru.”
“Bangsat!”
Setelah
makan, kami sama-sama kembali ke toko setelah sama-sama bayar sepuluh ribu. Isi
piring gue seadanya, sementara isi piring Alif semuanya ada.