Bocor di Jalan
Rumah Sejuta Martabak
Mars, TX 75778
![]() |
Nur Andi Ravsanjani Gusma on Pexels. |
Setiap
kali melihat orang mendorong motor dengan keadaan ban bocor di jalan, gue
selalu heran. Selama punya motor, gue nggak pernah dorong motor kecuali pas
antre di pom bensin. Gue selalu ingat kalimat Bapak,
Mesin dan teknologi itu diciptakan buat memudahkan kita manusia, kalau mesin masih nyusahin kita, berarti kita salah menggunakannya.
Mendorong
motor yang bannya bocor alih-alih mengendarainya sampai ke bengkel terdekat,
menurut gue adalah salah satu indikasi mesin yang malah menyusahkan manusia,
bukannya sebaliknya. Gue pernah ngomong gini ke teman kuliah di kampus, dan dia
marah. Katanya, kalau motornya didorong sampai ke bengkel maka kemungkinan
masih bisa ditambal, yang berarti ongkosnya lebih murah. Kalau motornya
dikendarai sampai ke bengkel terdekat (yang jaraknya nggak bisa diprediksi),
kemungkinan besar bannya harus diganti dan ongkosnya lebih mahal. Kemungkinan.
K-e-m-u-n-g-k-i-n-a-n.
Karena
gue nggak suka debat, gue diemin aja.
Kenyataannya,
gue juga adalah pengendara motor dan kejadian ban bocor di jalan juga sudah sering
gue alami. Dan gue nggak pernah sudi mendorong mesin yang nggak punya perasaan
dan nggak merasakan sakit itu. Ternyata, nggak selalu ban motor gue harus
diganti, beberapa kali juga masih bisa ditambal. Lagi pula, beban motor ketika
didorong dengan dikendarai saat bannya bocor sama-sama berat.
Mesin
nol, Firman satu.
Daripada
berasumsi seperti teman gue yang berpikir pada dua kemungkinan (kalau didorong
kemungkinan masih bisa ditambal, kalau dikendarai dalam keadaan bocor
kemungkinan harus ganti ban), gue lebih memilih untuk mempersempitnya ke dalam
satu kemungkinan saja; harus diganti.
Gue
tau masalahnya pasti ada di biaya. Jadi gue berpikir begini…
Biaya
tambal ban: Rp 10-15 ribu
Biaya
ganti ban: Rp 40-60 ribu
Biaya
rumah sakit kalau sakit karena kecapekan habis dorong motor: > Rp 60 ribu.
Makanya
gue lebih memilih ganti ban motor, daripada ganti organ tubuh. Ini yang
sebenarnya mau gue jelasin ke teman gue di kampus waktu itu, cuma agak panjang
kalau dijelasin lebih detail dan menyeluruh, dan gue berpotensi dikatain lebay.
Tapi, Man, bukan masalah itu.
Kalau maksa ngendarain motor dalam keadaan ban bocor, ban luar jadi cepat rusak
dan velg motor juga bisa bengkok.
Makanya
kalau udah tau bannya bocor, jangan digas sampai kecepatan 182.5 kilometer per
jam. Pelan-pelan aja. Batu milik Patrick di Spongebob Squarepants aja nggak
ngapa-ngapain, tau-tau jadi juara lomba lari. Kuncinya satu; keberpihakan.
Tapi
bagaimanapun, tetap gue kembalikan ke empunya motor masing-masing. Mau didorong,
bebas. Mau dikendarai juga nggak masalah. Kayak Abang gue waktu ngajakin ke mal dan di jalan ban motor kami bocor.
“Kenapa
nggak dipake aja sih sampai ketemu bengkel?” kata gue sambil jalan di
belakangnya, dia mendorong motor dengan senyum dan semangat kayak freelance model
iklan pasta gigi yang invoice-nya baru aja cair.
“Hitung-hitung
olahraga, kan saya jarang olahraga,” jawabnya.
Pas
kami baru mendorong motor beberapa meter, dari belakang ada pengendara motor
matic yang membawa motornya pelan sambil duduk agak ke depan. Ban belakang
motornya kempes.
Gue
dan Abang langsung berpandangan.
“Itu
karena dia pake sepatu pria casual yang masih baru. Nggak mau kotor,” kata gue.
“Tapi
kan itu cewek.”
“Oh,
iya juga ya.”
“Ada-ada
aja!”
“Emang
iya.”
Setelah
beberapa menit mendorong motor, kami sampai di sebuah bengkel kecil pinggir
jalan. Setelah motor diparkir mengarah ke jalan, gue dan Abang gue duduk di
kursi plastik milik bengkel sambil minum minuman berenergi. Di depan bengkel
itu ada toko jual beli mobil yang baru aja buka dan mulai ramai.
“Kamu
tau nggak kenapa motor yang bannya bocor itu sebaiknya didorong?” kata Abang
gue, membuka percakapan setelah minumannya habis.
“Biar
olahraga sekalian, kan?”
“Bukan.”
“Terus?”
“Kalau
didorong, ada kemungkinan masih bisa ditambal. Tapi kalau dinaikin, pasti harus
diganti tuh.”
Gue
diam. Gue melempar kaleng minuman gue ke dalam tong sampah di samping bengkel.
Gue
memandangi si abang bengkel memeriksa ban motor gue, lalu beberapa saat
kemudian ia memandangi kami berdua.
“Wah,
Mas, ini bannya udah nggak bisa ditambal lagi. Harus diganti. Sobek, nih,”
terangnya sambil memperlihatkan bagian ban yang katanya sobek itu pada kami.
Gue
dan Abang gue kembali berpandangan.
“Ya
udah, diganti aja, Mas.”
Sungguh
olahraga itu menyehatkan.