Dua Puluh Tahun Silam
“Liat
nih, Zan. Ada korban lagi.”
Hendra
memperlihatkan layar ponselnya ke Fauzan, di sana terpampang berita tentang
orang yang hilang saat berkendara di dalam kabut di sebuah jalan yang berlokasi
di antara dua gunung kecil. Di jalan itu terdapat jalan dua arah yang mulus, di
bawahnya mengalir sungai yang arusnya sangat deras, dan sepanjang jalan
pinggirnya dipagar cukup tinggi.
Legenda
tentang Kabut Maut itu sudah menjadi semacam legenda di tempat mereka tinggal,
dan Hendra sudah menaruh perhatian sejak kecil—jika tidak bisa dibilang sejak
ia lahir. Kabut di sana selalu ada, tetapi masih memungkinkan orang untuk
berkendara karena hanya tebal pada keadaan dan waktu-waktu tertentu. Gambaran tentang
lokasi Kabut Maut itu mirip dengan gambar pemandangan gunung kembar buatan anak
SD.
“Ah,
gue masih enggak percaya, Ra. Soalnya enggak pernah ada bukti. Bisa aja itu
akal-akalan media biar jadi rame. Sama kayak cerita-cerita mistis lainnya;
tiba-tiba ada di mana, bis gaib, bangun-bangun di atas kuburan. Gue enggak
percaya. Emang lo pernah ketemu langsung sama orangnya? Kalaupun ketemu, emang
lo percaya kalau dia enggak mengarang itu buat dapat uang sebagai something
in return buat si penulis berita?”
Hendra
hanya terkekeh lalu lanjut membaca berita di ponselnya. Ia pun sebenarnya masih
berada di antara percaya tidak percaya dengan berita yang ia baca. Hendra baru
saja lulus sebagai sarjana Fisika dan hal-hal yang berbau mistis baginya tidak
masuk akal, tetapi terlalu banyak kejadian yang tidak dapat dijelaskan secara
sains terjadi dalam hidupnya yang membuatnya merasa harus membongkar semuanya
satu per satu—dimulai dari yang terdekat: Kabut Maut.
“Gue
hari ini mau ke kampus, mau ngambil ijazah yang udah dilegalisir,” kata Fauzan.
“Lo ikut gak?”
“Boleh.”
Sudah
sebulan terakhir Fauzan tinggal di rumah Hendra. Mereka berteman sejak SMA,
sejak Fauzan pindah sekolah dan masih berteman baik hingga sekarang. Sejak
sama-sama lulus kuliah, keduanya semakin sering main (dan malas-malasan)
bersama.
Mereka
berdua berangkat ke kampus berboncengan. Sementara Fauzan mengambil dokumen di
ruangan administrasi, Hendra menunggu sambil minum kopi di kafe kecil di lantai
dasar gedung kampus. Ia menyeruput kopinya sambil memperhatikan orang-orang
yang lalu lalang. Ketika sedang serius, Fauzan datang menepuk punggungnya dan membuat
Hendra sedikit kaget.
“Heh!
Ngelamun aja lo!”
“Gue enggak ngelamun, Zan. Ini gue lagi liatin anak-anak maba di sana. Enggak kerasa kita udah lulus, padahal gue ngerasa kita baru jadi maba juga kemarin.”
“Ya iya lo enggak ngerasa, lo kan di jurusan enggak ada ospek-ospekan. Gue … kesiksa! Hahaha.”
“Ya
lagian ngapain lo ngambil jurusan Teknik, kan udah tau kalau anak Teknik
keras-keras.”
Fauzan
terbahak, “Ya biar idup ada tantangannya aja, sih. Hahaha,” jawabnya.
Mereka
kembali ke rumah setelah dokumen yang diurus sudah didapat. Rencananya,
berkas-berkas itu akan dijadikan lampiran oleh Fauzan untuk melamar kerja.
Hendra sendiri baru saja memasukkan lamaran ke beberapa perusahaan yang
dinaungi pemerintah dan swasta yang membutuhkan lulusan jurusan Fisika
sepertinya, tinggal menunggu panggilan untuk tahap berikutnya.
-///-
Di
teras rumah, Hendra sedang membaca-baca buku tentang Mekanika Kuantum ketika
Fauzan membuyarkan konsentrasinya karena hendak memperlihatkan sebuah berita.
“Ada
lagi, Ra. Di tempat yang sama.”
Fauzan
memperlihatkan ponselnya ke Hendra, kali ini ia yang memperlihatkan berita soal
hilangnya seseorang secara misterius di balik kabut itu.
“Kok?”
“Mulai
enggak konsisten, kan?”
“Iya,”
kata Hendra. “Biasanya kabut maut itu datang sekali setahun. Kali ini dalam dua
hari ada dua kasus. Ini fenomena yang aneh.”
“Berarti
benar dugaan gue. Settingan!”
Hendra
menarik napas panjang, seakan baru saja menarik diri dari kenangan yang cukup
berat. “Dan ada masalah lain, Zan,” katanya.
“Gimana?”
“Orang-orang
yang hilang di sana benar-benar hilang tanpa jejak. Motornya enggak ada, bekas
jatuh atau nabraknya juga enggak ada. Bahkan pagar pembatas jalan di sana itu,
bersih. Enggak ada bekas ditabrak atau bahkan disenggol kendaraan.”
“Berarti
bener settingan, kan?” timpal Fauzan langsung menyimpulkan. “Enggak mungkin
diculik alien, kan.”
“Atau
mungkin mereka memang hanya ingin menghilang dari peradaban ini?”
“Itu
sih mikirnya kejauhan.”
“Jauhan
juga elo, masa settingan.”
Sudah
sejak beberapa tahun terakhir area sekitar Kabut Maut itu diberi markah bahwa
tempat itu berbahaya. Sayangnya, tidak ada jalan lain yang menjadi penghubung
antarkota di sana. Jadi, orang-orang tetap akan lewat sana. Lagi pula,
sebelum-sebelumnya Kabut Maut hanya menelan korban sekali setahun sehingga
orang-orang sering merasa itu tidak jadi masalah.
Seminggu
berselang, Fauzan mendapat panggilan wawancara kerja di kota seberang. Mau
tidak mau, ia harus melewati Kabut Maut untuk tiba di sana tepat waktu. Ia pun
mengajak Hendra untuk menemaninya. “Gue takut pergi sendirian,” katanya.
“Gila,
lu. Badan doang gede, tapi sama yang katanya settingan juga takut!”
“Hahaha,
namanya juga jaga-jaga.”
“Jadi
lu percaya atau enggak?”
“Percaya
enggak percaya, sih, lebih tepatnya. Lu temenin gue ya?”
“Tapi
bawa motor masing-masing, ya.”
“Iya
deh, asal bareng.”
Esok
hari keduanya pun bersiap-siap berangkat. Karena wawancara kerja Fauzan akan dimulai
pukul sepuluh pagi, mereka pun berangkat sepagi mungkin agar tidak
terburu-buru.
“Yuk,
udah jam tujuh,” ajak Hendra setelah menengok jam di ponselnya. Jarak yang akan
mereka tempuh sekitar satu setengah jam perjalanan, dan mereka akan melewati
Kabut Maut itu dua kali.
Setelah
satu jam perjalanan, jalan mulai sepi dan sebentar lagi mereka akan memasuki
area kabut. Pada musim penghujan seperti sekarang, kebetulan sekali kabut akan
muncul lebih tebal dari biasanya.
“Pelan
dikit!”
Fauzan
berteriak ke Hendra setelah menyejajarkan motornya yang dari tadi mengekor di
belakang.
“Kenapa?”
“Nunggu
ada orang lain lewat, biar ada barengan.”
Hendra
setuju. Mereka pun memelankan laju kendaraan, lalu tak berapa lama kemudian ada
dua buah motor dan satu mobil yang mendekat. Mereka sengaja membiarkan mobil
dan motor itu menyalip lalu mereka mengikut di belakang.
Kabut
hari itu benar-benar tebal sehingga jarak pandang benar-benar terbatas.
Untungnya, keduanya masih bisa melihat cahaya dari kendaraan yang mereka ikuti.
Hendra mulai merasakan suasana yang sedikit mencekam, seperti ada mata yang
menatap dari dalam kabut, tetapi ia tetap melajukan motornya dengan pelan dan
hati-hati. Begitu pun dengan Fauzan.
Dua
menit kemudian, mereka lepas dari kabut, dan tidak ada kendaraan yang
menghilang. Satu mobil dan dua motor tetap terlihat di depan mereka. Sisa
perjalanan menuju tempat wawancara pun berjalan lancar dan sejenak mereka
melupakan soal legenda Kabut Maut.
Sebelum
masuk untuk wawancara, Fauzan mampir sebentar di sebuah warung yang letaknya di
depan calon kantornya untuk membeli minuman untuk mereka berdua. Penjaga warung
melihat Fauzan dengan sedikit terkejut, tetapi Fauzan tidak menyadarinya.
“Bukan
orang sini, ya?” tanya penjaga warung ketika memberikan kembalian belanja. Ia
melirik Fauzan dari kaki hingga kepala.
“Oh,
bukan, Pak. Hehe.”
Penjaga
warung hanya tersenyum heran (atau mungkin takut) tanpa alasan yang jelas.
Fauzan yang tidak memperhatikan, meninggalkan warung begitu saja dan segera
memasuki kantor yang ternyata cukup besar itu sembari memberikan sebotol minuman
ke Hendra. Sebelum masuk, ia menengok ke atas. “Satu, dua, tiga, empat, lima,
kayaknya lima lantai,” gumamnya.
Sambil
menunggu Fauzan wawancara, Hendra duduk di tempat Fauzan membeli minuman tadi.
Ia memesan secangkir kopi ke penjaga warung.
Hanya
beberapa menit, penjaga warung datang membawa secangkir kopi dan beberapa
potong gorengan. “Nanti tinggal dihitung makan berapa, Mas,” katanya pada
Hendra.
“Siap,
Pak!”
“Bukan
orang sini, ya?”
“Oh,
bukan. Saya lagi nemenin teman saya wawancara kerja di sebelah,” jawabnya
sambil menunjuk kantor di seberang jalan.
Penjaga
warung itu lagi-lagi hanya tersenyum tanpa melanjutkan obrolan. Kali ini
senyumnya semakin penuh pertanyaan, tetapi tak sepatah kata pun keluar dari
mulutnya. Sekali lagi, ia melirik Hendra dari kaki hingga kepala.
Sekitar
sejam kemudian, Fauzan keluar dari kantor itu dengan wajah yang memerah sambil
masih memegang kertas-kertas dokumennya.
“Diterima?”
tanya Hendra.
“Belum,
sih. Tapi kayaknya akan. HRD-nya tadi udah ngasih kode-kode gitu.”
“Kode-kode
gimana?”
“Ah
nanti deh gue ceritain. Kita cari makan dulu di sekitaran sini, yuk!”
Keduanya
pun mencari tempat untuk makan siang, lalu langsung pulang setelahnya. Dari
jauh, Fauzan dan Hendra bisa melihat kabut sedang tidak tebal. Fauzan
menganggap hal itu adalah pertanda baik dan mulai mengebut ke arah kabut.
Semakin dekat, tanpa keduanya sadari kabut semakin menebal, seperti sudah
menunggu kedatangan kedua tamunya. Namun mereka tak gentar karena dari arah
berlawanan baru saja lewat beberapa kendaraan dan mereka juga baru saja
menyalip dua motor—yang berarti mereka tidak sendirian.
Hendra terus mengekor di belakang Fauzan dan kecepatan motornya perlahan menurun begitu memasuki kabut. Ia sama sekali tidak bisa melihat kendaraan di depannya dan hanya berharap bisa segera melewati Kabut Maut ini. Setelah semenit, ia pun lepas dari kabut tetapi tak melihat Fauzan ada di depannya. Ia berhenti dan melihat ke sekeliling. Seketika suasana mendadak sepi, tidak ada kendaraan yang melewat, dan tidak pula ia menemukan keberadaan Fauzan. Setelah berdiam beberapa jenak, Hendra mencoba masuk kembali ke Kabut Maut, tetapi kabut itu sudah hilang dan langit sudah terik. Ia pun mulai menangis, menenggelamkan diri dalam sedih di atas sepeda motornya. Kini ia kehilangan Fauzan, orang kedua dalam hidupnya setelah ayahnya lebih dulu hilang dalam Kabut Maut, dua puluh tahun silam.