Threads


Saya enggak ingat kapan tepatnya, tapi saya udah tutup akun Twitter (sekarang X) sejak 2020. Atau mungkin 2019 akhir, saya beneran lupa.

Awalnya cuma pengin tutup akun sementara, ya, mungkin sekitar sebulan saja. Ternyata malah menemukan kenyamanan sampai akhirnya lupa mengaktifkannya hingga sekarang. Saya ngerasa kalau Twitter saat itu (dan juga sekarang, sepertinya) sudah jadi tempat yang enggak semenyenangkan dulu pas awal-awal munculnya.

Saya mulai main Twitter tahun 2010 saat masih sekolah. Waktu itu daftar dan mainnya di warnet karena ponsel yang saya punya belum bisa buat internetan. Jadi, ngetwit paling punya waktu cuma sejam atau paling lama dua jam—benar-benar memanfaatkan waktu sebaik mungkin karena enggak tau kapan akan bisa ke warnet buat online lagi.

Keseruan saya bermedia sosial waktu itu benar-benar tersalurkan dengan baik. Facebook buat berbagi cerita atau nulis cerpen di Notes, Twitter buat jokes receh dan singkat atau latihan menulis fiksi mini, atau MySpace buat ngikutin band-band favorit. Rasanya sangat menyenangkan, seperti punya sekotak mainan favorit yang siap dimainkan kapan saja sampai akhirnya negara api menyerang. Saya enggak tau kapan masa peralihan anak Twitter lama ke anak Twitter baru ini terjadi. Yang jelas, vibes-nya sudah tak menyenangkan lagi.

Pertama-tama dimulai dengan tiap twit bercanda ditimpali dengan serius, lalu ancaman UU-ITE setengah matang. Pada tahap ini saya sudah mulai jarang ngetwit karena takut salah ngomong. Belum lagi beredar kabar kalau banyak HRD yang ngecek media sosial calon pekerja—langsung keingetan twit-twit sampah yang pernah saya buat (jumlahnya puluhan ribu berdasarkan jumlah twit). Saya adalah orang yang sangat menjaga penampilan di depan publik, termasuk di media sosial. Jadi twit sampah ini harus segera dihapus sebelum ditemukan oleh HRD. Kedua adalah hilangnya kenyamanan membaca Replies sebuah twit yang viral karena 90% isinya adalah promosi tautan afiliasi dari marketplace. I get it, but I don’t understand it.

Dan alasan terakhir adalah adanya teman yang sopan di depan tapi menggunjing di Twitter alih-alih ngomong langsung ke yang bersangkutan. Sejak dulu, saya enggak pernah suka jenis orang seperti ini. Saya lebih suka orang yang ngomong langsung di depan muka secara jujur, daripada baik pas ketemu tapi malah bangsat di belakang. Alasannya adalah 1) kejujuran adalah kebenaran walau menyakitkan. 2) saya terbuka sama kritik. Dan 3) kita semua adalah antagonis dan protagonis di kehidupan orang lain dan kita hanya perlu mengakuinya.

Dan saya mengakuinya.

Tiga alasan itu sudah cukup untuk saya memutuskan tutup akun Twitter saat itu.

Kebutuhan menulis kemudian pindah dari Twitter ke blog karena Notes di Facebook sebetulnya sudah lama hilang tanpa alasan. Sempat bikin blog di Tumblr dan Medium untuk menuliskan hal-hal receh seperti yang biasa saya lontarkan spontan di Twitter, tapi kemudian perlahan hilang juga karena merasa tidak terlalu nyaman. Satu blog saja (yang kamu baca sekarang) sudah cukup. Hingga akhirnya setelah bertahun-tahun tak main Twitter, muncul Threads dan saya akhirnya seperti menemukan setitik cahaya di dalam kegelapan.

Meski enggak aktif banget, sejauh ini saya merasa lebih nyaman di Threads. Karena 1) rasanya seperti main Twitter saat awal-awal. 2) enggak follow yang udah saya follow di medsos lain. Dulu, entah kenapa tiap akun yang saya follow di Twitter, saya follow juga di Instagram atau Facebook, atau sebaliknya. Padahal, kontennya sama-sama aja. Jadi di Threads beneran saya sama sekali enggak follow siapa pun yang udah saya follow di medsos lain. Di Threads saya murni follow apa yang saya suka aja. 3) fiturnya masih terbatas dan bebas iklan. Saya tau, nanti sudah pasti akan ada iklan—namanya aja Thre-ADS! Tapi mumpung belum ada iklan, jadi saya manfaatkan keseruannya. Main Threads rasanya beneran seperti main Twitter saat awal-awal muncul, tapi dengan tampilan yang lebih modern. Enggak ada drama, enggak ada spam, enggak ada iklan. Rasanya seperti nostalgia ketika Twitter masih sering memunculkan gambar ikan paus kelelahan yang diselamatkan sekumpulan burung yang jadi logo Twitter sebelum diganti jadi X oleh Elon Musk.


Belakangan saya baca berita kalau Twitter bakal jadi platform yang sepenuhnya berbayar. Saya enggak tau apakah benar-benar akan diterapkan atau enggak, tapi kalau iya, sepertinya itu waktu yang bagus buat kembali ke Twitter lagi, karena enggak mungkin ada pengguna yang mau bayar ke sebuah platform dengan tujuan menyebarkan konten sampah. Sampai itu terjadi, saya akan tetap di Threads.

Sekian.
Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.