Beralih ke Private Sector


BULAN Januari 2024, kartu ATM BCA istri saya tiba pada masa kedaluwarsa. Jadilah pagi itu saya ke bank BCA terdekat dari rumah untuk mengurus penggantian kartu. Saya tidak berekspektasi apa-apa, dan memang telah meluangkan waktu sekitar satu jam untuk mengurusnya. Juga sudah izin ke rekan kerja untuk menemani istri karena dia tidak bisa sendirian.

Lokasi kantor cabang BCA terdekat dari rumah saya berada di Jalan Ahmad Yani, Bandung, sekitar 10-15 menit menggunakan kendaraan umum atau pribadi. Menariknya, saya hanya menghabiskan waktu kurang dari 5 menit di dalam bank. Saya bahkan masih ingat betul detailnya.

Begitu tiba, saya langsung dapat parkiran di tempat yang teduh setelah juru parkir mengarahkan dengan sigap dan cekatan. Setelah itu kami (saya, istri, dan anak) menapaki kurang dari sepuluh anak tangga dan langsung disapa dengan ramah di pintu masuk oleh petugas keamanan bank.

“Kartu ATM saya kedaluwarsa,” kata istri saya. Petugas langsung mengarahkan kami ke salah satu karyawan perempuan yang kemungkinan adalah Assistant Service yang sudah stand by tak jauh dari kami.

Istri saya menghampiri karyawan tersebut, lalu saya duduk di kursi ruang tunggu tak jauh dari mereka sehingga saya bisa tetap mendengar atau melihat jika istri saya memanggil. Istri saya lalu mengulang penjelasan bahwa kartu ATM-nya kedaluwarsa. “Tinggal nunggu satu orang lagi aja, Bu,” kata karyawan itu sembari menunjuk mesin pencetak kartu baru yang bentuknya hampir sama persis dengan mesin ATM pada umumnya. “Sambil menunggu bisa disiapkan e-KTP, apakah ada?” lanjutnya.

Istri saya langsung menyiapkan yang diminta. Tak sampai semenit, pelanggan di depannya beres. Giliran istri saya. Saya memperhatikan dari belakang sambil memangku anak saya yang baru pertama kali berkunjung ke bank. Istri saya terlihat menekan beberapa tombol, dipandu oleh karyawan yang sedari tadi menemani. Setelah beberapa langkah di depan sana, kartu ATM baru keluar.

Beres.

Selesai.

Saya bahkan belum sempat melirik seisi ruangan bank ini.

Kami keluar dengan rasa puas yang tak terdeskripsikan. Padahal saya sudah meluangkan waktu sekitar satu jam, tetapi semuanya beres dalam waktu amat sangat singkat. Kurang dari lima menit, secara harfiah.

Lalu kami mengobrol sepanjang jalan pulang tentang betapa memuaskannya pelayanan BCA. “Sejak dulu memang begitu,” kata istri saya.

Saya yang baru punya rekening BCA tiga tahun terakhir hanya bisa mengiyakan. Memang saya takjub dengan pelayanannya. Ketika saya buka rekening baru tiga tahun lalu, pelayanannya juga sangat cepat. Tak sampai 30 menit, dan sangat informatif.

Lalu tiba waktunya kartu ATM BNI saya kedaluwarsa.

Saya juga masih ingat kronologinya, karena memang kejadiannya belum lama. Kartu ATM BNI saya kedaluwarsa pada Februari 2024 kemarin, dan saya mengurus penggantian kartu tepat pada 29 Februari 2024, hari Kamis setelah izin ke rekan kerja. Formasinya sama persis dengan ketika dua bulan sebelumnya datang ke BCA—saya, anak, dan istri. Ini akan jadi kali kedua anak saya ke bank.

Pertama-tama saya datang ke kantor cabang BNI terdekat yang lokasinya di seberang bank BCA yang bulan kemarin saya datangi—di Jalan Ahmad Yani, Bandung.

“Siapin waktu lebih lama aja kalau ke BUMN,” kata istri saya. Saya iya-iya saja, memang bakal berapa lama, sih, ganti kartu ATM doang? Kata saya dalam hati.

Tibalah kami di kantor cabang BNI. Parkir, masuk, ditanya oleh petugas keamanan, diberi nomor antrean lalu diminta mengantre untuk kemudian ke bagian Customer Service atau yang sering disebut CS.

Saya duduk di ruang tunggu, sementara di depan saya kedua konter CS sedang menerima tamu lain. Dua konter lagi sedang kosong. Saya duduk dengan santai. Petugas keamanan yang tadi di pintu masuk datang menghampiri saya. “Sambil menunggu, silakan diisi formulirnya dulu, Pak,” perintahnya.

Sambil menyeringai ke istri, saya mengiyakan ke petugas. Saya mengisi formulir yang harus saya isi dengan nomor KTP, nomor rekening, dan beberapa informasi lain yang membuat saya harus membuka ponsel dan dompet. Sedikit ribet, tetapi tak jadi masalah. Prosedur standar, gumam saya.

Beberapa menit kemudian, salah satu konter CS kosong dan tibalah giliran saya. Saya memang datang cukup pagi—sekitar jam sembilan, dengan harapan belum ramai sehingga tak perlu antre lama.

Begitu bertemu petugas CS, ternyata kartu ATM yang saya gunakan tak tersedia di kantor cabang tersebut. “Sedang kosong, Pak,” jelasnya. Lalu ia mengarahkan saya ke tiga lokasi bank lain dimulai dari yang terdekat hingga yang terjauh, sembari menjelaskan bahwa di salah satu bank tersebut telah tersedia DigiCS, mesin pencetak kartu ATM yang di bank BCA bisa ditemukan di kantor cabang mana pun.

BCA 1-0 BNI.

Kami memutuskan ke BNI Jalan Supratman. Jaraknya sekitar 20-25 menit dari BNI Jalan Ahmad Yani tadi. Saat tiba, tak ada yang aneh. Parkiran tidak sepi, tapi tak ramai juga. Saya masuk membawa formulir yang sudah saya isi dari bank sebelumnya agar tak usah repot mengisi lagi. Begitu masuk, saya melihat puluhan muda-mudi bercelana dan rok abu-abu. Beneran puluhan.

Petugas keamanan lalu menghampiri saya dan menanyakan keperluan. Saya menjelaskan ulang.

“Baik, Pak. Saat ini sedang ada sekitar 75 orang yang mengantre untuk mengurus administrasi pendidikan. Apakah Bapak mau menunggu? Tapi saya sarankan tidak, karena masih sekitar 2-3 jam lagi.”

LALU KENAPA ANDA BERTANYA HEI?

Saya sudah mulai emosi di sini. Istri saya tak usah ditanya. Sekarang sudah mendekati jam tidur siang anak saya, dan saya tidak ingat sudah menghabiskan waktu satu jam lewat berapa. Saya tak melanjutkan obrolan dengan petugas keamanan dan langsung meninggalkan bank. Namun, karena saya tidak punya banyak waktu untuk mengurus hal-hal seperti ini, kami putuskan hari itu kartu ATM yang baru harus jadi.

Kami ke BNI Jalan Asia-Afrika Bandung, masih dengan penuh harap, sembari misuh-misuh membandingkan BUMN dengan private sector yang bedanya antara langit dan kerak bumi. BCA di langit, BNI di kerak bumi tidur bersama dajal.

Tiba di BNI Jalan Asia-Afrika, saya harus memutari bank dua kali untuk dapat parkiran. Dua kali memutar tanpa arahan dari petugas yang bertanggung jawab (yang sepertinya memang tidak ada penanggung jawabnya, LOL). Jadi saya harus memutar sendiri, mencari parkiran sendiri, menyapa salah satu petugas parkir (menurut saya dia petugas parkir dilihat dari rompinya) yang kemudian dijawab ketus “Di luar” tanpa melihat muka saya dan berlalu begitu saja.

Akhirnya saya memarkir kendaraan di depan gerai ATM yang seharusnya itu adalah parkiran untuk motor. Tak masalah, kata saya dalam hati. Saya pasti hanya sebentar karena hanya akan mencetak kartu di mesin DigiCS.

Saya masuk dengan terburu-buru, istri dan anak saya menunggu di mobil.

Begitu masuk saya langsung disambut oleh …

… tidak ada.

Semua petugas sibuk melayani. Baru ketika mendekati mesin DigiCS seorang petugas keamanan menghampiri dan menanyakan keperluan saya. Saya menjelaskan lagi, dan dijawab dengan, “Mesin DigiCS hanya berlaku untuk ATM Taplus Muda dan Taplus.”

Oke, saya pengguna Taplus.

Lalu saya mengikuti prosedur di layar untuk mencetak kartu baru. Cepat sekali. Tak sampai tiga menit malahan. Lebih cepat dari BCA. WOW, saya tercengang.

Kartu baru berhasil dicetak.

YES!

Saya bersorak dalam hati. Akhirnya penderitaan bersama BUMN ini akan berakhir juga.

Oh, ternyata tidak.

Kartu memang berhasil dicetak, tetapi dibarengi pesan eror. Saya belum membuat PIN.

“Buat PIN-nya harus di CS, Pak.”

WHAT THE HELL.

Saya jadi harus ambil nomor antrean lagi.

Sampai tahap ini saya sudah ingin memaki-maki, tapi saya berusaha tetap tenang, mengantre, mengisi formulir lagi, dan memanggil istri dan anak saya ikut menunggu di dalam bank saja.

Total waktu yang saya habiskan di BNI Jalan Asia-Afrika lebih dari satu jam, hanya untuk mencetak kartu ATM baru—setelah gagal di dua bank sebelumnya.

Padahal, kalau BUMN ingin beneran kerja yang baik dan benar, mudah sekali.

Pertama, untuk kasus gagal mencetak kartu pertama, solusinya bisa dengan menyediakan semua jenis kartu yang dibutuhkan nasabah di semua cabang bank, tanpa terkecuali. Ini adalah bagian dari memuaskan pelanggan yang sudah membayar biaya bulanan yang tidak murah jika dibandingkan bank dari private sector. Atau, sediakan DigiCS. Ini adalah solusi sederhana yang sangat bisa dilakukan.

… kalau mau.

Kedua, pada kasus gagal mencetak kartu kedua, solusinya juga sederhana. Karena sudah tau pada waktu-waktu tertentu (tidak mungkin tidak tau) akan ada keramaian anak sekolah atau mahasiswa yang bakal "mengganggu" transaksi nasabah reguler, solusinya adalah dengan menyiapkan tenaga dan/atau konter tambahan yang bersifat sementara. Fakta yang banyak terjadi di lapangan adalah dari empat konter yang ada misalnya, selalu hanya setengahnya yang terisi petugas. Berbeda sekali dengan bank swasta yang selalu penuh sehingga pelayanan selalu prima. Menurut saya ini adalah bentuk komitmen dari sebuah penyelenggara dalam konteks apa pun: always do your best, whatever you do, wherever you are. People will be satisfied instead of mocking you.

Ketiga, pada kasus berhasil cetak kartu tetapi harus tetap antre di CS, solusinya juga sederhana. Jangan memaksa memproduksi produk yang belum seharusnya diproduksi. Karena yang akan kesusahan bukan hanya pelanggan, dan akan ada banyak sekali waktu yang terbuang di situ termasuk ekspektasi yang bisa runtuh dalam sekejap.

Dan semua masukan dari saya sangat mudah untuk diterapkan.

… kalau mau.

Saya jadi ingat pernah baca cuitan seseorang yang entah siapa di X. Katanya, “Di swasta itu ada harga ada kualitas. Di BUMN, ada harga.”

Dalam perjalanan pulang, dengan penuh kekecewaan saya bilang ke istri bahwa tahun ini saya akan menutup semua akun bank BUMN dan beralih ke private sector seutuhnya. Sementara anak saya sudah tertidur pulas di kursi belakang.
Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.