Surat untuk Kupu-kupu Pencerita

Rumah Sejuta Martabak Bantaeng, South Sulawesi, Indonesia


Kepadamu, kupu-kupu yang suka bercerita. 

Kau mungkin tidak mengenalku, mungkin juga aku tidak mengenalmu. Tapi, aku sering melihatmu di beranda Twitter-ku. Kau ada di dalam daftar following-ku. Dan kalau aku tidak salah ingat, kau juga masuk dalam daftar followers-ku. Mungkin kau tak sengaja menekan tombol “follow” di profilku, entahlah, aku tidak tahu dan tidak mau tahu. Dari situ pula aku tahu kau punya tulisan “Tentang Patah Hati dan Sebuah Permintaan”, dan aku seperti terhipnotis untuk menulis perihal postingan itu.

Sebelum aku mulai membagi ceritaku tentang kencan pertama, jatuh cinta, dan patah hati, aku ingin membuka kalimatku dengan satu pesan bahwa: berlarut-larut dalam secangkir minuman yang dinamakan patah hati bukanlah hal mengenakkan. Jadi, berhentilah berenang di masa lalu dengan gaya kupu-kupu. Berenanglah ke masa depan dengan gaya punggung. Selebar mungkin.

Aku tahu pasti, kau akan mengejekku dan bilang, “bicara memang segampang itu”. Aku tahu, aku pun pernah mengalaminya dan seorang teman juga memberiku sepatah motivasi dan aku tetap larut dalam imajinasi kelam masa lalu yang baru saja ditempeli label sejarah.

Saat patah hati, hal-hal yang terlintas di pikiran adalah masa-masa saat kau bersama dia yang telah mematahkanmu, entah bahagia entah sedih, namun kau selalu mengubah ceritanya dalam bayanganmu menjadi lebih menyedihkan—yang kau harap mengharukan—dan menyakitkan dirimu sendiri.

Perihal patah hati yang memberitahukan banyak hal, semua itu adalah jawaban atas pertanyaan: sedalam apa kau jatuh cinta? Sedalam palung terdalam di dunia, ataukah tidak lebih dangkal dari kolam permandian para bidadari yang selalu saja nyasar di kali?

Sebentar, aku ingin menyeruput kopi yang sedari tadi menemaniku.

Baiklah. Selanjutnya aku ingin bertanya namun tak perlu kau jawab di kolom komentar atau lewat postingan blog dengan judul “Surat Terbuka”, aku tidak perlu itu. Cukup kau yang tahu jawabannya. Pertanyaanku adalah: ketika kau berjalan di pasar swalayan dan mengingat wajah orang yang telah membuatmu patah hati, perasaan apa yang menyelimutimu saat itu juga? Aku punya hipotesis yang kuyakin tak jauh-jauh dari ini: marah, kecewa, atau rindu.

Cukup jawab dalam hatimu.

Belakangan, aku juga sering mendengar cerita patah hati. Atau mungkin lebih tepatnya membaca. Dari sepuluh postingan blog yang kubaca dari hasil blogwalking, delapan di antaranya tentang patah hati. Mungkinkah patah hati saat ini sedang jadi tren? Seperti foto selfie dengan tongsis? Lalu kapan akan berakhir, berganti dengan tren baru? 

Hmm…

Dan sepertinya, belakangan juga aku sering mengalami patah hati meski tak pernah kupublikasikan di blog sederhana ini.

Sampai sejauh ini aku mulai bertanya-tanya dalam hatiku: mengapa ada patah hati jika jatuh cinta lebih menyenangkan? Persis pertanyaan Duta dalam lirik salah satu lagunya yang menjadi kesukaanku: mengapa ada sang hitam bila putih menyenangkan?
Jawaban yang kudapat sejauh ini adalah bahwa segala sesuatu yang kita jalani akan sampai pada satu titik yang disebut jenuh.

Jika setiap hari kau menerima pesan berisi ucapan “selamat pagi”, “selamat siang”, “selamat tidur” dan semacamnya, seiring bergulirnya waktu rasa jenuh akan menyelimuti sampai akhirnya rasa bahagia tak terekspresikan di tengah perjalanan itu akan berubah menjadi sesuatu yang membuatmu risih, bosan, bahkan mungkin… grrrr… tak perlu kulanjutkan.


Sama seperti engkau, kupu-kupu pencerita, ketika engkau tak hentinya menulis setiap waktu. Setiap hari mengisi blog-mu dengan tulisan yang menurutmu bagus dan layak baca, namun tak satu pun pengunjung yang sudi memberi komentar. Jangankan komentar, membaca hingga tuntas saja mereka jarang. Lalu kau berpikir untuk menulis lebih banyak dan lebih giat, mengirimkannya ke penerbit berharap dibukukan seperti yang kau ucapkan dalam hati sebagai niat. Namun tak ada editor yang mau mengiyakan terbitnya tulisanmu, yang susah payah kau perjuangkan. 

Masihkah kau bertahan dengan keadaan yang tak kau sukai (lagi)?

Masihkah kau akan bertahan dan tetap menulis?

Aku percaya, bahwa tekad dan rasa percaya diri tinggi, seperti yang kau miliki, mampu membimbing dan menuntunmu melewati titik yang sangat tidak kau harapkan namun harus kau jalani. Jalani hubungan dengan suasana baru, cobalah membuat sebuah tulisan dengan genre yang tidak pernah kau buat sebelumnya. Barangkali, di sana ada sesuatu yang tidak pernah kau duga sedang menantimu.

Oh iya, mungkin kau akan bilang bahwa aku tidak menceritakan tentang kisahku seperti yang kukatakan di awal. Sejujurnya, aku hanya ingin menulis. Itu saja.

Salam dingin,

N.
Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.