So much has happened


SO MUCH HAS
happened lately in my life.

Saya sampai bingung mau mulai nulis dari mana dulu saking banyak dan beragamnya kejadian-kejadian dalam hidup. Setengah tahun lalu, saya menulis tentang kenapa kita hidup di dunia ini kalau hanya menjalani rutinitas yang membosankan dan tanpa makna. Setelah itu, saya mulai memikirkan ulang tujuan hidup saya, dan apa yang ingin saya capai dalam hidup—terlepas dari saya bisa atau tidak bisa mencapainya.

Lalu saya merasa hal itu mengantarkan saya pada banyak kejadian-kejadian tak terduga yang beberapa di antaranya akan saya ceritakan di sini.

Membaca buku

Bulan lalu saya baru menamatkan buku Bicara Itu Ada Seninya dari Oh Su Hyang. Dari buku ini saya banyak belajar tentang teori berbicara di depan umum, tapi tentu saja saya tidak punya ruang yang cukup untuk mempraktikkannya karena saya kerja dari rumah, dan jarang ketemu orang. Kalaupun ketemu, rasanya saya tidak akan ingat isi bukunya apalagi kalau ngobrolnya cuma sebentar.

Tiba-tiba saja, akhir bulan Maret ini saya mendapatkan tawaran untuk menjadi satu dari dua speaker untuk acara komunitas. Begitu tau temanya tentang remote working—dengan pengalaman bekerja secara remote selama lebih dari delapan tahun—tanpa berpikir dua kali saya langsung mengiyakannya.

Setelah itu, baru saya bertanya ke diri sendiri: “Memangnya saya bisa?”

Terakhir kali ketemu dengan teman istri dari Makassar, saya mandi keringat—sebegitu tidak siapnya saya tiap ketemu dengan orang baru. Namun, saya tetap berani dan percaya diri saat diajak menjadi pembicara. Oh, mungkin lebih tepat kalau disebut nekat. Saya selalu berpikir positif, dan ngomong sama diri sendiri kalau saya pasti bisa.

Hasilnya? Ternyata lancar tanpa mandi keringat. Dengan modal penguasaan materi (ya iyalah, delapan tahun kalau sampai enggak menguasai, keterlaluan, sih) dan latihan beberapa hari sebelum acara, ternyata semuanya berjalan lancar dan umpan balik dari para peserta ternyata positif. Saya pulang dengan perasaan senang karena merasa berguna untuk orang lain. Perlahan terpikir kembali tentang tujuan hidup yang saya sebutkan pada awal tulisan. Apa memang ini tujuan hidup yang selama ini saya cari? Saya bergumam, meski sebetulnya masih terlalu dini untuk menyimpulkan.

Sebagai pemula, tentu banyak catatan yang perlu saya koreksi lagi untuk acara-acara berikutnya. Namun, saya merasa “kebetulan” banget habis baca buku tentang seni berbicara, lalu diajak berbicara tak lama setelahnya. Seolah semesta sudah menakdirkan.

Oke, cukup sampai di sini saja.

Akun Instagram di-disabled

Sebetulnya tidak ada penyesalan yang terlalu dalam ketika tau akun Instagram saya di-disabled secara sepihak oleh Meta. Saya hanya mempertanyakan: kenapa? Saya merasa tidak melakukan hal yang membahayakan pihak mana pun. Satu-satunya yang saya lakukan seminggu sebelum akun saya hilang tanpa jejak, adalah mengkritik pemerintah di media sosial. Itu pun tidak sekeras kebanyakan pemengaruh yang punya audiens besar di luar sana. Kritik saya hanya sebatas repost berita + komentar singkat yang tak pernah lebih dari seratus kata. Namun saya akhirnya jadi tau kalau pemilik media sosial, dan platform lainnya bisa secara sepihak mencabut akses penggunanya tanpa perlu menjelaskan alasannya. Bisa dengan alasan benci, iseng, atau mungkin untuk sekadar ngasih tau kalau mereka bisa.

Sudah seminggu sejak saya mengajukan banding, tapi rasanya tidak akan ada titik terang. Jadi saya mengaktifkan kembali akun lama yang memang saya buat sebagai backup. Akun yang saya buat dari tahun 2012 itu akhirnya kini lenyap.

Mungkin hal yang saya sedikit sesali adalah portofolio yang tersimpan di Highlight. Selebihnya, tidak ada. Saya memang dari dulu membiasakan untuk tidak terlalu attached dengan apa pun, agar tidak terlalu sakit saat tiba-tiba hilang. Dan untunglah, saat akun saya hilang dua hari sebelum acara komunitas yang saya sebutkan di atas, saya benar tidak terlalu merasa kehilangan dan tetap bisa fokus ke acara.

Menjadi influencer di LinkedIn

Satu-satunya tempat saya sering menulis konten dan membagikan expertise sekarang adalah LinkedIn. Rasanya, itu adalah satu-satunya tempat di mana saya merasa “aman” untuk berekspresi. Terlebih karena di sana memang saya tidak pernah menyentuh politik dan hal sensitif sama sekali. Saya hanya membahas AI dan AI.

Sebenarnya selain LinkedIn, saya juga tadinya aktif di X dan Threads dengan mirroring postingan dari LinkedIn. Setelah Threads ikut lenyap bersama Instagram dan X terlalu bising dengan politik, perselingkuhan, atau mempermasalahkan hal yang seharusnya tak perlu, saya memutuskan untuk benar-benar fokus ke LinkedIn saja. Kenapa LinkedIn? Karena 1) tidak perlu bisa desain, dan 2) tidak harus over-active untuk terlihat. Dari situ saya menetapkan tujuan: ingin menjadi influencer di LinkedIn dan memperkenalkan AI ke sebanyak mungkin orang.

For the record, saya punya akun LinkedIn sejak tahun terakhir kuliah, tapi baru benar-benar aktif sekitar tiga bulan terakhir dengan dua target—jangka pendek dan jangka panjang, 1) sepuluh ribu pengikut dalam enam bulan, 2) terpilih sebagai LinkedIn Top Voice.

Tomri passed away

Tomri adalah nama singkatan. Dia adalah kurir paket langganan saya dan istri. Kami, terutama saya, sering ketemu secara tidak sengaja dengan Tomri di jalan ketika keluar rumah. Orangnya baik, ramah, dan selalu tersenyum saat bekerja.

Seminggu terakhir sebelum saya mengetahui kabar meninggalnya, saya dan istri sempat bertanya-tanya, “Udah lama yang gak liat Tomri bawa paket ke jalan sini,” kata kami.

Ternyata, dapat kabar dari tetangga yang juga mengenalnya, dia baru saja mengakhiri hidupnya dengan seutas tali di kamar kontrakannya. Tidak ada yang tau alasan pastinya, tetapi saya sangat shock mendengar beritanya meski saya tidak kenal secara personal.

Saya mengenal Tomri sebagai orang yang sangat baik dan ramah, dan karena kebaikan dan keramahannya itulah saya merasa ada yang hilang saat mengetahui dia sudah tidak ada. Setelah sekian lama, saya merasa kehilangan lagi.

Perjalanan masih panjang.

Ya, perjalanan memaknai hidup versi saya masih sangat panjang. Dari kejadian-kejadian yang saya tulis di atas, saya jadi makin sering berdiam diri dan mempertanyakan kehidupan. Mempertanyakan soal tujuan saya dihadirkan dalam kehidupan ini, tujuan dipertemukan dengan tukang bakso langganan yang ternyata kenal dengan kakak ipar, hingga tukang parkir di pasar yang selalu menyediakan ruang kosong untuk kendaraan saya. Apakah itu hanya bagian dari rutinitas membosankan, ataukah ada makna yang belum bisa saya baca. Atau, mungkinkah saya hanya sedang berada dalam fase krisis kepercayaan dan eksistensi?
Copyright © N Firmansyah
Building Artifisial Newsletter.