Tak Pernah Sama Lagi




Langit sedang mendung ketika Avina baru saja tiba di stasiun kereta. Semua orang di sekelilingnya memandangi dirinya yang tanpa ia sadari sudah tersenyum beberapa menit sembari memandangi layar ponselnya, tetapi ia tidak peduli.


Sebentar lagi, penantian panjangnya akan berakhir. Avina akan bertemu dengan Dima, kekasihnya setelah menjalani hubungan jarak jauh selama setahun dan dua bulan lamanya. Ketika memulai hubungan mereka, Dima baru saja lulus dan diterima kerja di luar kota, sementara Avina masih harus menyelesaikan studi tahun terakhirnya. Mau tidak mau, mereka harus menjalani hubungan asmara yang cukup jauh.


Sebelumnya, Dima hanya perlu bersepeda lima belas menit untuk bertemu dan bisa mengecup kening Avina. Sekarang, Dima harus duduk tiga jam di kursi pesawat kelas ekonomi yang tidak mengenakkan, ditambah perjalanan dengan kereta api selama kurang lebih tujuh jam untuk bisa menemui pujaan hatinya.


“Satu stasiun lagi.”


Begitu bunyi pesan Dima yang membuat Avina tidak berhenti tersenyum. Ia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya, sementara di dalam kereta jantung Dima berdetak lebih kencang karena membayangkan wajah Avina yang akan menyambutnya setelah setahun lebih terpisah. Selama ini, pertemuan mereka hanya melalui panggilan video di Skype, atau lewat panggilan telepon biasa kala-kalau Avina sedang berada di rumah pamannya di desa.


“Aku sudah di stasiun sejak tadi,” balas Avina.


Ia membuka lagi galeri ponselnya dan membuka album foto berisi tangkapan layar ketika mereka sedang mengobrol lewat panggilan video sebelum tidur, atau sebelum Dima berangkat kerja. Ada beberapa foto di mana Dima sedang berada di kantin saat jam istirahat kerja, tetapi kebanyakan sisanya ia berada di dorm dan Avina di rumah.


Avina terus memandangi layar informasi kedatangan kereta. Di pojok kanan bawah waktu menunjukkan tepat pukul tiga sore, yang berarti tiga puluh menit lagi kereta yang ditumpangi Dima akan tiba. Ia mengelap tangannya yang basah karena agak gugup, sementara itu di kereta, Dima menaruh ponselnya ke saku bajunya dan memejamkan mata, tetapi raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa ia senang sekali akan mengakhiri penantian panjangnya.


Kereta terus melaju dengan kecepatan tinggi, sementara hujan turun dengan deras. Derasnya hujan cukup untuk membuat orang-orang di dalam kereta membuka penutup jendela dan mencari tahu apa yang terjadi di luar. Orang-orang mulai berisik dan Dima terbangun dari tidurnya. Ia mengucek mata dan menarik tuas untuk membuka penutup jendela di kanannya. Hujan yang lebat disertai angin kencang membuat pemandangan di luar tidak begitu jelas, tetapi ia tahu bahwa benda-benda mulai beterbangan terbawa angin.


Ia mengecek ponsel dan mendapati bar sinyalnya kosong, jadi ia menaruhnya kembali ke saku. “Apa yang terjadi?” tanyanya ke penumpang lain. “Entahlah, baru saja terdengar teriakan dari gerbong sebelah, tetapi tidak ada yang tahu ada apa,” jawab salah satu penumpang. Dima yang tidak puas berusaha mencari jawaban ke penumpang lain, tetapi benar-benar tidak ada yang tahu. “Masinis mengumumkan agar semua penumpang tidak meninggalkan tempat duduk, apa kau tidak mendengar?” seseorang memperingatkannya ketika ia hendak meninggalkan tempat duduk untuk mencari jawaban.


Dima mulai gusar.


Ia kembali duduk dengan perasaan tidak tenang, sementara di stasiun, Avina sedang cemas karena pesannya ke Dima di Skype tidak terkirim, dan panggilan telepon pun tidak dapat tersambung.


Tiga puluh menit telah berlalu, tetapi notifikasi ketibaan kereta di layar informasi tidak juga muncul. Alih-alih, layar lebar itu malah mengumumkan “tunda” di sebelah kode nomor kereta, membuat Avina semakin cemas saja. Ia masih terus berusaha menelepon Dima meski ia tahu itu hanya akan berakhir sia-sia.


Sepuluh menit berikutnya berlalu, kereta tidak juga tiba, ia mulai panik, dan semakin panik ketika ia baru menyadari bahwa keadaan di dalam stasiun juga sedang tidak baik-baik saja. Semua orang di sana rupanya juga sedang panik. Ia mulai mencari pencerahan. Ia berjalan dengan mata berkaca menuju ruang informasi untuk mendapatkan penjelasan. Sebelumnya, suara pengumuman hanya terdengar memberitahukan bahwa kereta akan tiba telat dari jadwal karena kondisi cuaca yang sangat buruk. Cuaca buruk biasanya tidak sampai menghambat perjalanan sebuah kereta, tetapi sebegitu buruknya cuaca hari ini sehingga seperti itulah pengumuman yang terdengar, yang Avina tidak terlalu peduli pada awalnya.


Seisi stasiun penuh dengan kepanikan, dan Avina masih terus berusaha mencari jalan untuk menemukan jawaban.


Ia berjalan ke sana-kemari, tertabrak sana-sini oleh pengunjung lain yang juga sama paniknya. Mereka saling mengabaikan dan lanjut mencari jawaban. Hujan di luar terdengar semakin lebat dan angin cukup kencang, untungnya bangunan stasiun cukup kokoh dan luas sehingga cuaca buruk di luar tidak begitu berpengaruh di area dalam stasiun.


Ketika akhirnya Avina bertemu seseorang untuk dimintai keterangan, ia langsung terduduk lemas di lantai dan menangis tanpa suara. Kaca-kaca di matanya pun pecah dan jatuh sebagai titik-titik hangat. Sejak saat itu, Avina tidak pernah lagi bertemu Dima, dan senyum di wajahnya tak pernah sama lagi.

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.