Letterboxd

 


Saya baru saja bikin akun di Letterboxd.


Ya, saya akhirnya gabung ke Letterboxd setelah bertahun-tahun cuma ngeliatin orang-orang membagikan pengalaman nontonnya di sana.


Tujuan saya sederhana: saya pengen tau sudah berapa banyak film yang pernah saya tonton seumur hidup. Apakah sudah lebih dari seratus? Kalau sudah, berapa lebihnya? Makanya akun Letterboxd saya sekarang isinya campur-campur antara film lama dan film baru, karena memang saya mengisinya seingat saya dan tentu saja sesempatnya. Kadang saya isi pas lagi pup, pas lagi rebahan sehabis makan siang, atau sebelum tidur kalau masih punya tenaga.


Untuk film baru, sekarang saya memasukannya ke Letterboxd begitu selesai nonton. Untuk film lama, saya mengisi tanggal nontonnya seingat saya aja. Ada yang saya harus buka arsip Instagram Story buat ngeliat tanggalnya (dulu suka update di sana kalau lagi nonton), dan ada juga yang saya tebak-tebak aja.


Dengan menaruh film apa saja yang sudah pernah saya tonton ke Letterboxd, sekalian jadi catatan film mana aja yang bagus dan layak saya tonton kembali, dan mana yang biasa aja karena saya bisa sekalian naruh catatan di situ. Catatan, bukan review. Kalau filmnya saya suka, saya klik ikon hati sebagai penanda, dan ngasih bintang rada banyak disertai tulisan singkat kenapa saya suka filmnya disertai adegan yang paling berkesan (kalau ada). Kalau filmnya jelek, biasanya catatannya juga lebih singkat.


Buat kamu yang enggak tau Letterboxd, ini mirip sama Goodreads, tapi khusus buat film. Saya juga punya akun Goodreads tapi sudah lama terbengkalai karena makin ke sini saya lebih sering baca jurnal ilmiah daripada novel.


Selain itu, saya juga punya kekurangan dalam hal membaca buku. Untuk membaca satu buku setebal 200 halaman, saya mungkin butuh lebih dari seminggu untuk menyelesaikannya karena saya membaca sambil mempelajari teknik menulis, mengulang-ulang kalimat untuk memahami lebih dalam, atau kadang di tengah-tengah membaca imajinasi saya suka melayang ke tempat lain sehingga mengharuskan saya membaca ulang halaman sebelumnya.


Beda lagi dengan film. Saya bisa menghabiskan satu film berdurasi dua jam dalam sekali nonton, biasanya sebelum tidur. Dan hal ini sudah sering saya lakukan setahun terakhir sampai akhirnya kepikiran begini: kalau saya nonton tiap malam satu film, berarti dalam setahun setidaknya saya bisa menonton sekitar 365 film. Faktanya: tidak bisa setiap malam saya melakukan itu. Lebih seringnya saya kecapean dan langsung tidur, bangun-bangun udah pagi lagi, udah harus menjalani rutinitas lagi. Jadi seminggu paling cuma nonton dua sampai tiga film.


Buat saya pribadi, film dan buku adalah dua sumber wawasan yang bagus. Tidak peduli lama atau baru, film dan buku selalu bisa jadi media untuk menambah pengetahuan. Makanya saya selalu berusaha menyempatkan untuk setidaknya melakukan salah satunya minimal sekali seminggu. Netflix dan Disney+ adalah teman nonton favorit saya sejauh ini. Tapi terus-terusan nonton kadang bikin bosan (tapi juga tidak punya cukup waktu untuk baca novel tebal dan cranky kalau tidak segera diselesaikan).


Karena itu saya selingi dengan baca Quora.


Buat saya Quora ini platform yang underrated. Padahal seharusnya orang-orang lebih banyak menghabiskan waktu di Quora daripada Facebook atau Instagram. Saya suka banget baca Quora karena di sana saya bisa menemukan banyak pengetahuan baru yang hampir mustahil saya temukan di tempat lain. Saya tau tentang Keledai Buritan, Universe 25, The Behavioral Sink, dan banyak pengetahuan lainnya, dari Quora. Sementara dari Facebook saya lebih banyak menemukan cerita orang-orang yang saling mengungkap aib masing-masing.


Enggak, saya enggak baca Quora tiap hari. Biasanya seminggu sekali ketika buletin mingguannya mampir ke kotak masuk email. Tapi begitu masuk, saya bisa menghabiskan lebih dari sejam sendiri untuk membacanya sampai tuntas—cara lain untuk saya mengisi kepala yang belakangan suka pikun.


Enggak tau kenapa, belakangan ini saya merasa otak saya tumpul dan bodoh. Jadi saya berusaha mengisinya lagi dengan tulisan dan tontonan dengan harapan bisa diajak untuk berpikir kreatif kembali seperti sedia kala. Setahun ke belakang juga, sering muncul ide untuk melakukan suatu hal yang cemerlang, tapi begitu saya coba untuk elaborasi semuanya mendadak hilang atau stuck di suatu tempat di dalam kepala kecil saya. Akhirnya berujung tidak menjadi apa-apa.


Tapi, saya percaya kalau ide itu enggak hilang. Saya percaya semua itu masih ada di dalam sana, dan salah satu cara untuk menemukannya kembali adalah dengan membuat otak saya bekerja “normal” dengan mengisinya dengan apa pun yang mungkin bisa memicunya keluar suatu saat.


Barusan saya memakai kata “dengan” banyak sekali. Persetan. Yang penting pesannya sampai dengan baik.


Ngomong-omong soal pesan, saya beberapa hari terakhir dibuat kesal dengan aplikasi perpesanan bernama WhatsApp. Setiap kali saya buka WhatsApp Web di laptop, peringatan “not responding” selalu muncul dan pekerjaan jadi ketunda terus. Tapi begitu saya tutup, semua jadi lancar lagi. Beberapa bulan sebelumnya saya sudah pernah dibuat kesal oleh aplikasi yang sama, tapi versi desktop. Tadinya saya pikir WhatsApp versi desktop akan sebagus Telegram Desktop, ternyata salah besar. Dari situ saya berkesimpulan kalau sepertinya WhatsApp Web dan WhatsApp Desktop dibuat hanya untuk perangkat dengan spesifikasi minimum Intel Core-i7.


Saya juga masih heran kenapa orang-orang masih begitu betah pakai WhatsApp padahal aplikasi ini hampir enggak ada bagusnya. Mending Telegram ke mana-mana juga. Bahkan sekarang Telegram punya fitur Live Stream yang setara dengan Twitter Space, jadi bisa dengerin live podcast. WhatsApp? Mana bisa!


Tapi soal podcast, saya sekarang benar-benar pakai Spotify buat dengerin podcast doang. Kalau mau dengerin lagu, saya beralih ke YouTube Music. Beberapa bulan terakhir saya suka dengerin lagu secara random, terutama pas lagi bersih-bersih saat weekend, dan menemukan bahwa rekomendasi lagu dari YouTube Music jauh lebih bagus daripada Spotify. Selain itu, kualitas suara lagu dari YouTube Music juga jauh lebih baik dibanding Spotify. Selain itu, pilihan lagu di YouTube Music jauh lebih banyak dibanding Spotify yang kadang-kadang di tab Liked Songs tiba-tiba ada lagu yang warnanya beda sendiri dan enggak bisa diputar. Di YouTube Music hal semacam itu enggak akan terjadi karena keduanya secara teknis adalah platform yang berbeda; Spotify membayar royalty berdasarkan jumlah pendengar, sementara YouTube membayar berdasarkan iklan.


Tapi sebaiknya hal-hal semacam itu enggak usah dipikir. Karena hal yang penting buat dipikirkan adalah, gimana caranya menikmati semua hal yang saya sebutkan di atas, tanpa perlu mikir: bayarnya gimana?


 

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.