Perairan Duniawi



“Kalau beli rumah, hal yang harus dinomorsatukan adalah air.”

Kalimat itu terlontar dari mulut ibu mertua dan disampaikan ulang oleh istri saya ketika awal-awal menikah. Namun, saya tidak terlalu peduli karena menganggap masalah air ini bisa diatasi dengan mudah, apalagi di kota besar seperti Bandung.

Sebelum pindah ke Bandung, saya tinggal di pesisir pantai di pinggiran Makassar. Jarak dari rumah saya ke laut enggak sampai seratus meter. Namun, saya enggak pernah sekali pun kekurangan air tawar bersih meski sumber air di rumah hanya menggunakan pompa air murahan dengan kedalaman kurang dari dua puluh meter. Dan saya berpikir: kalau di Makassar saja saya bisa mendapatkan air bersih semudah itu, di Bandung yang notabene kota besar akan jauh lebih mudah, bukan?

Ternyata, saya salah besar.

Hari ini tepat setahun lalu, saya memutuskan untuk ngontrak rumah di daerah Bandung Timur. Dan, permasalahan yang tidak pernah selesai sejak hari pertama pindah hingga hari ini adalah air.

April 2022


Awal pindah, rumah kontrakan saya menggunakan mesin air jenis submersible dengan kedalaman enam puluh meter—berdasarkan informasi dari pengurusnya—untuk memenuhi kebutuhan air harian. Sayangnya, air yang dihasilkan mesin ini sangat kuning dan sedikit bau besi. Jadi, saya ngakalinnya dengan menggunakan filter air yang dipasang di keran. Air seketika jadi bersih. Sayangnya, saya harus ganti kapas filter sekitar enam hingga tujuh kali sehari untuk satu keran. Kalau dihitung-hitung, biaya kapas yang harus saya keluarkan tiap bulan mencapai dua ratus hingga tiga ratus ribu rupiah.

Lucunya, beberapa tetangga di lingkungan yang sama mengaku menggunakan sumber air yang beda-beda. Tetangga depan rumah pake air dari komplek sebelah yang airnya sejernih hati nabi. Sebelahnya lagi pake air yang dikelola oleh RW setempat, dan sebelahnya lagi pake air sumur bor biasa, tapi airnya bersih tanpa keluhan.

Tadinya mau join sama tetangga depan rumah untuk nebeng air dari komplek sebelah, tapi komplek tersebut mengutamakan kesejahteraan penghuni sehingga tidak sembarangan orang bisa join. Kalau mau, harus ada orang dari komplek yang melepaskan kepesertaannya, which is mungkin akan terjadi sekitar 15-20 tahun sekali.

Pilihan tersisa adalah pake air yang dikelola oleh RW setempat. Problemnya, tetangga yang juga pake sumber air yang sama pernah bilang kalau air dari sini sama kotornya dengan yang pake sumur bor atau mesin submersible. Jadi, saya memutuskan untuk tetap mengeluarkan uang ratusan ribu per bulan untuk beli kapas filter. Setidaknya tidak perlu bayar airnya.

Juli 2022


Mesin submersible tiba-tiba rusak.

Kalau cuma pake mesin air biasa, saya bisa tinggal cabut dan bawa ke tukang servis. Namun, mesin yang rusak ini membutuhkan tukang khusus untuk membukanya saja. Dan sudah pasti harus dikerjakan lebih dari satu orang. Dan setelah cari tau sana-sini, ternyata cari tukang servis untuk mesin air jenis submersible ini susahnya seperti mengungkap kasus-kasus korupsi di Indonesia.

Belum lagi, pas nyari-nyari mesin baru ke toko-toko, pilihannya tidak banyak dan mereknya tidak meyakinkan.

Setelah beberapa hari keliling sana-sini, tanya sana-sini, dan seterusnya dan sebagainya, akhirnya saya memutuskan untuk pake air yang dikelola RW setempat. Selama berhari-hari juga, saya pake air dari tetangga yang untungnya dengan baik hati mau memberi tanpa pamrih. Pada minggu yang sama, air dari RW mulai mengalir ke rumah kontrakan saya.

Masalah selesai? Tidak. Justru masalah baru muncul.

Masalah yang terjadi setelah pasang air dari RW setempat saya rasa malah makin banyak.
➡️ aliran air terjadwal tiap pagi, siang, dan sore.
➡️ tapi jamnya enggak konsisten. Bilangnya pagi jam 6-8, tapi kadang udah jam tujuh belum ngalir, atau ngalir jam tujuh lewat, tapi berhenti sebelum jam delapan.
➡️ enggak boleh pake mesin air tambahan buat naikin air ke toren, tapi air saking loyonya jadi gak bisa sampe atas—lebih kencang kencing saya. Ujung-ujungnya harus minta air ke tetangga lagi.
➡️ airnya kuning seperti kencing manusia normal pagi hari.
➡️ pengurus airnya bukan orang profesional, kebanyakan punya kerjaan lain. Jadi kalau komplain hari Senin, kemungkinan ditanggapinya hari Sabtu atau Minggu. Kalau terlalu beruntung, bisa tidak ditanggapi sama sekali.

Di antara semua masalah itu, yang paling bikin jengkel adalah: saya tetep harus bayar.

Waktu masih pake mesin air submersible, saya harus beli kapas hingga ratusan ribu per bulan, tapi airnya gratis dan bisa dinyalain kapan pun. Sekarang airnya bayar, tapi kotornya sama dan pelayanannya bikin dongkol. Plus, masih tetap pakai kapas untuk filter yang pada waktu tertentu tidak bisa menampung kotoran air.

Zonk.

Pada masa-masa ini, saya hampir tiap minggu ke rumah mertua hanya untuk mengeluh sekaligus merasakan air bersih. Kadang numpang mandi dan nyuci pakaian juga.

November 2022


Ini adalah satu-satunya waktu di mana aliran air lagi bagus-bagusnya: sesuai jadwal, tidak terlalu kotor, dan tidak perlu pake mesin air buat mendorong air naik ke toren. Beberapa kali air ngalir saat tengah malam—yang mana aneh karena bukan jadwalnya.

Namun, kesenangan itu tidak berlangsung lama. Hanya sekitar semingguan hal itu terjadi, masalah yang sebelumnya kembali muncul. Hampir tiap hari saya harus bolak-balik ke toren buat nguras toren dan buang air yang kotor padahal toren penuh.

Maret 2023


Saya akhirnya memutuskan untuk membeli filter air tabung berharga jutaan, plus membetulkan mesin air jenis Jet Pump untuk menarik air ke dalam filter lalu ke toren. Beberapa hari pertama, air masih kotor karena memang masih proses penyaringan. Setelah hampir seminggu, air masih kekuningan, tapi bisa saya akali dengan pasang filter lagi di keran. Toh, sisa kapas masih cukup banyak.

Pada minggu kedua, setelah saya kuras toren (lagi) dengan harapan airnya gak kuning lagi, ternyata yang terjadi adalah hal yang benar-benar di luar prediksi BMKG. Airnya malah hitam pekat seperti kopi tubruk tanpa gula. Jadi curiga kalau airnya saya minum beneran rasanya kayak kopi. Ajaibnya, pas ngecek ke toren, airnya bersih. Lah, kok bisa?

Something is extremely wrong.

Pada titik ini saya udah bener-bener frustrasi dan sempet percaya kalau ilmu santet dengan media air itu benar-benar nyata. Bagaimana mungkin air di toren sejernih embun pagi, tapi yang keluar dari keran sehitam selangkangan dajjal?

Jawabannya ketemu: pipa jalur air ternyata kotor.

Akibat lain dari kotoran yang menyumbat saluran air adalah shower buat mandi dan shower buat kloset jadi ikut tersumbat. Plus, flusher di kloset jadi mood-mood-an. Kadang ada airnya, tapi lebih sering kosong. Pup di kloset duduk, tapi cebok pake gayung. Sangat modern kan? Jadi, selanjutnya adalah mengeluarkan kotoran yang menumpuk tahunan di dalam pipa saluran air di seluruh rumah, sekaligus bersihin toren yang sebenernya di bagian bawahnya juga sudah berkerak karena saya cukup yakin pemiliknya enggak pernah ngecek.

Masalah lainnya: harga untuk membersihkan saluran air juga enggak murah karena hitungnya per keran. Namun karena sudah kadung jengkel dengan permasalahan air yang tidak pernah beres selama setahun ngontrak, akhirnya saya membobol tabungan.

Sekarang


Setelah perjalanan panjang yang bikin dongkol, akhirnya saya bisa mandi pake shower lagi dan gak perlu lagi cebok pake gayung. Semua sudah kembali normal seperti seharusnya. Namun, air hanyalah satu dari sekian masalah yang saya hadapi setelah memutuskan untuk tinggal di rumah kontrakan. Jadi, kabayang kan masalah hidup yang tiada habisnya ini?
Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.