Kyneva
Setelah
menempelkan tacap tebal itu, ia akan menaiki taksi yang sudah dipesan
sebelumnya untuk kemudian berangkat ke lokasi yang sudah ditentukan oleh rekan
kerjanya. Lokasi kerjanya tidak pernah menentu, tetapi paling sering ke kota
seberang bernama Kyneva, sebuah kota kecil padat penduduk yang letaknya sekitar
setengah jam perjalanan dari tempat Alica tinggal.
Hanya
ada satu jalan tercepat menuju Kyneva: Jalan layang panjang yang pengerjaannya
mangkrak dan tidak pernah diresmikan sehingga pembatas jalan kiri-kanannya
lebih terlihat seperti fondasi bangunan tua yang tak terurus. Untungnya, aspal
sudah tertempel dengan merata di sepanjang jalan sehingga orang-orang tetap
memilih melewati jalan itu meski aksesnya sudah beberapa kali ditutup oleh
petugas.
Setiap
kali ke Kyneva, Alica selalu menyaksikan pemandangan yang nyaris sama: Tokyo
Square—sebuah supermarket yang lebih sering dijadikan tempat nongkrong anak
jalanan daripada untuk belanja bulanan—yang terletak di sebelah kiri sebelum
menanjak ke jalan layang; hostel-hostel tanpa plang penanda yang justru
menandakan tempat itu lebih diperuntukkan buat orang-orang yang ingin
menyalurkan hasrat seksual semata; motor-motor yang berbelok tepat di bawah
penanda jalan bertuliskan “Dilarang putar balik”; dan seorang pemuda yang
selalu terlihat membantu orang-orang menyeberang jalan—pemandangan yang selalu
disukai Alica begitu menuruni jalan layang.
Tidak
ada dari pemandangan itu yang paling menyita perhatian Alica selain pemuda yang
selalu membantu orang-orang menyeberang jalan. Penyebabnya? Pemuda itu selalu
menatap Alica tepat di matanya setiap kali taksi Alica mendekat, seolah-olah ia
selalu tahu di dalam taksi itu adalah seseorang yang ia kenal dengan baik.
Awalnya,
Alica menganggap peristiwa itu sebagai sebuah kebetulan belaka. Kebetulan
bertatapan mata dengan orang asing di jalanan adalah sesuatu yang lumrah
terjadi, batin Alica. Namun, setelah beberapa kali, ia pun menyadari itu
bukanlah sebuah kebetulan. Sayangnya, ia tidak pernah berpikir untuk menyetop
taksi di sana karena tahu waktunya tidak akan cukup.
Rasa
penasaran Alica semakin menjadi ketika pada satu malam jalanan sedang padat
merayap, dan tatapan itu terjadi dalam durasi yang lebih panjang dari
biasanya—bukan sekadar tatapan lalu antara orang yang sedang menyeberang jalan
dengan orang yang sedang menatap keluar jendela dari dalam mobil.
Alica
sontak kaget, tetapi kemudian berusaha membuat dirinya sebiasa mungkin dan
mengubahnya menjadi senyum. Namun, Alica lalu menyadari bahwa hanya dirinya
yang kaget, pemuda itu terlihat tetap kalem dan tersenyum tanpa memperlihatkan
gigi seperti biasa. Hidung pemuda itu tinggi dan matanya cokelat, membuatnya
terlihat memikat. Alica semakin bertanya-tanya siapa dia. Dalam hatinya, ia
yakin pemuda itu bukanlah anak jalanan seperti yang sering ia lihat di Tokyo
Square atau di taman apartemen yang tak jauh dari rumahnya.
Pemuda
itu memiliki badan yang tegap dan Alica percaya di balik kemejanya ia memiliki
dada yang bidang. Namun, apa yang sebenarnya dilakukan pemuda itu tiap malam?
Pertanyaan itu terus memutar di kepala Alica setiap kali melewati jalan layang
menuju Kyneva. Lebih jauh, siapa sebenarnya pemuda itu?
Alica
tiba di Kyneva disambut hujan gerimis.
Ia
turun dari taksi setelah membayarkan sejumlah uang tip kepada pengemudi. Kali
ini lokasi kerjanya adalah Kyneva Luxury Hotel, salah satu hotel terbaik di
Kyneva. Setelah melewati pemeriksaan, ia disambut oleh rekannya bersama
beberapa orang lain yang sudah lebih dulu datang.
“Kamarmu
ada di 501,” kata salah satu rekannya.
Tanpa
babibu Alica langsung menuju lift ke lantai 5 begitu menerima kunci kamar dari
rekannya itu. Di sana, ia menunggu tamu yang akan ia layani untuk malam ini.
Biasanya, Alica akan melayani tamunya dengan durasi maksimal tiga jam, lalu ia
akan langsung pulang lagi dengan taksi yang sama ke rumahnya. Banyak tamu yang
ingin menggunakan jasanya lebih dari tiga jam, bahkan memintanya menginap,
tetapi Alica selalu menolak. Karena kecantikannya juga, Alica dengan cepat
menjadi bintang dan menjadi salah satu Pekerja Seks Komersial yang mahal dan
terkenal selalu memuaskan. Tentu saja tidak hanya cantik, Alica juga tahu apa
yang diinginkan para tamunya. Namun, aturan “tidak boleh lebih dari tiga jam”
adalah aturan yang tidak ingin dia langgar.
Malam
yang gerimis pada pekan berikutnya, Alica sedang di jalan menuju Kyneva.
Seperti biasanya, ia menantikan saat-saat melalui jalan layang dan menatap
wajah pemuda itu. Namun, kali ini sosok pemuda itu tidak terlihat. Taksi sudah
melambat, mata Alica sudah melirik kiri-kanan, tetapi sosok yang ia cari tidak
juga muncul. Alica merasa kehilangan sesuatu, padahal ia tidak pernah memiliki
sesuatu itu. Setelahnya, gelisah menyelimuti pikiran Alica di sisa perjalanan
menuju Kyneva.
Alica
tiba di Kyneva, kali ini di hotel yang lain, tetapi tidak jauh dari Kyneva
Luxury Hotel. Seperti biasa, ia menuju kamar kliennya begitu menerima kunci dari
rekannya. Setelah tiga jam, ia pun keluar dari kamar dan pulang. Namun, tidak
seperti biasanya, kali ini ia sempat terdiam dan termenung memikirkan pemuda
itu. Pikirannya ke mana-mana, tetapi untunglah tidak sampai memengaruhi
keprofesionalannya dalam bekerja. Setelah terbangun dari lamunan singkatnya,
Alica berjalan menuju lobi dan tersentak ketika melihat kursi di lobi diduduki
oleh pemuda penyeberang jalan itu. Lebih kaget lagi ketika pemuda itu ternyata menyadari
kehadiran Alica dan menatapnya terus-menerus.
Alica
membeku sesaat. Ada perasaan ingin menghampiri, tetapi ia sadar mereka tidak
saling kenal, dan mereka sama-sama tahu, di Kyneva berkenalan dengan orang
asing adalah sesuatu yang tidak biasa.
Setelah
bercengkrama dengan suara-suara di kepalanya, Alica memutuskan untuk membuang
muka dan terus berjalan ke pintu keluar. Namun, pemuda itu segera menghampiri
dan sesaat kemudian sudah berdiri di depan Alica.
“Aku
tahu kau mengenaliku,” katanya dengan suara datar.
Alica
memicingkan mata, mencoba mengingat seseorang di dalam memorinya.
“Maaf?”
“Jalan
layang.”
“Eh?”
“Penyeberang
jalan?” pemuda itu berusaha membantu ingatan Alica.
Alica
terdiam cukup lama, memikirkan kata-kata yang sebaiknya ia keluarkan untuk
menjawab kebingungan di dalam kepalanya.
“Ya,
aku tahu,” kata Alica. “Maksudku, aku mengingatmu, tetapi sungguh, aku tidak
mengenalimu. Maafkan aku!”
“Tidak
perlu meminta maaf.”
“Bagaimana
kau tahu aku ada di sini?”
“Aku
selalu tahu kau ada di mana,” kata pemuda itu dengan nada yang mengejek.
Percakapan
keduanya terus berlangsung, dan kini mereka sudah duduk di bar hotel yang
kebetulan tidak sedang ramai. Pemuda itu memesan minuman untuk mereka berdua
dan melanjutkan obrolan di bawah cahaya remang. Meski seorang PSK, Alica sangat
jarang datang ke bar dengan alasan yang tidak pernah ia beberkan ke siapa pun, ia
lebih suka minum dan mabuk sendirian di kamarnya. Akan tetapi, kali ini ia juga
tidak punya alasan untuk menolak ajakan pemuda yang sudah lama menjadi topik di
dalamnya kepalanya.
“Kau,
apa kau memang tinggal di Kyneva? Apa pekerjaanmu? Kenapa setiap aku melewati
jalan layang itu, kau selalu ada di sana?” Alica memborbardir pemuda itu dengan
pertanyaan dalam keadaan yang sedikit mabuk.
“Apa
kau mabuk?”
“Tidak,”
sangkal Alica sambil meneguk minumannya lagi. “Apa kau memang berasal dari
Kyneva?” tanyanya kembali.
“Tentu.”
“Buktikan.”
“Di
Kyneva—ini adalah fakta menyenangkan—sebaiknya kau membawa SIM dan STNK jika
hendak menabrak seseorang di jalanan, agar tidak dituntut hukuman lebih banyak.
Pada hari-hari biasa, kau tidak perlu membawa surat-surat itu karena semua
polisi di Kyneva bisa disogok.”
“Kurasa
di kota tempatku berasal juga begitu,” sanggah Alica. Pemuda itu hanya
terkekeh.
Kini
Alica sudah sangat mabuk dan ia mengeluarkan kata-kata yang kadang bisa dipahami,
tetapi lebih banyak yang tidak. “Hei, apa kau tahu pekerjaanku?” tanya Alica
ketika pemuda itu sedang memapahnya untuk mengistirahatkannya di kamar hotel.
“Ya, tentu saja,” jawab pemuda itu. Alica sudah tidak mampu berdiri.
Alica
dibawa ke kamar di lantai 13 dan langsung berbaring di ranjang. Pemuda itu, ia
hanya duduk di sofa di sebelah kasur dan menyaksikan Alica yang sedang meracau
tidak jelas.
“Kau
tahu,” racau Alica lagi. “Orang-orang yang pernah meniduriku mengatakan dengan
percaya diri kalau mereka telah meniduri PSK paling cantik dan paling lincah di
seluruh Kyneva. Padahal bagiku, mereka tidak lebih dari sekadar bersetubuh
dengan racun.” Pemuda itu memperhatikan. Alica melanjutkan, “Aku selalu menacap
wajah ini setebal mungkin dengan racun-racun berbahaya sebelum menemui mereka.
Begitu aku pulang, tacapan tebal di mukaku lenyap tak bersisa dicium dan
dijilati oleh mereka. Sungguh orang-orang yang aneh! Tapi aku menyukainya,
karena mereka selalu membayar lebih banyak dari yang sudah disepakati di awal.
Kau tahu, mereka puas!”
Pemuda
itu masih diam, sementara Alica mulai kehilangan kesadaran. Tidak lama,
terdengar suara orokan Alica. Pemuda itu mengeluarkan ponsel dari sakunya,
mengetikkan sesuatu. Selang beberapa menit, seseorang mengetuk pintu kamar.
Pemuda itu membuka pintu, melihat siapa yang datang—seorang berbadan
tinggi-besar dengan perut buncit dan berusia sekitar 50 tahun.
“Apakah
dia sudah tertidur?” tanya orang itu setelah menutup pintu kamar.
“Kurasa
kau bisa membedakan suara dengkuran yang dibuat-buat dan yang asli.”
“Baiklah,”
pemuda itu mengeluarkan kertas dari sakunya. “Isi nominalnya sesukamu!” ia
memberikan cek kosong kepada pemuda itu.
Pemuda
itu menerima cek dan meninggalkan kamar. “Senang berbisnis denganmu, Tuan!”
katanya tersenyum sebelum benar-benar meninggalkan kamar, dan Alica yang
akhirnya terpaksa menginap dengan tamunya.