Fix You
via brenkee on Pixabay |
Judul : Fix You
Penyanyi : Coldplay
Album : X&Y
Tahun : 2005
Jogja is where it’s all begins.
Gue
berjalan menyusuri jalan Ringroad Utara kota Jogja di suatu malam sambil
menangis melantunkan lagu Fix You dengan penuh penyesalan. Pikiran gue terus
menolak menerima kenyataan yang gue hadapi, tetapi kenyataan itu juga terus
meyakinkan dirinya bahwa ia tidak sedang bercanda.
Di
depan sebuah toko megah yang sudah tutup, gue duduk, merenung dan terus
menangis.
Seharusnya
gue nggak ke Jogja.
Seharusnya
gue nggak tergoda.
Seharusnya
gue bisa lebih tegas.
Seharusnya
gue nggak begini, seharusnya gue nggak begitu, dan seharusnya dan seharusnya.
Penyesalan
demi penyesalan terus berkumandang di dalam pikiran. Gue berusaha tenang dan
mencoba berpikir lebih jernih, mencoba mengambil segala hikmah atas semua yang
sudah terjadi. Tetap semakin gue ingin berhenti memikirkannya, semakin
bertambah pikiran-pikiran itu. Bahkan semakin jauh.
Gue
berdiri dan melanjutkan berjalan sambil menggigit bibir, menahan tangis yang
sudah pecah.
Gue
berbelok ke dalam sebuah gang yang belum pernah gue lewati sebelumnya. Sejak gue
mulai merasakan depresi, rutinitas gue di malam hari kala itu adalah
berkeliling tanpa arah dan tujuan. Setelah beberapa belokan, gue lalu tiba di
Taman Kuliner. Gue duduk di belakang gedung tak berpenghuni, di sudut yang
gelap agar tidak orang yang melihat gue meratapi takdir. Dari tempat gue duduk,
gue bisa mendengar suara aliran sungai yang berpangkal di Merapi sana. Sungai itu
hanya beberapa langkah dari tempat gue duduk. Kelak, sungai itu juga punya
cerita sendiri yang selalu berhasil membuat gue menangis kala mengingat apa
yang gue lakukan di sana suatu subuh.
Gue
menghabiskan waktu berjam-jam duduk di belakang gedung itu. Gue terus menangis,
menangis, dan menangis.
Nggak
ada yang tau apa yang gue tangisi. Nggak ada yang melihat gue menangis, dan
nggak ada yang peduli sekalipun ada yang melihat dan tau mengapa gue menangis. Nggak
ada motivator yang mampu mengembalikan semangat hidup gue dan yang gue lakukan
adalah menangis, menangis, dan terus menangis hingga suara gue habis dan air
mata di pipi gue kering berkali-kali dan kembali basah untuk kesekian kali.
Sempat
tebersit di pikiran untuk lompat ke sungai itu dan mengakhiri hidup dengan cara
yang tidak lucu sama sekali. Tetapi kemudian gue ingat kalau sungai itu tidak
terlalu dalam, dan gue bisa berenang. Bagaimanapun, naluri dan keinginan gue
untuk hidup akan muncul jika gue memutuskan untuk menenggelamkan diri di sana.
Gue
menyeka air mata yang sudah kering lagi dan berjalan ke bagian belakang Taman
Kuliner, ke sudut yang lebih gelap dari sebelumnya. Di sana ada sepetak sawah dan
aliran air yang juga cukup deras.
Lagi-lagi
pikiran untuk mengakhiri hidup itu muncul.
Gue
berpikir untuk menusukkan sesuatu ke perut atau menggoreskan kaca ke nadi gue
lalu gue berbaring di tengah sawah dan membiarkan malaikat menjemput nyawa gue
dan biarkan tubuh gue ditemukan oleh warga setelah membusuk.
Tapi
lagi-lagi gue berpikir...
Apakah kalau gue mati sekarang,
semuanya jadi lebih baik?
Apakah kalau gue mati sekarang
semua kembali menjadi normal?
Apakah kalau gue mati sekarang gue
akan dimaafkan?
Apakah kalau gue mati sekarang
akan membuat masalah yang gue tinggalkan menjadi selesai atau setidaknya jadi
lebih mudah?
Tidak
ada jawaban “iya” atas setiap pertanyaan gue malam itu. Maka, gue pun
mengurungkan niat itu. Gue lalu berdiri dan melanjutkan perjalanan tanpa arah
dan tujuan ini ke terminal Condongcatur, berjalan melewatinya begitu saja tanpa
memperhatikan apa pun. Gue terus berjalan hingga akhirnya tiba di depan sebuah
warung makan, tempat dulunya gue sering makan.
Setelah
melihat ke dalam sebentar, gue lanjut berjalan. Gue berjalan, berjalan, dan
terus berjalan. Gue sudah berjalan berkilo-kilometer jauhnya tetapi gue nggak
merasa capek sama sekali. Gue berhenti karena gue memang ingin berhenti, bukan
karena capek.
Gue
berjalan dan berjalan lagi.
Lalu
gue tiba di sebuah pekuburan. Gue duduk di depan kuburan, di seberang jalan. Tiga
ekor anjing di dalam kuburan menggonggongi gue bersamaan, tetapi gue tidak
peduli. Gue terus saja menangis, dan menangis dengan penuh penyesalan. Anjing-anjing
itu berhenti menggonggong setelah beberapa menit, lalu gue berjalan mendekati
mereka, menopangkan tangan ke pagar hijau pekuburan, dan memulai percakapan
dengan para anjing.
“Hey, Doggies! Are you trying to tell me
something? Say it, I am listening!”
Mereka
diam, tetapi mereka memasang kuda-kuda yang kuat dan siap menerkam gue kapan
saja. Gue takut anjing, tetapi saat itu gue sama sekali nggak peduli.
“TELL ME SOMETHING, MOTHERFUCKER! TELL ME!”
Setengah
berteriak, gue melihat ke sekeliling. Kalau ada yang melihat gue, mereka pasti
mengira gue sudah gila, atau mungkin sedang kesurupan. Tetapi gue sadar
sepenuhnya. Gue tidak gila, tetapi malam itu gue berharap jadi gila.
“Say something, you fucking dogs!”
Salah
satu dari mereka lalu menggonggong sekali yang gue artikan sebagai usiran. Gue pun
berjalan melewati kuburan itu dan berniat untuk pulang ke kosan. Lalu tiba-tiba
kaki dan punggung gue terasa berat.
Gue
berhenti di sebuah minimarket untuk membeli minuman kaleng. Kasir perempuan itu
menatap gue dengan tatapan penuh tanda tanya ketika gue hendak membayar. Gue tau
pasti muka gue terlihat sangat lelah, tetapi percayalah, gue nggak merasa capek
sama sekali. Yang betul-betul lelah hanya pikiran dan hati gue. Gue benar-benar
tidak bisa berpikir jernih, dan itu terjadi setiap malam selama berbulan-bulan.
Setelah
keluar dari minimarket, gue berjalan menuju kosan dan gue baru sadar kalau
ternyata gue sudah berjalan sangat jauh. Sesekali gue masih berhenti setiap
menemukan tempat yang gelap dan mengira tidak akan ada yang melihat gue di
sana, dan berkali-kali pikiran ingin menghabisi diri sendiri itu muncul. Gue merasakan
diri gue terbagi dua; diri yang ingin gue segera mati, dan diri yang ingin gue
tetap hidup, yang percaya bahwa gue bisa melewati semuanya.
Gue
membiarkan mereka berdua bertengkar dan pada akhirnya diri gue yang ingin gue
tetap hiduplah yang menang. Ia selalu memenangkan perang batin setiap malam. Gue
tidak tau itu hal baik atau buruk untuk gue. Karena, kemenangannya tidak
menyelesaikan masalah yang sudah ada, justru semakin ada-ada saja. Dan setiap
kali seperti itu, diri gue yang satu lagi selalu datang dan membujuk gue untuk mengikuti
keinginannya.
Tetapi
gue tidak pernah menuruti permintaan itu. Diri gue yang lain selalu melawan. Hampir
setiap malam selama berbulan-bulan gue melakukan rutinitas ini; berjalan,
menyanyikan lagu Fix You, menangis, menyesal, ingin mengakhiri hidup, dan
melawan keinginan bodoh itu.
-IIIII-
Pada
akhirnya gue meninggalkan Jogja.
Jogja
dan segala pahit-manisnya. Tetapi, mimpi buruk di sana akan tetap ikut ke mana
pun gue memilih tinggal setelahnya. Mimpi-mimpi itu akan terus ada dan
menghantui gue seumur hidup. Kadang-kadang gue memikirkannya sampai ketiduran,
kadang-kadang pula gue terjaga dini hari karena memimpikannya. Kenangan di sana
berubah menjadi energi yang mematikan dan tidak bisa dimusnahkan. Malah,
pemicunya semakin bertambah dan ada-ada saja.
Tetapi, gue tidak ingin membenci
Jogja karenanya. Gue justru ingin berterima kasih, karena Jogja menjadikan gue
pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, setidaknya untuk diri gue sendiri. Pahit
dan sakit yang gue telan paksa di sana membuat mengerti arti hidup yang
sebenarnya, membuat gue tau bahwa dunia lebih luas dari apa pun yang pernah gue
bayangkan, dan bahwa hidup memang seharusnya seimbang dalam segala hal.
Banyak
sekali yang ingin gue ceritakan lebih lanjut lewat tulisan ini, tetapi semuanya
tertahan karena hal-hal yang tidak bisa dijelaskan bahkan oleh diri gue
sendiri.
Seperti
kata Chris Martin di lagu ini, if you
never try, you’ll never know, maka gue pun mencoba. Mencoba untuk keluar
dari masa-masa gelap meskipun gue nggak tau apakah gue menuju ke kegelapan yang
lain, atau tidak. Tapi, semua orang berhak bahagia, bukan?
TX
75778, 19 Januari 2018.
NF.