The Diary of Jane
Judul : The Diary of jane
Penyanyi : Breaking Benjamin
Album : Phobia
Tahun : 2006
Dua
mangkuk bubur ayam sudah ada di atas meja dan belum tersentuh sejak disajikan. Sudah
satu jam lebih, dan sudah dingin. Gue hanya menatap kosong ke dalam layar
televisi yang sedang menyala, begitu pun dia. Sesekali kami saling menatap
dengan raut wajah yang sama-sama tidak bisa dijelaskan. Pagi itu adalah salah satu pagi paling berat yang pernah gue jalani.
Tiga
puluh menit kembali berlalu dan kami masih dengan aktivitas yang sama; menatap
televisi dengan tatapan kosong dan bubur ayam yang dibiarkan dingin, dan
tatapan tak terjelaskan yang sesekali.
Gue
membuka suara, menyuruhnya mulai makan karena makanan sudah dingin.
“Kamu
makan duluan aja,” katanya.
Sejujurnya
gue sudah tidak nafsu makan, bahkan walaupun buburnya masih panas. Siapa sih
yang bisa makan saat sedang marahan seperti ini?
“Saya
lagi diet.”
Tadinya
gue menatap dia dengan penuh pengharapan, lalu perlahan harapan itu berubah
menjadi rasa marah yang semakin lama semakin memuncak. Sekali lagi, gue
menyuruhnya untuk mulai makan.
“Dibilang
saya lagi diet!”
Gue
meraih remot televisi di ujung meja dan segera menekan OFF. Sesaat setelah
televisi tinggal layar hitam tanpa gambar dan suara, dia menatap gue dengan
tatapan yang sama marahnya lalu merampas remot itu dari tangan gue.
“Orang
lagi nonton,” katanya dengan nada yang cukup tinggi.
Tidak
tahan, gue berdiri dari tempat duduk dan mencoba merampas kembali remot dari
tangannya. Tangan gue mengalung dari belakang, tapi dia menolak gue peluk.
“APA-APAAN
SIH!” dia terus menolak.
Gue
mencoba dua-tiga kali lalu menyerah dan kembali duduk. Selanjutnya gue
mengambil handphone milik dia yang tergeletak di atas meja sejak tadi. Sudah sejak
berjam-jam lalu gue ingin membuka handphone yang sekarang ada di tangan gue
ini, tetapi selalu meminta passcode
yang entah apa. Setiap kali gue menanyakan kodenya, ia selalu berkilah.
“Nggak
usah dibuka, nggak ada apa-apa,” jawabnya dengan nada yang masih tinggi.
Gue
memutar-mutar handphone itu di atas meja dengan pikiran yang diserbu sejuta hal
negatif. Gue memikirkan segala hal yang mungkin terjadi jika saja pada akhirnya
gue berhasil membuka kunci handphone ini dan membuktikan sendiri perkataannya.
“Sini!”
katanya, berusaha merampas handphone itu dari tangan gue.
Gue
sempat menahannya, kemudian gue berpikir tidak ada gunanya. Jadi gue lalu
membiarkan dia berhasil mengambil alih benda yang memang seharusnya jadi
miliknya. Gue meminta sekali lagi agar dia mau membuka handphone-nya kalau
memang tidak ada apa-apa yang disembunyikan di sana. Sementara pikiran gue
semakin ke mana-mana.
“Nggak
usah, dibilang nggak ada apa-apa,” katanya lagi, lagi, dan lagi. Dia mengatakan
hal yang sama berulang dan berulang.
Gue
bertanya kenapa dia tidak mau sama sekali gue mengecek handphone-nya padahal
biasanya gue bebas melakukan apa saja. Dia yang sekarang begitu berbeda dengan
dia yang terakhir kali gue temui dua bulan lalu. Sama sekali berbeda. Gue nggak
habis pikir kenapa gue sebagai pacar tidak bisa melihat isi handphone pacar gue
sedikit saja.
“Memangnya
kita masih pacaran? Saya pikir saya tidak punya pacar lagi,” katanya, masih
dengan nada tinggi, dan marah.
Gue
tidak menjawab pertanyaan dan pernyataan itu. Gue membuka lemari sepatu di
belakang gue dan mengambil sepatu yang tadinya gue taruh di sana. Di samping
sepatu gue, ada satu sepasang sepatu futsal lagi, punya gue juga.
Setelah
memakai sepatu dan mengambil sepatu futsal yang satu lagi (tentu saja gue ambil
karena gue tidak akan kembali ke sini lagi), gue pergi tanpa berkata-kata. Sebelum
menancap gas, gue memutar lagu untuk mendengarkannya di jalan. Karena rumah gue
jauh dari kampus dan rumah dia, mendengarkan musik sambil berkendara adalah
salah satu kegiatan favorit gue.
“ANJING!”
dia berteriak dari dalam rumah sekali lagi lalu membanting pintu. Gue mengabaikannya
dan mulai menancap gas, menyusuri jalanan kota dengan perasaan campur aduk. Perasaan
marah, kecewa, sedih, ingin memaki, menyelimuti pikiran gue. Tapi, gue tetap
diam dan membiarkan setiap perasaan itu tetap di kepala. Yang gue inginkan saat
ini hanyalah cepat sampai di rumah, dan membenamkan diri di kasur, tidur, dan
berharap semua pikiran buruk ini hilang saat bangun.
Lagu
The Diary of Jane dari Breaking Benjamin yang menjadi lagu pertama yang
menemani gue di jalanan sudah selesai, dan gue tidak sabar menunggu lagu
berikutnya. Tetapi music player di
handphone gue memutar lagu yang sama.
Gue
menepi.
Gue
mengambil handphone dan berniat mengubah pengaturan dan mematikan mode repeat dan menggantinya ke mode shuffle. Saat layar terbuka, ada satu
pesan masuk di layar handphone gue. Dari dia.
“Maaf. Kamu tidak seharusnya pergi. Kita masih bisa memperbaiki semua ini. Semua salah saya. Kembalilah dan kamu bebas mengutak-atik handphone saya lagi, seperti biasanya. Maaf. Saya sayang kamu.”
Persetan!
Gue melanjutkan perjalanan tanpa mengubah pengaturan music player di handphone
dan tetap ditemani The Diary of Jane hingga tiba di rumah, oh dan bersama kumpulan
sumpah serapah yang gue teriakkan di dalam kepala tanpa jeda.