Core Memory


KEJADIANNYA waktu saya masih kelas delapan, SMP, tetapi rasa bersalahnya masih tertanam di kepala.

Waktu SD dulu, uang jajan saya adalah dua ratus rupiah. Kadang lima ratus kalau Ibu lagi baik. Namun seringnya dua ratus perak, dan sudah cukup untuk membeli empat bakwan dengan bonus air minum tanpa kemasan, bisa minum sebanyak-banyaknya selama persediaan masih ada. Alasan Ibu memberikan uang jajan sehemat itu adalah jarak dari rumah ke sekolah yang katanya dekat—yang sebenarnya enggak masuk akal karena berapa pun jaraknya, rasa laparnya tetap sama. Namun, saya menerima itu.

Pas masuk SMP, jarak dari rumah ke sekolah jadi lebih jauh, tetapi tetap masih bisa dijangkau dengan jalan kaki. Dan dengan logika serupa, uang jajan saya berubah menjadi dua ribu rupiah. Namun, saya juga baru tau harga satu porsi Indomie di kantin sekolah (kami menyebutnya Kantin Elite) saat itu adalah dua ribu lima ratus. Tambah seribu kalau mau pakai telur. Akhirnya, pilihan saya tetap kembali ke bakwan, di kantin yang lebih kecil dan berlokasi di bagian belakang sekolah—sebutlah Kantin Belakang. Kalau saya mau makan di Kantin Elite, artinya saya harus puasa satu hari—yang cukup sering saya lakukan biar bisa ikut bergaul dengan orang-orang yang lebih mampu.

Suatu hari, saya enggak sempat sarapan karena bangun kesiangan. Tiba di sekolah, ternyata guru jam pelajaran pertama enggak masuk. Saya memutuskan untuk makan dulu di kantin. Di Kantin Belakang, tentu saja. Harga bakwan di Kantin Belakang seingat saya lima ratus perak dengan ukuran yang lebih besar, dan enggak ada minuman gratis. Jadi, maksimal saya cuma bisa makan tiga bakwan jika ingin minum.

Saya memakan dua bakwan dan minum satu air kemasan gelas. Setelah itu, saya menyodorkan uang kertas dua ribu rupiah yang pada saat itu masih sangat baru diedarkan secara resmi. “Bakwan dua, air satu,” kata saya. Sambil menunggu kembalian, saya melirik beberapa siswa yang juga sedang asyik makan bakwan. “Ini kembaliannya,” kata ibu kantin. Alih-alih menyodorkan kembalian lima ratus perak, ibu kantin memberikan satu lembar uang uang lima ribu, dan beberapa lembar uang seribuan plus uang koin. Saya sadar ibu kantin salah ngasih kembalian, tetapi yang saya lakukan adalah menerimanya, menaruhnya di saku baju, lalu kembali ke kelas dan berharap enggak ketahuan.

Selama sisa jam sekolah hari itu, saya enggak berhenti memikirkan uang kembalian tersebut. Beberapa kali kepikiran untuk mengembalikannya dan berkata jujur ke ibu kantin, tetapi tak pernah saya lakukan dengan berbagai pertimbangan.

Saya sangat jarang memegang uang sebanyak itu, makanya saya enggan mengembalikannya. Bahkan, besoknya saya makan lagi di Kantin Belakang dengan pesanan dua kali lebih banyak dari hari sebelumnya, plus makan siang di Kantin Elite. Baru beberapa tahun setelahnya saya menyadari kalau apa yang saya lakukan saat itu adalah hal yang sering dilakukan psikopat.

Setelah lulus, saya pernah beberapa kali kembali ke sekolah untuk sekadar jalan-jalan, dan tiap kali datang, saya selalu datang ke Kantin Belakang untuk mengecek ibu kantin. Beberapa kali juga tebersit di kepala untuk mengembalikan uang itu, tetapi tidak pernah saya lakukan. Memang saya psikopat kayaknya.

Kini, sudah hampir dua puluh tahun saya meninggalkan sekolah, tetapi ingatan itu masih sangat jelas tergambar di kepala. Saya tidak pernah menyangka kalau hal itu akan tersimpan sebagai core memory di otak saya. Meski begitu, saya tidak pernah terlalu menyesali kejadian itu. Justru, tiap kali berada pada situasi serupa, saya selalu teringat kesalahan kecil ini, yang pada akhirnya menjadikan saya pribadi yang lebih jujur. Lesson learned, and that’s what we always wanted from every scene of our life, nah?
Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.