Pertarungan
Di
atas meja berdiri botol-botol minuman keras berbagai ukuran beserta
gelas-gelasnya. Beberapa botol sudah dalam keadaan kosong, beberapa lainnya
masih tersegel penuh.
Kerlap-kerlip
lampu disko meremangi ruangan. Wanita-wanita malam menikmati musik yang
menggelegar sambil menari dalam keadaan mabuk. Farid sedang meneguk salah satu minuman
ketika seseorang merobohkan pintu di belakangnya dengan sekali tendangan. Ia
segera berdiri membalik badan dan memasang kuda-kuda. Seseorang berbadan kekar
berdiri tepat di pintu dan menatap tajam ke arah Farid. “Mau lari ke mana lagi
lu, Anjing?!” teriaknya.
Farid
tidak menjawab. Ia mundur dua langkah, mengepalkan kedua tangan, dan menguatkan
kuda-kuda. Ia bersiap menerjang preman yang entah suruhan siapa.
Para
wanita malam berlari meninggalkan ruangan sambil berteriak. Kini tinggal dua
orang di dalam ruangan, sementara musik tetap menggelegar bak gemuruh.
Farid
melompat sambil berteriak sembari melandaskan kakinya ke dada musuh. Musuhnya
terjatuh, tetapi dengan sigap berdiri lagi untuk kemudian kembali melawan.
Farid sendiri sudah kembali tegap dan bersiap untuk pukulan berikutnya. Badan
Farid memang tidak sekekar musuhnya, tetapi baginya tidak jadi masalah. Bahkan
jika harus melawan tiga orang dengan porsi badan yang sama, Farid tetap tak
gentar.
Musuh
meraih botol di atas meja—bermaksud memecahkannya di kepala Farid, tetapi Farid
dengan cepat menyingkir dan berbalik untuk menarik botol itu. Faridlah yang
kemudian berhasil memecahkan botol itu di kepala musuh. Sisa pecahan botol
hijau transparan itu pun ia gunakan sebagai senjata. Begitu dapat kesempatan,
ia menusukkan botol itu tanpa ampun ke pelipis kanan musuhnya. Musuhnya
berteriak, lalu meringis memegangi pipinya yang mulai mengucurkan darah, tetapi
hanya sepersekian detik berselang sebelum ia kembali melancarkan pukulan ke
Farid secara membabi buta.
Musik
berhenti. Kini, pertarungan berlangsung dari jarak dekat. Keduanya saling
mengeluarkan jurus-jurus dari beladiri pencak silat. Dari jarak dekat, Farid
sedikit kewalahan dan musuh berhasil menjatuhkannya. Farid kembali berdiri,
membetulkan posisi dan kembali memasang kuda-kuda. Musuh pun demikian.
Pertarungan kembali berlangsung dari jarak dekat. Kali ini, Farid sedikit
diuntungkan setelah ia berhasil melancarkan tinju ke pelipis musuh yang sudah terluka.
Dari sana, ia meraih tangan musuh dan menguncinya. Sepersekian detik kemudian
ia mengangkat musuhnya ke udara dan melemparkannya tepat ke atas daun pintu
yang sudah tergeletak di lantai.
Suara
manusia menghantam pintu menggema ke seisi ruangan. Musuh memegangi punggungnya
yang kesakitan sementara Farid mengatur napas dalam posisi siaga.
Musuh
masih sanggup berdiri. Dengan napas yang terengah-engah ia mencoba merobohkan
Farid lagi, tetapi Farid sudah siap dan terus-menerus menahan pukulan musuh.
Begitu kembali dapat kesempatan, Farid melipat tangan musuh ke belakang dan
menghantamkan mukanya ke cermin yang menempel di dinding. Cermin pecah,
beberapa pecahannya menempel di pipi yang sudah tak berbentuk lagi karena penuh
dengan darah. Musuh roboh lagi ke lantai.
Farid
menghampiri musuh yang sudah tak berdaya, menarik rambut dan mengangkat
kepalanya. “Siapa yang nyuruh lo, Anjing?!”
Musuh
tidak menjawab, ia membalik badan sekuat tenaga dan berhasil menggoreskan
pecahan cermin ke wajah Farid yang sedari tadi hanya basah karena keringat.
“Bangsat!” Farid berteriak memegangi wajahnya. Kini keduanya sama-sama
berdarah.
Pertarungan
sengit kembali terjadi meski dengan tenaga yang tersisa seadanya dari pihak
musuh. Musuh dengan pecahan cermin, Farid dengan pecahan botol yang berhasil ia
pungut di lantai. Keduanya saling berpandangan mengitari ruangan dengan waspada,
saling menunggu waktu yang tepat untuk menyerang. Belum sempat keduanya saling
menyerang, terdengar suara tembakan. Muncul satu orang lagi berdiri di pintu
mengarahkan pistol ke arah keduanya. Farid membuang pacahan botol dan
mengangkat tangan ke udara, sementara musuhnya menghampiri si pembawa pistol
sambil tertawa. Namun, belum sempat ia mendekat, peluru sudah keburu
ditembakkan ke keningnya. Ia tersungkur ke lantai dan tak bergerak lagi.
Melihat
itu, Farid jadi sedikit gentar. Ia tak memegang senjata sama sekali sementara
musuh barunya kini memegang senjata yang bisa melenyapkan nyawanya dalam
hitungan detik. Musuh mendekati Farid perlahan hingga akhirnya moncong pistol
menyentuh kening. Tangan Farid masih terangkat ke udara, napasnya
tersengal-sengal.
“CUT,
CUT, CUT!!!”
Sutradara
berteriak dari kursi di balik kamera. Ia berdecak kagum atas adegan pertarungan barusan dan
memberikan apresiasi dengan tepuk tangan keras, sementara para kru dengan sigap langsung
berlari menghampiri para aktor dan melakukan tugasnya masing-masing.