Kecerdasan Bualan
KECERDASAN BUATAN.
Lebih familier dengan sebutan AI.
Sejak ChatGPT hadir dan meledak tahun 2022 akhir, dunia teknologi berubah drastis. Disrupsi yang hanya diprediksi sedikit pakar akhirnya hadir.
Sejak hadirnya AI pula cara kerja saya jadi berbeda 360 derajat. Atau bisa dibilang, cara sebagian besar orang bekerja di seluruh dunia berubah drastis sejak meledaknya AI.
Padahal AI sebenarnya bukan barang baru. Meski harus digarisbawahi bahwa AI dan Generative AI memiliki sedikit perbedaan.
Secara sederhana, AI yang dulu kita kenal adalah sistem yang dirancang untuk mengeksekusi tugas yang diminta oleh pengguna. AI ini tidak memerlukan pembelajaran mendalam karena tugasnya juga tidak kompleks, dan banyak ditemukan pada robot-robot. Sedangkan AI yang kita kenal hari ini adalah Generative AI, di mana ia menggunakan teknik pembelajaran mendalam atau deep learning untuk menghasilkan berbagai jenis konten secara mandiri dengan tingkatan yang berbeda, mulai dari teks, gambar, audio, hingga video.
AI sendiri sudah dikenal sejak tahun 1950-an saat Alan Turing memperkenalkannya dalam paper Computing Machinery and Intelligence yang juga disinggung dalam film The Immitation Game. Sedangkan Generative AI sendiri baru mulai dikenal sekitar 40 tahun setelahnya, dan baru meledak saat ChatGPT diperkenalkan November 2022 lalu.
Banyak yang tidak tau, jauh sebelum itu, pada 2009 Grammarly sebenarnya sudah menggunakan Generative AI dan machine learning untuk membantu mengoreksi tulisan-tulisan, tetapi pada saat itu alat yang mampu mengoreksi dan memberi sugesti pada tulisan dianggap hal yang bagus, tapi tidak wah. Pada dasarnya Grammarly dan ChatGPT menggunakan sistem pembelajaran yang serupa. Apa yang membedakan keduanya—pada saat itu—adalah kemampuan ChatGPT dalam coding, dan percakapan dua arah yang memungkinkan pengguna menghasilkan output dengan berdiskusi langsung dengan AI-nya.
Grammarly tidak memungkinkan kita untuk bercakap-cakap, murni hanya memberi saran kalimat, lalu selesai. Sedangkan ChatGPT bisa diminta untuk membuat artikel hanya dengan memberikannya judul, sesuatu yang tidak dilakukan Grammarly.
Ini tentu masuk akal karena memang Grammarly sesuai namanya bertugas untuk mengoreksi dan menyarankan subtitusi kata atau kalimat saja, tidak lebih. Namun saya juga ingat saat mencoba ChatGPT saat usianya baru sebulanan. Hasilnya bagus, tapi masih jauh dari kata memuaskan.
Sekarang pun sebenarnya masih sama, terutama untuk versi gratisnya. Namun, versi berbayar ChatGPT memang memberikan pengalaman yang jauh lebih baik, dan dengan melatihnya dengan tepat dan sesuai keinginan, kita benar-benar bisa menghemat waktu sangat banyak.
Belakangan saya baru tau kalau ternyata kunci penggunaan AI yang efektif terletak pada prompting. Prompting adalah alasan kenapa ada orang yang merasa sangat terbantu dengan AI, tapi ada juga yang merasa AI tidak berguna. Saya termasuk yang sangat terbantu.
Karena basic saya penulis, saya melatih ChatGPT untuk membantu saya meriset, melakukan brainstorming, hingga meniru gaya menulis saya. Dan saya jadi bisa menghemat lebih banyak waktu. Artikel yang tadinya butuh waktu dua-tiga hari atau bahkan seminggu untuk diselesaikan, bisa saya rampungkan dalam satu hari. Saya hanya perlu memverifikasi dan memastikan validitas data yang diberikannya, memolesnya sedikit, dan memberikan sentuhan magis manusia yang belum bisa dilakukan AI mana pun hari ini.
Industri AI benar-benar hal yang sangat menarik belakangan ini dengan segala kontroversinya.
Dan meski kehadiran Generative AI secara masif ini baru memasuki tahun ketiga pada tahun ini, industri ini bergerak sangat cepat. Tiap hari ada perusahaan AI baru yang muncul, dan tiap hari ada setidaknya satu perusahaan AI yang berhasil mengamankan pendanaan. Saking cepatnya, juga banyak perusahaan AI yang berguguran sebelum sempat bertunas—bukti bahwa industri dan teknologi AI bergerak terlalu cepat.
DeepSeek VS OpenAI
Selama hampir dua tahun OpenAI merajai industri teknologi AI lewat ChatGPT yang mendominasi pasar global. Terlalu powerful bahkan. Tahun lalu website ChatGPT dikunjungi hingga tiga miliar kali, sedangkan pesaing terdekatnya bahkan tak mampu mencapai setengahnya. Awal tahun 2025, tiba-tiba DeepSeek muncul dan menciptakan disrupsi di dalam disrupsi.
Seperti Inception.
Menariknya lagi, OpenAI mampu menguasai dunia AI selama dua tahun karena disokong dana besar, hingga lebih dari $100 juta. Disrupsi pun terjadi ketika DeepSeek hadir dengan kenyataan bahwa AI ini:
❇️ Gratis
❇️ Hanya menghabiskan kurang dari $6 juta untuk pembuatannya
❇️ Melampaui ChatGPT dan AI mana pun dalam performa
❇️ Membuat pasar AI global chaos.
Yang paling menarik adalah bagaimana saham NVIDIA anjlok dan kehilangan lebih dari $500 miliar dalam 24 jam.
Cina, Cina, Cina
Sejak awal saya tidak pernah meng-underestimate Cina dalam hal apa pun, meski banyak orang yang suka mengejek dengan “semua yang diproduksi oleh Cina adalah barang jelek, imitasi, dan murahan.”
Kenyataannya iPhone pun diproduksi di sana, dan rasanya saya belum pernah mendengar teman-teman saya yang pengguna iPhone mengeluhkan hal itu.
Sekarang kemunculan DeepSeek AI setidaknya makin membuktikan bahwa kita sebenarnya mampu menciptakan alat berkualitas dengan biaya semurah mungkin. Cina sudah terbiasa dengan hal ini—sesuatu yang mustahil dilakukan oleh Amerika Serikat karena biaya dasar di sana saja sudah sangat mahal.
Hal yang sama berlaku untuk India. Setahun terakhir saya banyak berinteraksi dengan orang-orang dari India dan sekitarnya, dan saya juga percaya bahwa tak lama lagi akan ada pesaing baru untuk DeepSeek dan OpenAI yang berasal dari India.
Kontroversi
DeepSeek tidak datang dengan mulus. Meski powerful, kontroversinya juga terlalu banyak. Mulai dari orang-orang yang meragukan biaya pengembangannya, masalah bias dalam menjawab pertanyaan tertentu, hingga kecurigaan Microsoft dan OpenAI yang merasa adanya pencurian data OpenAI untuk melatih DeepSeek.
Open-Source VS Closed-Source
Saya kira banyak orang yang memiliki anggapan yang keliru tentang konsep open-source. Tahun lalu OpenAI dikecam banyak pihak setelah memutuskan untuk menutup diri dari dunia luar karena tidak lagi menjadikan model AI mereka bersumber terbuka atau open-source—sekarang OpenAI bersifat closed-source.
Padahal, sejatinya ini bukan tentang open-source atau bukan. Ini semua tentang dataset. Sebagai gambaran, Google Gemini adalah AI yang bersifat open-source sehingga semua orang bisa membuat Gemini mereka sendiri. Namun, dataset-nya sudah pasti berbeda.
Saya mungkin bisa punya Gemini saya sendiri, tetapi dataset-nya dari mana? Kalaupun ada, saya tidak punya storage yang cukup untuk mengunggah dan melatihnya di dalam Gemini yang sudah saya buat tadi, sedangkan Google punya segala sumber daya di internet. Hal itulah yang membuat Gemini punya Google dan Gemini punya saya berbeda, meski menggunakan kode yang sama persis. Namun orang malah sibuk membahas soal DeepSeek yang open-source dan OpenAI yang closed-source, padahal yang seharusnya diperdebatkan adalah apakah dataset-nya hasil mencuri karya orang lain atau bukan.
Saya juga bisa membuat alat AI serupa DeepSeek dalam 24 jam, tapi jika saya tidak punya dataset yang mumpuni, sama saja dengan menaruh mobil Ferrari di tengah sawah—tidak berguna. Itu pula alasan mengapa kebanyakan orang (dan perusahaan) lebih memilih memanfaatkan API dari DeepSeek, OpenAI, atau lainnya untuk menjalankan alat-alat AI mereka alih-alih membangun yang baru nol.
So it has to be dataset instead of open-source or closed-source.
Kesadaran aka Consciousness
Baru saja, Geoffrey Hinton yang adalah peraih Nobel bidang Fisika dan dikenal sebagai “The Godfather of AI” menyatakan bahwa AI saat ini sudah sampai pada tahap memiliki kesadaran.
Kesadaran adalah salah satu faktor penting yang membedakan manusia dengan AI. Bahkan, banyak yang percaya bahwa AI tidak akan pernah memiliki consciousness ini karena tidak memiliki dasar untuk bisa memilikinya: pengalaman subyektif.
Namun, mendengar ini keluar dari mulut seorang ahli AI yang sudah sangat sepuh, ada perasaan waswas meski pernyataan ini masih sekadar argumen. Mungkin jika kelak memang AI mampu mencapai consciousness, dunia akan segera berakhir.
Namun apa pun itu, saya cuma selalu berharap satu: semoga AI ini tetap pada tujuan awalnya yaitu untuk membantu dan memudahkan pekerjaan dan hidup manusia. Sebab jika tidak, mungkin ia lebih pantas disebut sebagai kecerdasan bualan.