Rumah


Sebagai seseorang yang telah lama memimpikan memiliki rumah sendiri, saya menyadari bahwa prosesnya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, mulai dari lokasi dan ukuran rumah hingga keuangan dan persyaratan pinjaman. Di tengah lautan informasi dan pilihan yang menggunung, saya merasa kewalahan dan agak tersesat.

Bahkan, sempat pesimis juga ketika baca berita soal Milenial dan Gen Z yang susah punya rumah karena gaya hidup dan penghasilan yang berbanding terbalik dengan harga rumah yang makin meroket.

Dulu, saya pernah ngebet banget pengen beli rumah. Ya, waktu awal nikah, belum punya anak, dan saya dan istri masih sama-sama bekerja. Kala itu saya pede banget buat beli rumah dengan cara dicicil, bahkan sudah keliling cari-cari rumah mulai dari yang lokasinya di perumahan elite dan mewah, sampai ke klaster dan kompleks kecil yang jalannya belum diaspal.

Dari yang semangat banget cari rumah offline, sampai capek dan liat-liat online sambil rebahan aja. Saya ngecek di Rumah.com, istri ngecek di Rumah123. Kadang gantian, dan seterusnya, dan seterusnya. Nemu beberapa yang cocok dan ditandain. Satu-dua-tiga didatengin. Sreg sama satu rumah, tapi enggak mau buru-buru.

“Udah siap?” tanya saya ke istri.

“Siap enggak siap,” jawabnya maju mundur. Saya merasakan ketidakpuasan dan sedikit rasa ketidakmantapan dalam jawaban istri saya.

Benar saja.

Semua rencana itu berubah semenjak istri saya hamil dan memutuskan buat resign dari kantor. Kami menghitung kembali keuangan, mengutamakan prioritas, sampai akhirnya sepakat kalau kami belum bisa membeli rumah. Pada akhirnya saya dan istri membeli mobil dan mengontrak rumah. Namun, dalam perjalanannya saya mendapatkan banyak sekali informasi tentang rumah dan perumahan—seluk-beluknya, plus-minusnya, sampai hal-hal yang jarang dibicarakan para pengembang perumahan.

Meski tak jadi beli rumah, saya terus membekali diri dengan pengetahuan seputar rumah. Sampai akhirnya saya ketemu sama Kalkulator Hipotek. Situs web ini dengan cepat menjadi panduan saya yang tepercaya dalam perjalanan menuju rumah impian saya. Alat kalkulatornya yang komprehensif membantu saya memahami dan memperkirakan pembayaran bulanan kalau saya nanti jadi beli rumah, serta mengevaluasi affordability dan opsi pembiayaan lainnya.



Situs ini bukan hanya sekadar kalkulator biasa. Ini adalah alat yang luar biasa untuk membantu merencanakan anggaran dengan lebih baik. Saya hanya perlu memasukkan jumlah pinjaman, suku bunga, dan jangka waktu pinjaman, dan dalam hitungan detik, saya bisa melihat perkiraan pembayaran bulanan saya.

Di Mortgage Calculator, ada beberapa menu kalkulator yang bisa dipilih seperti Mortgage (pinjaman jangka panjang), Amortisation (amortisasi), dan Remortgage. Namun, saya sebenarnya sangat tertarik dengan kalkulator amortisasi, yang memungkinkan saya untuk melihat secara terperinci bagaimana pembayaran saya akan dialokasikan selama masa pinjaman. Ini membantu saya memahami berapa banyak yang akan saya bayarkan untuk bunga dan pokok setiap bulan, dan bagaimana struktur pembayaran akan berubah seiring berjalannya waktu.



Suatu waktu, saya pernah mengobrol dengan teman yang sebentar lagi akan menikah, tetapi pengen beli rumah duluan. Saya menceritakan pengalaman saya kepadanya dan sepertinya ia pun jadi berpikir dua kali untuk mulai membeli rumah dengan cara dicicil.

“Mana website yang kata kamu bisa buat menghitung biaya itu?” tanyanya pada akhirnya. Saya pun memperlihatkan halaman utama Mortgage Calculator kepadanya, dan ia mulai tenggelam dalam kesibukan menghitung sampai lupa kalau teh panas yang saya suguhkan sudah berubah dingin dan belum tersentuh sedikit pun.

Ngomong-ngomong soal rumah impian, saya punya pandangan yang sedikit berbeda dengan istri. Menurut istri saya, rumah sebaiknya enggak usah terlalu luas dan cukup satu lantai saja. “Kalau udah tua, naik-turun tangganya pegel,” katanya. Sementara rumah impian versi saya adalah rumah dua lantai, punya teras atas menghadap ke gunung agar saya bisa menghabiskan waktu di situ sambil menikmati pemandangan kerlap-kerlip gunung pada malam hari sambil menyeruput kopi. Selain itu, saya juga ingin rumah yang pekarangannya luas agar bisa berolahraga di rumah dengan lega.

Namun saya juga tau bahwa perjalanan menuju rumah impian saya masih panjang, dan rumah impian versi saya mungkin saja berubah seiring waktu. Satu hal yang pasti, sebentar lagi tahun baru dan itu berarti saya sudah harus bayar kontrakan lagi.
Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.