14 Februari
SAYA SUKA SEKALI dan sangat tidak suka sekali sama pemilu 2024 setelah tiga bulan sebelumnya masih kekeuh akan golput. Saya termasuk yang menganggap remeh ketiga kandidat; Anies dengan politik identitasnya, Prabowo dengan sejarah kelamnya, dan Ganjar dengan mosi tidak percaya dari warga yang dipimpinnya sendiri di Jawa Tengah.
Namun, semua berubah gara-gara dua hal; #DesakAnies dan kehadiran Gibran. Prabowo tanpa Gibran, saya yakin sudah mutlak akan kalah. Maka walau saya golput, Prabowo tetap tak akan terpilih. Ia sudah mencoba berbagai cara selama 15 tahun+ sebelumnya dan rakyat memang tak pernah menginginkannya. Namun, hadirnya Gibran sebagai pendamping Prabowo sangat berbahaya. Sosok yang paling tidak memiliki kapasitas di antara capres-cawapres lainnya, tetapi punya power paling besar di antara yang lainnya untuk menghalalkan segala cara agar menang.
Sampai hari ini saya masih percaya skenario ini: Jika Prabowo-Gibran menang, paling lama Si Gemoy hanya dua tahun menjabat, akan terjadi sesuatu. Entah sakit lalu meninggal, atau meninggal karena dibunuh, dan Gibran otomatis menjadi presiden.
Itu skenario saya, dan saya tidak mengada-ngada.
Ini adalah skenario paling mungkin, dan semua berangkat dari perselisihan Jokowi dan Megawati. Tanda-tandanya sangat jelas:
- Menabrak konstitusi yang sudah dibangun puluhan tahun demi bisa maju menjadi cawapres. Ada yang bilang: aturan itu, kan, tidak hanya berlaku buat Gibran, tapi juga buat semua orang. Logika sederhananya: siapa yang maju sekarang selain Gibran? Tidak ada. Maka salahkah jika disebut bahwa aturan itu diubah demi Gibran? Kalau masih ada yang bilang salah, saya tidak paham lagi cara berpikirnya bagaimana.
- Kaesang yang masuk PSI dan langsung jadi ketua, dan semua anggota partai PSI yang kemudian menjilat ludah. Semua sudah diatur dengan sangat detail, tetapi kebanyakan orang gagal melihat ini. Kebanyakan fokus pada kasus pelanggaran HAM Prabowo.
- Dan banyak hal lainnya yang seharusnya diberikan bukti dalam bentuk yang lebih bisa dipertanggungjawabkan ⤵️
Again, kemalasan membaca, melihat, mendengar, dan menganalisis menjadi momok menakutkan untuk kita.
Kedua: #DesakAnies.
Awalnya saya menganggap remeh program ini karena mengira akan sama saja dengan kampanye lainnya. Rupanya, saya keliru. Belum pernah ada dalam sejarah Indonesia, capres yang melakukan kampanye seperti ini. Ia datang ke berbagai tempat, membuka ruang diskusi selebar-lebarnya, meminta dirinya didesak dengan pertanyaan-pertanyaan, dimaki dengan studi kasus yang sedang terjadi di lapangan, dan ia menjawab semuanya dengan tenang, terukur dengan data, solutif, tanpa memprovokasi.
Ada beberapa statement Anies yang juga masih membuat saya berpikir, "Emang bisa?" Namun melihat kinerjanya di Jakarta selama menjadi gubernur, saya menaruh harapan. Ya, menaruh harapan. Bukan percaya mentah-mentah.
Namun, yang paling saya suka dari #DesakAnies adalah closing statement-nya di tiap kota yang selalu sama: Tidak pernah meminta audiens untuk memilih dirinya. Alih-alih, ia selalu mengingatkan agar kita menjadi pemilih yang rasional. Maka buat saya #DesakAnies bukanlah kampanye, melainkan kuliah gratis dari seseorang bergelar Ph.D., yang kebetulan nyapres.
Belakangan, gaya kampanye ini diikuti oleh Ganjar-Mahfud dengan mengadakan #TabrakMahfud. Saya suka semangat ini. Tidak pernah saya merinding melihat orang berkampanye. Kali ini, ini benar-benar perubahan. Dan saya ingin melihat lebih banyak lagi program yang mencerdaskan seperti ini.
Saya tidak tau apakah Anies akan jadi presiden atau tidak. Namun, jika iya, saya ingin program seperti ini tetap ada, atau setidaknya para menteri, anggota DPR, dan jajarannya mau membuka model diskusi seperti ini. Bayangkan rakyat butuh tempat untuk aspirasinya didengar, dan para penyelenggara negara itu membuka ruang tersebut seluas-luasnya, lalu terjadi diskusi dan jalan keluar yang transparan. Bukankah itu yang selama ini kita inginkan sebagai rakyat?
Setidaknya itu yang saya lihat jika Anies atau Ganjar jadi presiden.
Prabowo? Oh, tidak. Ia anti media. Ia menolak diwawancara wartawan, ia menolak hadir pada acara debat tidak formal, ia menandai media-media mana saja yang kritis padanya. Jika Prabowo jadi presiden, akan tercipta kemunduran demokrasi.
Setidaknya itu yang saya bisa lihat jika Prabowo jadi presiden—atau Gibran yang jauh lebih tidak kompeten.
Dan saya juga lelah sekali melihat elite-elite politik yang berkelahi untuk kepentingan masing-masing partainya atau golongannya. Sedikit sekali yang benar-benar berjuang untuk rakyat. Kalaupun ada, sering jadi bahan olok rekan sejawatnya. Miris.