Premium Tidak Premium



SAYA enggak ingat dengan pasti kapan saya berhenti berlangganan Spotify Premium—mungkin sekitar enam bulan atau lebih, setelah bertahun-tahun menggunakannya untuk mendengarkan lagu dan podcast.

 

Awalnya saya pakai Spotify Premium Individual selama beberapa waktu, tapi kemudian seorang teman menawari saya untuk join ke Family Plan miliknya dengan harga lebih murah. Tanpa pikir panjang saya langsung join karena yang menawarkan itu adalah orang yang saya kenal baik. Lalu, hanya sekitar dua atau tiga bulan, mendadak saya dikeluarkan dari anggota keluarga. Bayangin lagi bahagia-bahagianya dengerin lagu Peterpan, tiba-tiba dikeluarin dari KK. Sedih banget.

 

Saya pun langsung tanya temen saya.

 

“Nyet, kok ini ada notif saya dikeluarin dari Family Plan di Spotify?”

“Iya, soalnya ini orangnya mau udahan langganannya.”

“Lah. Ya udah kalau gitu. Saya sama kamu aja. Kita bikin keluarga baru.”

“Enggak bisa, Firm. Saya udah join di keluarga lain.”

 

Untung bukan keluarga sungguhan. Kalau iya, bisa absurd banget.

 

Karena malas berurusan sama keluarga baru, saya akhirnya balik lagi ke Spotify Premium Individual.

 

Enggak lama setelahnya, YouTube mengumumkan YouTube Premium dengan fitur yang menggoda.

 

Saya yang hampir tiap hari nonton apa pun di YouTube merasa sangat senang. Belum lagi, versi Premium-nya YouTube sudah termasuk YouTube Music dengan format baru yang diperkenalkan tidak lama setelahnya. Senangnya dobel.

 

Karena merasa butuh YouTube tanpa iklan untuk nonton sambil makan siang (dan sesekali YouTube Music), dan lagi sering-seringnya dengerin podcast saat itu, saya pun berlangganan keduanya: Spotify dan YouTube. Lalu Spotify yang tadinya Premium Individual berganti jadi Premium Duo setelah menikah, sementara YouTube beralih ke Family Plan karena harganya jadi lebih murah.

 

Karena makin ke sini makin sibuk sama kerjaan, intensitas dengerin podcast jadi berkurang. Dari yang tadinya tiap hari, jadi weekend aja. Belum lagi setelah menikah dan tinggal bersama, istri saya ternyata punya kebiasaan dengerin radio. Jadilah makin jarang dengerin podcast. Sementara YouTube masih tetap dengan rutinitas yang sama karena memang selalu menemani makan siang—meskipun lebih sering nonton video The Soleh Solihun Interview yang tanpa fitur premium juga ternyata memang enggak ada iklannya.

 

Selain itu, hadirnya YouTube Music juga bikin saya mulai meninggalkan Spotify pelan-pelan. Kualitas suara Spotify jelas jauh lebih bagus, tetapi rekomendasi lagu-lagu di YouTube Music menang telak. Mungkin karena sebelumnya pun saya sudah sering nonton MV di YouTube, jadi algoritmanya bisa memberikan rekomendasi yang lebih akurat.

 

Oke.

 

Nah, sekitar tujuh atau delapan bulan yang lalu, saya mulai rajin lagi dengerin podcast di Spotify. Episode-episode lama dari podcast yang dulunya saya dengerin, saya putar lagi. Namun, ada yang berbeda kali ini. Apa itu? Ya, betul. Ada iklan di tengah-tengah podcast dan kadang munculnya lebih dari sekali.

 

Awalnya enggak saya gubris, karena setau saya memang ada podcast yang iklannya enggak bisa di-skip seperti Podkesmas yang iklannya bukan dari sistem Spotify, melainkan dari podcast-nya langsung.

 

Dari podcast satu, saya ke podcast yang lain. Lah, kok iklannya sama?

 

Ternyata beneran iklan.

 

Karena udah lumayan lama enggak dengerin podcast, saya konfirmasi ke istri buat memastikan.

 

“Kita tuh masih bayar Spotify Premium, kan?”

“Lah, kan kamu yang bayar tiap bulan.”

 

Saya langsung ngecek riwayat transaksi, dan benar saja saya baru bayar beberapa hari sebelumnya secara autodebet.

 

TERUS INI KENAPA ADA IKLANNYA?

 

“Hello everyone, I am Iyas Lawrence, and welcome to The Friday Podcast!”

 

Enggak peduli. Kan saya lagi dengerin Unfaedah Podcast, kenapa tiba-tiba ada Iyas Lawrence?! Beres Iyas dilanjut suara Desta lagi promosiin Destanya Siapa? pula. HADEUH.

Kalau tetap ada iklannya, terus saya bayar buat apa? Sedekah ke Spotify yang sudah bernilai triliunan?

 

Saya pikir mungkin sedang terjadi eror saja. Jadi saya update aplikasi ke versi terbaru lalu mengecas ponsel dan melanjutkan aktivitas karena kebetulan waktu mendengarkan podcast sudah selesai, dan sudah waktunya mendengarkan perintah istri untuk mengecek air dan membereskan kasur lalu menatap layar laptop untuk bekerja.

 

Sekitar seminggu kemudian, saya dengerin podcast lagi sambil cuci piring dan kejadian yang sama terulang lagi.

 

Wah, Spotify kayaknya enggak ingat kalau saya member Premium.

 

Karena kesal dengan suara Desta sama Iyas Lawrence ganti-gantian pas saya lagi dengerin podcast lain, saya pun komplain ke @SpotifyCares di Twitter.

 

Saya sudah tidak begitu ingat persisnya pesan saya dan jawabannya saat itu karena pesannya sudah dihapus. Yang pasti, intinya adalah saya mengeluhkan soal iklan yang muncul pada versi premium, dan jawabannya kurang lebih: Spotify ingin tetap memunculkan iklan di dalam podcast demi membantu kreator menjangkau lebih banyak audiens. Jadi, iklan akan tetap ada di podcast dan pengalaman lebih baik hanya bisa didapatkan di Spotify Music.

 

Saat itu juga saya bilang ke istri untuk berhenti berlangganan Spotify Premium.

 

“Kamu join ke keluarga lain aja,” tawar saya. Dia menolak, dan sejak saat itu saya memutuskan untuk tidak lagi berlangganan Spotify Premium, meski masih tetap mendengarkan podcast eksklusif di Spotify.

 

Lucunya, sejak saya enggak lagi menggunakan Spotify Premium, saya juga enggak pernah lagi dengar suara Desta dan Iyas Lawrence dalam bentuk iklan di tengah-tengah mendengarkan podcast lain.

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.