Bukan Review: WPS Office


SAYA berjalan dengan penuh rasa senang ke laboratorium komputer sekolah bersama dua orang teman kelas yang duduk sebangku sama saya: Anto dan Iful. Tentu saja mereka tidak seantusias saya saat itu. Mereka mmang lebih senang menghabiskan waktu di lapangan olahraga untuk bermain bola ketimbang duduk di ruang komputer seperti kutu buku.

Saya membuka pintu lab dan segera duduk di kursi kedua dari belakang. Setelah belajar teori sebanyak beberapa pertemuan, akhirnya tiba juga kesempatan untuk menjajajal komputer secara langsung.

“Silakan dicolok,” perintah guru. Saya nyolokin colokan CPU ke stop kontak lalu menunggu perintah selanjutnya.

“Nyalakan CPU.”

Saya menyalakan CPU, lalu monitor, lalu menyambungkan mouse. Setelah beberapa menit, muncul gambar pemandangan bukit khas Windows XP.

Refresh dulu,” perintah guru lagi.

Saya menekan klik kanan pada mouse dan memilih Refresh, melakukannya berulang-ulang, lalu melirik ke kiri mencari Anto dan Iful. Mereka masih sibuk mencari di mana mereka harus nyolokin mouse agar menyala.

“Nyolokinnya di CPU,” kata saya. “Itu monitor.”

Anto nyengir, saya ikutan nyengir. “CPU itu yang mana, ya?” tanya Iful.

Saya dan Anto saling melempar pandang, lalu tertawa. Anto juga enggak tau yang mana CPU.

-///-

Adegan setelahnya adalah guru meminta kami membuka Microsoft Word dan mengetikkan apa yang ada di buku pelajaran ke dalam lembar Word. Dan itu adalah perkenalan saya pertama kali dengan Microsoft Word.

Hingga akhirnya saya kuliah dan punya laptop sendiri, saya pun masih menggunakan Word untuk mengetik dan mengerjakan tugas-tugas kuliah. Tentu saja waktu itu saya masih menggunakan versi bajakan dan non-upgradeable. Begitu kerja dan bisa beli laptop sendiri, barulah saya menggunakan Microsoft Office versi resmi dan original untuk bekerja dan menulis blog-sekarang namanya Microsoft 365.

Saya menggunakan Microsoft 365 awalnya karena dapat gratis selama setahun, bonusan saat beli laptop baru. Dan karena merasa sangat berguna dan membantu pekerjaan saya yang hampir tiap hari nulis artikel buat kerjaan dan blog, setelah setahun saya memutuskan untuk melanjutkan berlangganan. Harganya 900 ribuan dengan fitur yang banyak banget. Saking banyaknya, sebagian besar enggak saya pake.

💥 Microsoft Word - dipake tiap hari
💥 Microsoft Excel - dipake cuma sesekali
💥 Microsoft PowerPoint - dipake lebih jarang dari Excel
💥 Microsoft Outlook - pernah dipake sekali, tampilannya jelek
💥 Microsoft OneNote - enggak pernah dipake
💥 Microsoft Access - enggak pernah dipake, enggak tau juga buat apa
💥 Microsoft OneDrive - enggak dipake, Google Drive masih banyak yang kosong
💥 Skype - cuma dipake dua-tiga tahun awal, sekarang semua pindah ke Slack.

Harga 900 ribuan dengan fitur sebanyak itu memang sepadan, sih, tapi karena saya enggak perlu-perlu amat semuanya, hanya butuh Microsoft Word most of the time dan sesekali buat konversi dokumen dari Word ke PDF, jadi saya merasa kebanyakan fiturnya malah mubazir dan harganya jadi terasa mahal.

Sering Not Responding


Selain masalah harga yang mulai terasa mahal, makin seringnya muncul notifikasi "Not Responding" ketika saya hendak menyimpan, menutup, atau berpindah dari satu dokumen ke dokumen lain adalah alasan lain saya ingin mencari aplikasi alternatif yang lebih baik dengan harga yang lebih masuk akal.

Seharusnya produk yang dibeli dengan harga mahal tidak menyertakan fitur Not Responding ke dalam paketnya, LOL.

Beralih ke WPS Office


Saya berkenalan pertama kali dengan WPS Office sekitar tahun 2017. Kala itu, WPS Office jadi aplikasi bawaan di ponsel Xiaomi yang baru saya beli sehingga mau gak mau saya pake. Namun, saya masih belum mau pake versi PC-nya karena saat itu masih terasa kental “produk Cina”-nya. Jadi, saya tetap bertahan menggunakan Microsoft 365 untuk menunjang pekerjaan.

Setelah lima tahun berlalu, tepatnya bulan lalu saya lirik lagi WPS Office, kelihatannya sudah cukup banyak yang berubah. Kesan “produk Cina”-nya sudah enggak kelihatan dan tampilannya bikin saya makin tertarik buat mencoba. Saya tau, sebenarnya WPS Office ini bisa dipakai dengan gratis karena sifatnya adalah open source. Namun karena fiturnya terbatas dan dengan gamblang ditulis bahwa akan banyak iklan, jadi saya mencoba fitur premium yang diberikan gratis selama tujuh hari. Jika nyaman, saya lanjutkan. Jika tidak, balik ke Microsoft 365.

Enggak terasa tujuh hari berlalu, dan selama tujuh hari itu juga saya menggunakan WPS Office untuk menulis blog dan artikel kerjaan. Dan, ini adalah beberapa hal yang saya rasakan selama seminggu menggunakannya:

Lebih ringan


Entah karena kode programnya yang lebih baru atau karena fiturnya yang enggak berbelit-belit, tapi saya merasa kalau WPS Office jauh lebih ringan dibanding Microsoft 365. Dibukanya jauh lebih cepat dan perpindahan dari satu dokumen ke dokumen lain juga lebih halus, sementara kalau saya pakai Microsoft 365 kadang-kadang di tengah-tengah proses itu muncul pesan Not Responding yang bikin saya pengen ngegebuk.

Tema beragam


WPS Office punya tema yang lebih beragam dibanding Microsoft 365 yang hanya punya versi Light dan Dark. Kalau kamu orangnya bosenan, WPS Office cocok banget.

Berasa lagi surfing di browser


Ini adalah salah satu fitur yang saya sukai dari WPS Office. Perpindahan dari satu dokumen ke dokumen lain sangat gampang karena tinggal klik tab seperti ketika buka browser. Di Microsoft Office enggak bisa kayak gitu.




Sampai di sini, saya jadi mikir kok Microsoft, perusahaan teknologi sebesar itu enggak mau menerapkan hal-hal yang lebih memudahkan pengguna yang sudah bayar mahal-mahal, ya? Dan ternyata setelah saya cari tau, salah satu jawaban paling masuk akalnya adalah: Microsoft Office ini kan dibuat pada tahun 1989 dengan kode-kode program yang super duper rumit, sehingga jangankan untuk menirunya, mengubah beberapa bagian saja susahnya minta ampun. Itu juga kenapa tampilan Microsoft Windows butuh waktu yang sangat panjang untuk mendapatkan perubahan tampilan yang signifikan: karena kode programnya terlalu rumit. Dan saya rasa hal inilah yang dimanfaatkan oleh WPS Office dengan membuat produk sejenis dengan tampilan yang lebih modern, ringan, dan tentu saja…

Lebih murah


Dengan fitur-fitur yang hampir semuanya terpakai, harga yang ditawarkan WPS Office jauh lebih murah dibandingkan Microsoft 365. Jadi, tanpa pikir panjang saya langsung memperpanjang penggunaan versi Premium-nya hingga setahun ke depan.

Masih banyak kekurangan juga kok


Tentu saja enggak ada yang sempurna kecuali lagunya Andra and the Backbone, kuning telur di bungkus Indomie Goreng, dan rokok.

WPS Office juga masih punya beberapa kekurangan selama saya gunakan beberapa waktu terakhir ini, seperti fitur Header dan Footer ikonnya yang enggak bisa dihilangkan; fitur proofreader-nya yang belum dimaksimalkan untuk tulisan berbahasa Indonesia; atau ikon-ikon di Toolbar yang belum bisa diatur posisinya sesuka hati pengguna (di Microsoft 365 juga enggak bisa, tapi berharap suatu saat bisa). Namun, untuk saat ini fitur-fitur yang ada sudah sangat membantu saya dalam bekerja.

Dan satu hal lagi yang menurut saya jadi fitur killer yang dipunyai WPS Office adalah PDF Reader & Edit yang sama sekali enggak ditawarkan oleh Microsoft 365. Menurut saya, di tengah hiruk-pikuk digital di mana banyak dokumen penting dan rahasia yang membutuhkan peran PDF Editor untuk membubuhkan tanda tangan, mengedit isi, sampai mengatur watermark, WPS Office menang jauh. Bahkan versi gratis Canva memungkinkan pengguna untuk mengedit dokumen dengan format PDF, sementara Microsoft 365 yang notabene adalah aplikasi perkantoran populer malah enggak menyediakannya dan melepas tanggung jawab ke Adobe Acrobat. Ya, semoga saja Microsoft 365 nantinya tidak berakhir seperti Anto dan Iful yang enggk bisa menemukan colokan yang cocok.
Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.