Seele
“Biar lebih berkesan, gimana kalau kita bikin acara perpisahan khusus kelas kita, di rumah Bu Kartini?”
Pernyataan
itu dilontarkan Ichsan, ketua kelas kami, setelah acara perpisahan sekolah baru
saja dibubarkan. Sebagian besar teman-teman kelasku setuju, jadi mau tidak mau
aku pun ikut mengiyakan. Bu Kartini adalah Wali Kelas sekaligus guru yang
dikenal baik, ramah, dan jarang sekali memarahi siswa. Tidak sedikit siswa yang
merasa iri ketika tau Bu Kartini jadi Wali di kelasku.
“Aku
belum pernah ke rumah Bu Kartini,” kata Farel, salah seorang teman kelas.
“Aku
juga enggak tau rumahnya di mana,” kataku menimpali.
“Oh,
tenang aja,” kata Ichsan menenangkan. “Aku tau, beberapa orang juga udah pernah
ke sana. Nanti kita ngumpul di satu titik aja terus barengan ke sananya.”
“Jadinya
hari apa?”
“Sabtu
aja, biar sekalian malam Mingguan di sana,” usul Amri, teman kelas yang
terkenal selalu mengiyakan ajakan nongkrong siswa dari kelas lain.
Kami
pun bubar setelah sepakat dengan waktu yang telah ditentukan, dan tempat
ngumpul yang sudah disepakati—rumah Farel yang sering didatangi teman-teman
kelas dan hampir selalu dilewati teman-teman kalau pulang-pergi sekolah.
Pekan
berikutnya ba’da Asar, aku dan beberapa teman lainnya sudah berada di rumah
Farel, duduk di teras memainkan gitar sambil mengobrol soal serunya acara
perpisahan pekan lalu. Burning in the Skies, salah satu band lokal yang cukup
banyak penggemarnya menjadi salah satu penyukses acara—selain tentu saja
band-band yang personelnya adalah siswa-siswa di sekolahku.
Satu
per satu teman-temanku mulai datang. Ada yang datang berdua, ada yang diantar
pacar, ayah, dan ada juga yang bawa motor sendiri. Salah satu yang diantar oleh
pacarnya adalah Mentari. Kedatangannya sedikit mencuri perhatian kami yang
sedang duduk di teras rumah Farel karena ia turun dari motor pacarnya dengan
muka yang tidak enak.
“Lagi
berantem kayaknya,” kataku asal. Teman-teman lain hanya tertawa kecil, mereka sadar
Mentari adalah pribadi yang galak di sekolah jadi tidak banyak yang berani
macam-macam dengannya.
Mentari
menyapa kami lalu menyendiri di pojokan. Ia tidak bergabung dengan kami,
ataupun teman-teman perempuan lainnya.
“Ri,
aman?” aku mencoba menyapanya. Bibirnya pucat dan tatapannya tajam. “Lagi agak
flu,” jawabnya. Aku menyarankan agar dia tidak usah ikut, lagi pula tidak semua
teman kelas ikut juga. Total hanya sekitar 15 orang yang ikut. Namun, Mentari
agak memaksa.
Sekitar
pukul 5 sore, kami beramai-ramai berboncengan ke rumah Bu Kartini yang ternyata
lokasi rumahnya cukup jauh dari sekolah, dan yang membuatku kaget: Juga jauh
dari kota. Untuk sampai ke rumah Bu Kartini harus melewati jalan kecil yang
hanya muat satu mobil, dan sekitar 300 meter lagi jalan berbatu yang
kiri-kanannya persawahan. Hal ini membuatku berpikir betapa hebatnya perjuangan
seorang Bu Kartini yang setiap hari melewati jalan-jalan ini untuk tiba di
sekolah. Beberapa teman—terutama perempuan—sempat mengeluh soal jalan, tetapi
pertunjukkan harus tetap berjalan.
“Ini
sih masuk kampung banget!” seru Kardi, seorang teman kelas lainnya.
“Banget,”
timpal teman yang lain.
Kami
tiba di rumah Bu Kartini 10 menit sebelum Magrib, disambut oleh Bu Kartini
sendiri. Di dalam sudah ada suaminya yang baru saja selesai membakar beberapa
ekor ayam, dan ada dua orang lain yang membantu masak-masak. Setelah salim satu
per satu, teman-teman perempuan langsung ikut ke dapur untuk bantu memasak,
sementara yang laki-laki kebanyakan berada di teras rumah.
Rumah
Bu Kartini adalah rumah batu yang cukup besar dengan halaman luas, bercat
hijau, terletak tepat di belokan, sebelah kirinya jalan berbatu, dan sebelah
kanannya satu buah rumah yang ternyata baru ditinggal pemiliknya ke kota.
Sementara pemandangan depan rumah adalah sawah hijau yang membentang luas. Sejajaran
rumah Bu Kartini ada rumah lagi, tapi agak berjarak. Mungkin sekitar 200-an
meter dari sini, aku bisa melihat ada empat atau lima rumah yang juga cukup
besar. Aku baru bisa melihat rumah lagi di kejauhan saat malam tiba—terlihat
dari kerlip lampu-lampunya.
“Kamu
ngerasa dingin gak sih?” tanya Farel padaku sambil mengelus-elus siku
tangannya.
“Agak,
tapi aku bawa jaket sih,” jawabku lalu mengambil jaket yang aku taruh di bagasi
motor.
“Aku
cuma pake baju lengan panjang, enggak bawa jaket.”
“Ye,
salah sendiri.”
Salah
seroang teman lain, Adnan, membawa gitar dan kami mulai menyanyikan banyak lagu
bersama-sama di teras. Ada yang juga yang sambil duduk-duduk di atas motor yang
terparkir di halaman.
“Nanti
malam, kita mau ngadain acara curhat, ya,” kata Ichsan. “Biar kita bisa saling
mengeluarkan unek-unek selama ini, atau apa pun yang mau dikeluarkanlah
pokoknya.”
Aku
dan Farel saling berpandangan. “Apakah ini akan kamu jadikan waktu yang tepat untuk
menyatakan cinta ke Lita, San?” kata Farel sambil tertawa.
“Hahaha,
bisa jadi. Tapi gak akan ngarep diterima. Kan ngeluarin unek-unek aja.”
Aku
sendiri jadi teringat Mentari. Aku pernah menaruh rasa padanya, dan konon
kabarnya dia juga suka padaku. Namun, sampai saat ini aku tidak pernah punya
keberanian untuk mengungkapkannya. Sekali waktu aku pernah ingin menyatakan
perasaanku padanya di kantin sekolah pas jam istirahat, tapi akhirnya urung
juga karena aku lebih dulu mendengar dia baru jadian dengan Iqbal, lelaki yang
mengantarkannya ke rumah Farel tadi sore. Iqbal juga seangkatan dengan kami,
tetapi beda sekolah.
“Ehem,”
suami Bu Kartini mendeham. “Makan dulu, yuk,” ajaknya. Meski rumah Bu Kartini
bisa dibilang cukup besar, tetap saja tidak cukup untuk menampung hingga 15
orang dalam satu ruangan. Jadi acara makan-makannya dibagi. Sebagian di ruang
TV, sebagian di ruang tamu, dan sebagian lagi di teras. Aku dapat bagian di
teras bersama Ichsan, Farel, Kardi, Amri, dan dua orang lainnya sambil membahas
detail acara Mengeluarkan Unek-Unek yang diusulkan Ichsan tadi.
“Iya,
jadi nanti acaranya kita mulai pas tengah malam aja. Jam 12. Ya, biar lebih
intim aja sih,” usul Ichsan.
Semua
setuju-setuju saja. “Boleh tidur dulu gak sih?” kataku. Aku melihat jam di
tangan, “Baru jam 7-an gini. Masih bisa molor lamaaa.”
“Ya
bisa. Paling habis makan juga kalian pada ngantuk. Tidur dulu aja. Nanti jam 12
dibangunin satu per satu deh.”
Acara
makan-makan selesai, tetapi kami tetap di teras untuk mengobrolkan apa saja.
Yang di dalam rumah tetap di dalam, sementara yang tadinya nongkrong di atas
motor, kembali lagi ke sana untuk menikmati entah apa. Lalu, di tengah asyiknya
membahas soal acara perpisahan yang menurut kami sangat berkesan, suami Bu
Kartini muncul.
“Maksimal
jam 9 malam, semuanya sudah harus ada di dalam rumah, ya,” katanya. “Ada 3
kamar untuk perempuan, yang laki-laki tidur di depan TV. Kalau gak cukup, di
ruang tamu juga boleh. Yang jelas jangan di kamar.”
“SIAP
PAK!” sahutku berbarengan dengan Farel.
“Kenapa?”
tanya Ichsan. Dari situ juga aku baru sadar kalau Ichsan belum meminta izin
pada pemilik rumah untuk mengadakan acara yang ia sebut Mengeluarkan
Uneg-Uneg itu.
“Takut
ganggu tetangga,” jawab suami Bu Kartini. “Ah, pokoknya jam 9 jangan ada yang
di luar lagi, ya!” lanjutnya dengan nada yang agak tinggi, lalu meninggalkan
kami ke dalam rumah.
Karena
sebentar lagi jam 9, Ichsan pun memperingatkan teman-teman yang lain agar
mematuhi perintah tuan rumah—meski sebenarnya sebelum itu kami sempat saling
berpandangan dalam diam karena tetangga terdekat jaraknya ratusan meter dan
rumah sebelah pun sedang kosong.
Tepat
jam 9 malam, kami semua sudah berada di dalam rumah. Kebanyakan masih berkumpul
dan mengobrol di depan TV dan ruang tamu. Aku sendiri masih mengemil kacang
sambil selonjoran di kursi panjang ruang tamu. Farel duduk di kursi tunggal di
depanku sambil mempelajari petikan gitar lagu baru dari Motly Crue yang sedang
ia sukai. Sementara beberapa lainnya sudah tidur duluan setelah Ichsan meminta
izin sekaligus mengumumkan kalau jam 12 nanti akan ada acara.
Saat
sedang serius memperhatikan Farel belajar petikan gitar, dari arah dapur
terdengar suara teriakan histeris perempuan. Aku langsung terduduk, Farel
berdiri dan menjatuhkan gitar, dan semua orang lari ke arah dapur. Di sana
Mentari sedang menggelinjang sambil berteriak histeris. Aku berdiri mematung di
pintu masuk dapur karena dapur mendadak sudah dipenuhi oleh teman-temanku.
“Kesurupan,”
kata salah seorang yang ada di rumah Bu Kartini.
Aku
jadi ingat lagi kalau Mentari memang selama sekolah pernah beberapa kali
mengalami kesurupan. Suami Bu Kartini menginstruksikan agar kami mengisi
ruangan lain selain dapur agar tidak sesak. Ia menyuruh salah seorang dari kami
untuk mencari orang pintar, tetapi kami sama sekali tidak ada yang tau harus ke
mana.
“Ya
sudah, kalian jaga anak ini, saya pergi cari orang pintarnya,” kata suami Bu
Kartini kemudian.
Tidak
lama, ia pun pergi dengan sepeda motor dan kembali setelah sekitar 15 menit.
Selama ia pergi, Mentari terus berteriak menyerukan kata-kata yang sama sekali
tidak aku mengerti. Ketika orang pintarnya datang, Mentari menatapnya dan diam
beberapa jenak. “Risma, Risma, Risma,” katanya dengan sisa tenaga yang ada.
Sepertinya ia kecapekan akibat terus berteriak.
“Siapa
teman kalian yang bernama Risma?” tanya orang pintar itu.
“Sudah
meninggal, Mbah,” jawab Ichsan.
“Arwahnya
ada di sini.”
Kami
semua kaget. Risma adalah teman sekolah kami, tapi beda kelas. Ia meninggal
karena kecelakaan sekitar satu minggu sebelum Ujian Nasional.
“Risma
memang dekat dengan Mentari, Mbah,” jawab Ichsan lagi. Aku baru tau fakta itu.
Setelah
itu, si orang pintar melakukan beberapa gerakan seperti ritual dukun atau
semacamnya. Mentari kembali teriak-teriak seperti sebelumnya, tetapi mendadak
diam setelah si orang pintar membisikkan sesuatu ke telinganya.
Mentari
sudah tersadar, tapi mengaku tidak inga tapa-apa. “Ada apa?” tanyanya. Kami pun
menjelaskan apa yang terjadi dan setelahnya ia tertidur.
Si
orang pintar pulang diantar oleh suami Bu Kartini, tapi sebelum itu berpesan
agar kami jangan keluar rumah sebelum pagi dan jangan berbicara sembarangan. Sementara
Bu Kartini dan suaminya tidak berkomentar apa-apa. Tidak lama setelah itu, aku
kembali ke kursi ruang tamu dan tertidur.
Tepat
jam 12, Ichsan membangunkanku dan teman-teman yang lain satu per satu.
“Kirain
gak jadi karena ada insiden kesurupan,” kataku ke Farel yang juga baru bangun.
“Aku
pikir juga gitu,” jawab Farel.
“The
show must go on,” begitu kata Ichsan ke semua orang yang ia bangunkan, lalu
menyuruhnya untuk duduk membentuk lingkaran di ruangan TV.
Beberapa
orang sempat bertanya bagaimana jika Bu Kartini terganggu, tetapi Ichsan
mengaku sudah meminta izin. Namun, aku percaya kalau izin itu diberikan sebelum
terjadi insiden kesurupan.
Pada
akhirnya, acara Mengeluarkan Uneg-Uneg ini tetap dilangsungkan. Namun,
belum sempat siapa pun mengeluarkan keresahan, Mentari sudah kesurupan lagi.
Kali ini dia tidak sendirian. Hanya berselang beberapa menit, dua teman
perempuan lainnya, Tika dan Lisa ikut kesurupan. Mentari dibawa ke area dapur,
sementara Tika dan Lisa tetap di ruang TV. Beberapa teman perempuan memilih
masuk ke kamar karena takut, sementara ada juga yang membantu menenangkan. Bu
Kartini dan suaminya sudah bangun lagi.
Mentari
dan Lisa sempat saling bersahut-sahutan, saling berteriak dalam bahasa yang
kurang aku pahami. Karena tidak ada lagi orang pintar, kami menenangkan mereka
dengan segala yang kami tau: Mendoakan, membacakan ayat-ayat suci, dan
mengusap-usap kepalanya. Tanpa bantuan orang pintar, suasana bisa terkendali
dan mereka sudah lepas dari kesurupan. Kini Tika dan Lisa tidur di kamar depan,
sementara kami membiarkan Mentari tertidur di dapur. Begitu bangun, ia langsung
berdiri.
“Mau
ke mana?” tanyaku.
“Kebelet
pipis,” jawab Mentari.
Namun,
tiba-tiba ia malah berteriak dan lari ke arah luar. Kami para laki-laki
berusaha mengejarnya tetapi larinya cepat sekali. Ia berlari di tengah jalan
sambil berteriak dan menangis histeris. Dalam gelapnya malam, si orang pintar
yang aku pikir sudah tidak ada, mendadak berdiri menghadang Mentari. Ia
meletakkan telapak tangan ke kening Mentari dan membuatnya tersungkur ke tanah
seketika.
Kami
membawa Mentari kembali ke rumah Bu Kartini, dan Ichsan tiba-tiba saja punya
ide untuk mendatangi makam Risma.
“Mungkin
kita harus ke sana dan memberitau agar dia enggak ganggu Mentari lagi,”
katanya.
Aku
menolak, tetapi sepertinya aku satu-satunya orang yang tidak setuju. Jadi hanya
dalam beberapa menit kami sudah di jalan menuju makam Risma yang letaknya cukup
jauh dari rumah Bu Kartini. Aku berboncengan dengan Farel, Ichsan dengan Kardi,
sementara Amri bawa motor sendiri. Sisanya tetap tinggal di rumah Bu Kartini.
Berkendara
menuju kuburan pada pukul dua pagi adalah destinasi yang tidak pernah ada di
dalam kepalaku sebelumnya. Kami tiba di pemakaman dengan kondisi semua bulu di
tubuh berdiri, entah karena dingin atau karena takut—aku tidak bisa
membedakannya. Ketika Risma dimakamkan kami semua hadir, jadi tidak susah
menemukan lokasi makamnya. Ichsan berlutut di depan makam memimpin doa, sisanya
di belakang mengikuti. Setelah mendoakan almarhumah dan meminta agar tidak diganggu lagi, kami
kembali ke rumah Bu Kartini dengan harapan tidak akan terjadi apa-apa lagi.
Kami
kembali tiba di rumah Bu Kartini sekitar pukul 4.30 pagi hari dan kulihat
Mentari sedang makan di dapur. Keadaan tidak lagi mencekam, sebagian besar
teman-teman pun sudah tidur kembali. Melihat Mentari, aku jadi ikut-ikutan
lapar setelah menyadari sejak malam tenaga habis mengurusi orang-orang
kesurupan. Aku dan Farel pun mengambil makan dan ikut makan di sana. Aku dan
Farel duduk di depan Mentari, dan ketika sedang lahap-lahapnya, Mentari
berkata, “Eh, ada Risma,” sambil menunjuk bahu kiriku.