Sebuah Kisah Klasik
Judul : Sebuah Kisah Klasik
Penyanyi : Sheila on 7
Album : Kisah Klasik untuk Masa Depan
Tahun : 2000
Waktu
kuliah, gue ngambil salah satu jurusan di Fakultas Ekonomi. Salah satu jurusan
yang paling banyak diminati di kampus dengan sekitar 40 ribu jumlah peminat
saat SBMPTN (dulu masih SNMPTN) dan akhirnya terpilih kurang lebih 80 orang
yang masuk di jurusan tersebut di angkatan gue.
Dari
80 orang, kami dibagi dua kelas, A dan B yang masing-masing berisi 40 orang. Gue
sendiri masuk kelas A dan dari 40 orang di kelas A gue mungkin hanya mengenal
sekitar 20 orang. Dari 20 orang itu, gue akrab sama delapan orang, dan dari
delapan orang itu gue akrab banget sama empat orang, dan keempat-empatnya
cewek.
Yang pertama namanya
Wiwiek.
Wiwiek
ini orangnya rame banget. Selera humornya receh, apa pun yang dibahas pasti dia
ketawa dan kalau dia udah ketawa, orang paling dekat dengan dia akan kena
gampar. Katanya sih refleks. Gue nggak bisa bayangin kalau Wiwiek sedang ngupas
sesuatu pake pisau lalu ada yang melucu di dekatnya.
Belakangan,
ketika gue sering main ke rumah Wiwiek, ternyata kakek-neneknya tinggal nggak
jauh dari rumah gue dan ternyata kami masih ada hubungan keluarga. Padahal gue
dulu sempat ada rencana buat menculik Wiwiek lalu gue paksa nonton video stand
up comedy di dalam sebuah ruangan dengan keadaan tangan terikat. Akhirnya gue
mengurungkan niat itu.
Yang kedua namanya
Lini.
Lini
ini paling lemot. Kalau kalian ngelucu sambil nunggu lampu merah berubah hijau,
dia baru akan tertawa di lampu merah berikutnya. Kalau lagi bahas sesuatu,
biasanya sejam kemudian dia akan membahasnya ulang dan kami akan sama-sama
berucap, “LIN, KAN TADI UDAH” sambil menepok jidat dosen kami.
Yang ketiga namanya
Nur.
Nur
ini yang paling rajin beribadah. Pokoknya dia nggak pernah ketinggalan satu pun
waktu salat. Kalau biasanya orang-orang baru ke masjid setelah mendengar suara
azan, Nur akan datang sehari sebelumnya saking rajinnya. Tapi, rajinnya dia
salat juga diimbangi dengan intensitas dia menceritakan aib orang lain. Dari
Nur juga gue mengetahui informasi dan aib teman-teman kelas lain tanpa harus
bertemu atau kenalan lebih dulu. Entah dari mana Nur mendapatkan semua
informasi itu, tapi mendengarkan aib seseorang rasanya nagih kalau Nur yang
menceritakan dengan akses khas daerahnya.
Yang terakhir
namanya Iwa.
Gue
mengenal Iwa jauh sebelum kuliah pertama dimulai. Gue mengenalnya ketika akan
mendaftar ulang di gedung BAAK kampus, waktu itu dia masih diantar oleh
orangtuanya (mungkin karena dia dari daerah) dan ibunya nanya gue jurusan apa
dan ketika gue jawab ternyata gue dan Iwa satu jurusan lalu ibunya nyuruh kami
kenalan dan tukeran nomor handphone.
Kami
pun tukeran nomor, kontekan, dan masih berteman baik sampai sekarang meskipun
kami sudah tidak pernah bertemu lagi.
Di
antara yang lain, Iwa ini yang paling berani. Berani dalam semua hal. Iwa berani
nantangin senior—yang dandanannya kalah menor dari dia—buat berantem. Iwa berani
nantangin dosen yang cara ngajarnya bikin ngantuk. Iwa berani nyontek kalau
benar-benar nggak belajar sebelum ujian, dan Iwa juga berani ke kampus pake
kemeja putih tipis tanpa mengenakan bra ataupun kaos dalam.
Serius.
Dia benar-benar melakukan semua itu.
Sementara
gue sendiri pendiam, dan kenal Iwa rasanya seperti punya bodyguard. Gue bisa kenal dengan Wiwiek, Lini dan Nur juga awalnya
dimulai dari Iwa. Awalnya Wiwiek, Lini dan Nur mengira gue pacaran sama Iwa
karena saking dekatnya kami. Tapi enggak. Gue waktu itu punya pacar, dan Iwa
nggak doyan cowok. Sementara teman-teman yang lain mengira gue banci karena
nggak pernah ngumpul sama teman cowok.
“Nggak
usah peduli apa kata orang, Fir. Yang penting kamu laki asli. Persetan kata
mereka. Ngasih duit juga enggak.”
Itu
adalah kalimat Iwa yang masih gue ingat sampai sekarang. Lagi pula, gue nggak
akrab sama teman-teman kuliah karena di luar itu gue masih main sama
teman-teman SMA dan ikut futsal rutin sama anak angkatan di bawah gue dari
jurusan lain.
Di
luar jam kuliah gue masih ngumpul sama Farel, Amri, Ardi, Wawan, dan Mus. Mereka
adalah teman-teman gue di SMA. Dan gue lebih nyambung ngobrol sama mereka
dibanding teman kelas di kampus yang bahasannya terlalu serius kayak profesor jelang
pensiun. Setiap Rabu gue selalu ikut main futsal bareng teman-teman sepupu gue
di Fakultas Ilmu Sosial. Sebenarnya di angkatan gue juga ada jadwal futsal
rutin, tapi entah kenapa gue baru tergerak buat ikut setelah gue yudisium dan
tinggal nunggu jadwal wisuda. Gokil, kan? Firman memang different dari yang lain.
Memasuki
semester lima, jurusan gue mengharuskan untuk mahasiswa memilih konsentrasi
jurusan yang dibagi tiga. Wiwiek ngambil konsentrasi keuangan bersama Lini dan Nur
memilih konsentrasi pemasaran (mungkin karena Nur jago ngomong, kalau Lini
entah alasannya apa), dan gue ngambil konsentrasi SDM dengan alasan
hitung-hitungannya lebih sedikit dari yang lain. Dan Iwa bingung mau milih
jurusan apa, jadi gue sarankan untuk ikut gue aja.
“Ah,
saya mau pindah jurusan aja deh,” katanya.
Lalu
dia beneran pindah ke jurusan lain yang nggak ada hitung-hitungannya. Hidup Iwa memang selo abis.
Mungkin
kalian ada yang bertanya kenapa Iwa bisa memilih berteman dengan Wiwiek, Lini
dan Nur padahal ada banyak teman lain di kelas. Jawabannya adalah karena mereka
semua fans berat Sheila on 7 (dan lagu favorit mereka semua adalah Sebuah Kisah
Klasik karena lagu ini diputar saat acara perpisahan SMA mereka, termasuk di
sekolah gue). Gue nggak ngefans amat sama Duta dan kawan-kawan, tapi anak-anak
90-an siapa sih yang nggak suka Sheila on 7?
Di
antara gue dan empat perempuan luar biasa itu, Wiwiek lulus paling cepat dengan
nilai cum laude, disusul Lini dan Nur lalu gue, dan Iwa baru lulus dua minggu
sebelum pihak kampus memutuskan untuk men-DO-nya.
Saat
tau Iwa lulus itulah, gue kepikiran untuk bertemu mereka lagi dan gue pun mengumpulkannya ke dalam satu grup
chat di Facebook.
Gue:
Guys, ucapkan selamat buat Iwa. Dia akhirnya lulus!
Wiwiek:
Wah, selamat Iwa! Akhirnya lulus juga. Gimana rasanya?
Nur:
Selamat, Iwa! Selamat menempuh hidup baru!
Gue:
Hahaha, kayak mau sunatan aja!
Wiwiek:
Hahaha. Sunatan. Hahaha.
Iwa:
Makasih semuanya. Makasih. Hari Minggu saya balik ke kampung nih. Hehe.
Suasana
sempat mendadak hening sebentar.
Gue:
Guys, sebelum Iwa balik, kita ngumpul dulu yuk. Makan bakso di belakang kampus.
Wiwiek:
Boleh tuh.
Nur:
Ayo. Besok aja gimana?
Iwa:
Besok boleh.
Gue:
Kalau gitu besok jam 11 siang.
Gue,
Iwa, Wiwiek, Nur: OKE.
Lalu
gue pun menutup aplikasi Messenger karena nggak ada chat lagi. Tapi beberapa
menit kemudian notifikasi Messenger di handphone gue berbunyi lagi.
Lini:
Eh ini ada apa ya?