Bukan Review: Heavier than Heaven


Judul        : Heavier than Heaven
Penulis     : Charless R. Cross
Penerbit    : KPG
Tebal        : 564 Halaman


Heavier than Heaven sepertinya adalah buku yang saya baca dengan durasi paling lama.

Saya mulai membaca buku ini tahun 2020, dan baru beres tahun 2022. Saya sampai nyaris lupa bagian-bagian awal buku ini menceritakan tentang apa, semuanya hanya teringat samar-samar kayak ingatan saya sama orang-orang yang pernah menyakiti saya.

Butuh waktu lama untuk menghabiskan buku yang tebalnya cuma 564 halaman ini bukan karena isinya tidak menarik—siapa sih penyuka musik yang tidak tertarik membaca kisah hidup Kurt Cobain—melainkan karena saya benar-benar enggak punya waktu buat membacanya. Kadang kalaupun ada waktu, malah saya pake buat baca newsletter atau gosip gak jelas di akun Lambe Turah.

Saya mulai merasa kalau waktu 24 jam sehari-semalam enggak cukup buat saya. Paling enggak saya butuh 25 jam. Jadi 24 jam tetap seperti biasa, 30 menit buat membaca, dan 30 menitnya lagi buat overthinking biar kayak anak-anak jaman sekarang yang selalu punya waktu buat overthinking walau hanya sebentar. Saya, saking sibuknya, sampai gak punya waktu buat overthinking dan menangis. Padahal pengen juga sesekali update status kayak orang-orang: “Hilang untuk healing”.

Oke, mending kita langsung bahas bukunya saja.

Seperti yang nampang di cover, Heavier than Heaven adalah buku biografi yang menceritakan tentang Kurt Cobain semasa hidupnya (yang lebih banyak bercerita soal kematian). Dia adalah salah satu musisi legenda yang dianggap sebagai pelopor aliran musik grunge, juga salah satu persona yang pada masanya sempat bikin MTV ketar-ketir karena kelakuan absurd-nya saat sedang tampil live di panggung MTV, dan banyak hal lain yang membuat orang mikir, “Kok bisa ya?”.

Sama seperti Abdul Gofar Hilman yang disimpulkan oleh Arian Arifin dalam pembuka Surat Terbuka-nya, Kurt Cobain juga adalah orang yang problematik. Bedanya, Gofar Hilman problematik dalam hal selangkangan, sementara Kurt Cobain dalam hal obat-obatan terlarang. Kurt Cobain menghabiskan hidupnya yang hanya seperempat abad dengan membuat lagu dan musik berkualitas, dan overdosis narkotika berkali-kali. Jumlah manggung Kurt Cobain rasanya saling kejar-kejaran dengan berapa kali ia hampir mati gara-gara narkoba—sampai akhirnya dia benar-benar mati karenanya.

Lewat membaca Heavier than Heaven, saya jadi tau kalau kemampuan membuat lirik dan musik luar biasa Kurt Cobain adalah bakat yang sudah dimilikinya sejak lahir. Ia membuat musik bagus semudah membalikkan telur ceplok di atas wajan. Ia tidak butuh kursus musik. Gift dan imajinasinya sudah cukup untuk membuatnya menciptakan musik keren dengan lirik yang kadang-kadang creepy dan penuh kebencian terhadap apa pun. Sementara, kemampuan ia bunuh diri ternyata adalah sebuah “penyakit” turunan.

Selain ugal-ugalan dalam konsumsi obat-obatan terlarang, saya juga melihat bahwa Kurt Cobain juga cukup struggling dalam menemukan jati diri, atau dalam menemukan apa yang sebenarnya ia inginkan. Dia adalah anak miskin dari pelosok yang bercita-cita besar menjadi kaya dan mengubah dunia, tetapi ketika jalannya terbuka dan ia berdiri di sana, dia malah denial dan bersikap seolah-olah apa yang ia capai hanya hal biasa yang bisa ia raih kapan pun ia ingin. Hal itu membuatnya jadi pribadi yang inkonsisten, narsistik, dan judgemental pada saat bersamaan—membuat kehidupannya selalu dalam masalah yang ada-ada aja.

Kurt Cobain sering merasa dirinya adalah dewa atau malaikat yang menyelamatkan hidup banyak orang, tetapi dia juga tak akan segan bersikap seperti bangsat yang lebih menyebalkan dari setan dan membuatnya dimusuhi manusia sejagat raya. Talented dan problematic pada saat yang sama.

Ungkapan “uang tidak bisa membeli kebahagiaan” juga berlaku dalam buku ini. Ketika masih menjadi anak pelosok yang miskin, Kurt Cobain selalu bermimpi bahwa punya banyak uang akan menyelesaikan masalahnya dan ia akan jadi lebih bahagia. Pada faktanya, seiring ia tenar dan bisa membeli mobil atau rumah semudah membeli gorengan pinggir jalan, ia makin dijerat banyak masalah, makin kecanduan narkotika, dan tentu saja ia tidak jadi lebih bahagia dari sebelumnya. Justru, ia makin mudah mendapatkan obat terlarang karena makin banyak bandar mengenalnya. Kurt Cobain tidak bisa memegang tanggung jawab sebagai superstar sebagaimana yang dilakukan Axl Rose, Slash, atau bahkan Dave Grohl dalam menyikapi kepopuleran.

Well, sebetulnya ada banyak juga cerita mengasyikkan dalam buku Heavier than Heaven ini—tidak melulu soal narkoba dan overdosis, kok. Ada cerita-cerita seru tentang manggung pertama, proses rekaman, proses kreatif pembuat lirik dan musik, dan tentu saja cerita harap-harap-cemas-dan-ancam-mengancam-Cobain-dan-MTV, tetapi hampir semuanya diselingi cerita tentang Kurt Cobain yang gagal lagi dan gagal lagi menyetop penggunaan narkoba sehingga terkesan kehidupannya hanya tentang narkoba dan keinginan untuk mati karena bunuh diri suatu hari nanti.

Setelah menamatkan buku ini, saya langsung berkesimpulan: drugs don’t get you better. Ya, tidak ada ucapan lain selain itu, dan kita semua juga tau. Namun, Kurt Cobain menggilai narkoba sama seperti ia begitu mencintai musik dan menggantungkan hidupnya di sana. Kurt Cobain tanpa narkoba rasanya seperti Tribun News tanpa judul yang clickbait; aneh banget.
Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.