Perubahan Itu Perlu
SERIUS. DALAM HIDUP kita harus berubah. Kalau enggak, kita enggak akan ke mana-mana. Dan perubahan itu dimulai dari hal kecil. Sekecil mengubah kebiasaan menggosok gigi pada pagi hari, atau merapikan tempat tidur sebelum memulai aktivitas lain.
Dalam kasus yang mau saya ceritakan, saya memulai perubahan dengan mengganti alat-alat digital yang bertahun-tahun saya gunakan (bahkan ada yang belasan tahun), agar tidak ketergantungan dan bisa punya sudut pandang dan pengalaman baru.
Dari X ke Threads
Saya main X (dulu masih Twitter) tahun 2010, lalu tutup akun tahun 2020. Berarti kurang-lebih 10 tahun. Dua tahun setelah tutup akun, Threads hadir. Rasanya seperti nostalgia X (dulu Twitter) pas awal-awal muncul. Tanpa pikir panjang saya pun langsung bikin akun dan menggunakannya. Akan tetapi, saya enggak mau main Threads untuk sekadar sambat—karena apa bedanya dengan Twitter? Jadi, saya membatasi segalanya di Threads.Pertama, di Threads saya enggak akan follow akun yang udah saya follow di media sosial lain. Kedua, saya nge-post dalam Bahasa Inggris, dan ketiga, saya fokus nge-post soal teknologi, khususnya AI.
Saya pernah bahas juga secara khusus soal Threads di sini.
Microsoft Office ke WPS Office
Saya menggunakan Microsoft Office sejak pertama kali mengenal komputer waktu SMP. Bahkan, saya enggak tau kalau ada aplikasi selain itu untuk mengetik sampai setidaknya pada tahun-tahun terakhir kuliah. Sebegitu melekatnya aplikasi yang satu ini di kepala saya.Akan tetapi, saya baru menyadari bahwa ternyata biaya berlangganan Microsoft Office mahal sekali, bahkan penulis seperti Ivan Lanin saja mengaku kalau Microsoft Office sangat mahal. Saya berlangganan Microsoft Office selama beberapa tahun sebelum akhirnya pindah ke WPS Office yang jauh lebih murah, dengan fitur-fitur yang benar-benar terpakai. Sebelumnya, dari puluhan fitur Microsoft Office, mungkin hanya dua atau tiga yang benar-benar saya pakai.
Dari Google Chrome ke Brave
Selama belasan tahun, saya sudah mencoba berbagai macam peramban (browser) untuk berselancar di internet. Saya sudah pernah pakai Mozilla Firefox, Opera, Edge, bahkan sampai pernah mencoba TOR Browser yang katanya aman untuk mengakses dark web. Sayangnya, enggak ada yang seenak Chrome. Hanya saja, Google Chrome akan jadi makin berat seiring digunakan meski sudah dibersihkan secara berkala. Jadi, saya terus mencari alternatif yang lebih baik.Ketemulah saya dengan Brave. Pada dasarnya Brave dan Chrome ini sama saja (sama-sama berbasis Chromium), tetapi Brave tidak menyimpan data-data pengguna secara bawaan (default), dan printilan-printilan lain yang sering menjadi penyebab lemotnya sebuah peramban.
Iseng coba sekitar satu mingguan, lalu ketagihan dan akhirnya saya pakai sampai sekarang. Satu-satunya kekurangan Brave buat saya adalah histori peramban yang akan hilang kalau saya ganti laptop. Oh, saya juga sudah pakai Brave di ponsel sejak tahun lalu setelah sebelumnya nyaman dengan Edge.
Windows ke Linux?
Tadinya, saya mau pindah dari Windows ke Linux. Saya sudah membaca dan menonton berbagai ulasan tentang sistem operasi alternatif untuk pengguna Windows yang mau beralih ke Linux. Ada cukup banyak kandidat, dan beberapa sudah saya coba.- Ubuntu
- Linux Mint
- Zorin OS
- Deepen
Ubuntu jelas enggak, karena sejujurnya sudah pernah saya cicipi ketika awal-awal punya laptop ketika kuliah, tetapi saya kurang suka tampilannya yang mirip MacOS. Saya pribadi enggak suka tampilan MacOS, tetapi karena direkomendasikan oleh seorang teman, jadi saya masukan ke daftar. Pada akhirnya saya enggak jadi pasang Ubuntu, sih.
Linux Mint sangat bagus, tetapi saya kurang sreg sama tampilannya juga. Setelah membaca dan menonton berbagai ulasan, saya memutuskan untuk tidak mencobanya. Zorin OS sudah terpasang di laptop tua milik istri, berjalan sangat bagus bahkan. Namun, waktu saya coba pasang di laptop saya yang spesifikasinya jauh di atas laptop tua tadi, entah kenapa malah jadi lemot. Padahal Zorin OS ini dikenal mampu berjalan mulus di laptop jadul yang RAM-nya hanya 1 GB.
Di laptop saya yang RAM-nya 4 GB, malah lemot. Karena itu saya mengurungkan niat untuk memasang Zorin OS. Meski begitu, saya masih sering pakai Zorin OS di laptop istri. Rasanya cukup nyaman.
Lalu, Deepen. OS yang satu ini ternyata buatan pengembang (developer) dari Cina, tetapi saya suka dengan pratinjaunya (preview) yang sangat menyerupai Windows. Sayangnya, pas saya pasang di laptop, juga lemot. Setelah baca-baca, ternyata Deepen membutuhkan spesifikasi perangkat yang lebih tinggi untuk menjalankannya dengan mulus. Skip.
Sekarang, karena sudah ganti laptop yang sudah terpasang Windows 11 sebagai OS bawaan, jadi saya menunda peralihan dari Linux ke Windows untuk sementara. Sekarang, saya tetap pakai Windows, tetapi berusaha mencari aplikasi-aplikasi pengubah tampilan agar sesuai keinginan, seperti Stardock. Karena kalau boleh jujur, Windows 11 sangat membosankan seperti gebetan kamu yang janji-janji mulu, tapi gak dinikahin. Dan juga, laptop yang hendak dipasang Linux sudah laku terjual.
Di laptop saya yang RAM-nya 4 GB, malah lemot. Karena itu saya mengurungkan niat untuk memasang Zorin OS. Meski begitu, saya masih sering pakai Zorin OS di laptop istri. Rasanya cukup nyaman.
Lalu, Deepen. OS yang satu ini ternyata buatan pengembang (developer) dari Cina, tetapi saya suka dengan pratinjaunya (preview) yang sangat menyerupai Windows. Sayangnya, pas saya pasang di laptop, juga lemot. Setelah baca-baca, ternyata Deepen membutuhkan spesifikasi perangkat yang lebih tinggi untuk menjalankannya dengan mulus. Skip.
Sekarang, karena sudah ganti laptop yang sudah terpasang Windows 11 sebagai OS bawaan, jadi saya menunda peralihan dari Linux ke Windows untuk sementara. Sekarang, saya tetap pakai Windows, tetapi berusaha mencari aplikasi-aplikasi pengubah tampilan agar sesuai keinginan, seperti Stardock. Karena kalau boleh jujur, Windows 11 sangat membosankan seperti gebetan kamu yang janji-janji mulu, tapi gak dinikahin. Dan juga, laptop yang hendak dipasang Linux sudah laku terjual.