Memaknai Hidup
WFH DENGAN KONDISI punya toddler membuat saya sangat jarang keluar rumah. Rutinitas keluar rumah saya hanya ke pasar sekali sepekan, ke supermarket sekali tiap dua pekan, dan mengajak anak-istri jalan-jalan kala weekend.
Ya. Meski kerja di rumah, jalan-jalan tetap dilakukan weekend karena saya tetap punya jam kerja wajib seperti pekerja kantoran pada umumnya. Bedanya hanya pada lokasi kerja dan cukupnya fleksibilitas karena bisa sambil mengurus rumah dan anak.
Saat keluar rumah pun saya tak bisa serta-merta menikmati dunia luar karena selalu kebagian tugas menyetir. Saya harus fokus menyetir agar mobil kami tidak menyerempet pedagang pinggir jalan yang mengambil hak pejalan kaki, atau tertabrak pemotor ugal-ugalan yang buta warna tiap tiba di depan lampu lalu lintas.
Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali saya hanya duduk diam dan menikmati semesta. Padahal overthinking tentang dunia dan kehidupan di dalamnya adalah salah satu kegemaran kepala saya. Dan akhirnya terpenuhi juga ketika minggu lalu saya mengiyakan ajakan seorang teman untuk bermain futsal.
Karena jadwal futsal kami adalah jam macet pulang kerja, saya memutuskan untuk naik Go-ride. Sepanjang lima kilometer perjalanan, saya hanya bengong dan merenung melihat betapa padatnya kota tempat saya tinggal. Saya dan driver melaju di antara ribuan kendaraan lainnya pada malam itu. Kerlap-kerlip lampu kendaraan saling beradu, saling menyalip tanpa henti seolah sedang dalam trek perlombaan, berusaha tiba paling duluan di tujuan. Rutinitas yang sungguh membosankan dan melelahkan.
Sepanjang jalan, pinggir jalan tak ada yang sepi. Orang-orang yang antre membeli makanan tidak sehat di pinggir jalan; mengantre mengisi bahan bakar yang sebentar lagi tanpa subsidi di SPBU; atau tukang parkir liar yang terus memalak pengendara sembari mengisap nikotin tanpa jenuh.
Kesibukan nonstop ini membuat saya bertanya-tanya: sebenarnya apa tujuan kita hadir di dunia ini?
Petuah bijak berbunyi: hidup harus bermakna. Akan tetapi makna seperti apa yang harus ada di dalam hidup? Atau pertanyaan yang lebih mendasar: apakah kita benar-benar tau bagaimana cara memaknai hidup?
Atau: apakah mengantre membeli makanan—berbaris bersama orang-orang asing dengan kikuk adalah bagian dari perjalanan kita dalam mencari makna hidup?
Apa urusannya semua itu dengan hidup yang harus ada makna?
Mungkinkah kita memang tak lebih dari sekadar pelengkap kehidupan yang jika tidak ada pun tak jadi masalah?
Pertanyaan terakhir didasari oleh pertanyaan-pertanyaan lain yang memutar nonstop di kepala: jika saya mati, apakah dunia akan berubah? Saya sudah melihat banyak kematian, tetapi sebagian besar kematian itu tak mempengaruhi banyak hal dalam kehidupan secara umum, dan personal saya. Hanya ada beberapa kematian individu yang saya ingat mampu menggerakkan gerakan sosial, tetapi perlahan terlupakan juga. Mungkin memang ada yang salah dengan standardisasi society yang kita bentuk, entahlah.
YOLO
Dalam lagu “You Only Live Once” oleh Suicide Silence, ada penggalan lirik “You only live once so just go fucking nuts!”. Lalu, dalam salah satu acara stand up comedy Ricky Gervais di Netflix—yang saya lupa judulnya—dia juga berkata, kurang lebihnya, bahwa kita diberi kesempatan hidup hanya sekali. Jadi, lakukan saja apa yang mau kamu lakukan lalu mati. Do whatever the fuck you want, and then just die.
Saran yang sederhana, tetapi implementasinya sangat rumit.
Untuk sekadar mengatakan “Aku sayang kamu” ke orang yang kita sukai saja butuh waktu panjang dan overthinking ribuan kesempatan. Segala “what if” akan berputar tanpa henti di kepala sampai akhirnya waktu berlalu sehari, seminggu, sebulan, setahun, bahkan ada yang puluhan tahun tak terucapkan karena terlalu banyak pertimbangan.
Sampai di sini saya jadi tiba-tiba kepikiran: Apakah rasa takut adalah penyebab utama kita gagal menemukan makna hidup, atau mungkinkah sebenarnya hidup tak harus punya makna karena pada akhirnya kita juga akan kebagian menjalani skenario mengantre membeli makanan dan berbaris bersama orang-orang asing dengan kikuk?