Deja Vu
“Jika
besok kamu mati, apa yang akan kamu lakukan hari ini?”
Pertanyaan
itu diajukan oleh salah seorang teman ketika kami baru lulus dari SMA beberapa
tahun lalu. Pada waktu itu, aku sempat berpikir jika besok aku mati, maka hari
ini aku akan membuat persiapan untuk melakukan perjalanan ke tengah hutan yang
jauh dan tidak pernah didatangi seorang pun.
Intinya,
aku tidak ingin membuat orang kerepotan karena harus menguburkanku atau
membakar mayatku setelah aku mati. Agar orang-orang tidak kebingungan
mencariku, aku akan menulis surat yang menjelaskan semua itu pada mereka. Tentu
saja tanpa menyebutkan tempatnya.
Skenarionya
begini: Orang-orang akan terkejut pada awalnya, merasa tidak terima dan mencoba
mencari cara untuk menolongku, tetapi kemudian mereka tidak punya ide harus ke
mana, lalu mereka hanya bersedih dan mungkin menangis sejenak, lalu kembali
beraktivitas seperti tidak pernah terjadi apa pun dalam kehidupan mereka.
Pikiran
itu terus menetap di dalam kepalaku selama bertahun-tahun setelahnya. Bahkan
hingga kini ketika aku sudah lulus dari universitas dan bekerja di sebuah
perusahaan yang menggaji karyawannya cukup tinggi, tetapi juga memberikan
segudang pekerjaan yang mustahil membuatmu punya waktu yang cukup untuk
istirahat.
Aku
selalu berusaha menyisihkan gajiku setiap bulan agar kelak bisa keluar dari
perusahaan, lalu memulai usahaku sendiri dan jadi bisa punya lebih banyak waktu
untuk diri sendiri. Sayangnya, aku tidak begitu pandai dalam mengatur keuangan,
sementara di kota tempatku tinggal, biaya hidup terlampau tinggi. Jika tidak
ada kebutuhan mendadak dan mendesak, paling mentok aku hanya bisa menyisihkan
10% dari total gaji bulanan. Jika ada, tabungan itu mungkin habis dalam
sekejap.
Selain
tidak punya terlalu banyak waktu untuk istirahat, aku juga tidak punya banyak
waktu untuk mengunjungi keluarga atau untuk sekadar menari dan berjingkrak di
pesta malam bersama kawan-kawanku. Bahkan, tahun kemarin aku harus mengajukan
cuti hanya untuk bisa menemui ayahku yang kini sudah tinggal sendiri karena
istrinya melarikan diri bersama laki-laki yang 10 tahun lebih muda darinya.
Karena
pekerjaanku, aku jadi tidak punya teman dan sulit sekali untuk bisa berkencan
dengan perempuan. Bahkan, aku juga punya keyakinan bahwa jika aku mati kelak,
tidak akan ada orang yang mau mengurusi pemakamanku karena mereka tidak cukup
mengenalku. Hal itu membuatku sedikit stres dan kembali memikirkan pertanyaan
temanku beberapa tahun lalu: “Jika besok kamu mati, apa yang akan kamu lakukan
hari ini?”
Tanpa
berpikir lebih panjang, di tengah kekalutan, aku langsung mengemas pakaian. Aku
merencanakan pelarian ke tengah hutan dan akan mengakhiri hidupku di sana tanpa
ada seorang pun yang tahu. Karena aku tidak berniat hidup lebih lama lagi, aku
cuma membawa dua potong baju tanpa membawa celana ganti. Sisanya adalah makanan
instan yang kuperkirakan akan habis di perjalanan.
Beberapa
waktu yang lalu aku sudah mencari tahu tentang hutan-hutan yang ada di sekitar
kota ini, mulai dari lokasi, luas, hal-hal penting yang ada di dalamnya, dan
seberapa cepat aku akan ditemukan kalau-kalau ada yang kurang kerjaan masuk ke
hutan dan menemukan mayatku.
Sebelum
berangkat, aku mengambil kertas dan pulpen dan menuliskan tentang rencanaku.
Harapanku, seminggu atau lebih setelah aku menghilang, akan ada seseorang yang
datang ke apartemenku dan menemukan surat ini, dan pada saat itu aku sudah
mati.
Aku
menaruh surat itu di belakang pintu masuk, sehingga siapa pun yang pertama kali
membuka pintu itu akan langsung melihatnya dan mengetahui jawaban atas
pertanyaan “ke mana aku pergi?” tanpa harus menengok ruangan lain.
Aku
menaiki bus dengan perasaan bergairah. Aku tidak tahu kalau perjalanan
menuju mati bisa membuatku berdebar penuh gairah seperti ini. Aku seperti
akan bertemu dengan sesuatu atau seseorang yang sudah lama kunantikan.
Bus
cukup penuh tetapi kursi di sebelahku kebetulan kosong, jadi aku memutuskan
untuk tidur karena perjalanan akan memakan waktu 12 jam. Bus akan berhenti
tepat di jalan masuk hutan, dan aku harus melanjutkan perjalanan dengan
berjalan kaki masuk ke tengah hutan. Aku melirik jam di tangan ketika bangun
dan ternyata aku baru tertidur selama dua jam. Kursi di sebelahku sudah diisi
oleh seorang perempuan berambut pirang yang mengenakan earphone.
Badanku
sedikit menyentuh lengannya dan aku buru-buru membetulkan posisi. Ia menyadari
itu dan langsung melepas earphone-nya lalu tersenyum padaku.
“Tidurmu
nyenyak sekali,” katanya.
“Oh,
itu. Ya, aku memang sedikit kelelahan.”
Ia
tersenyum lagi. “Winda,” katanya, menyodorkan tangan.
Aku
menjabat tangannya. “Mike,” kataku. “Apa kau orang Jerman?”
“Ya.
Ibuku asli Jerman, tapi ayahku dari Belanda. Mereka berpisah 10 tahun lalu dan
aku ikut ibuku ke Jerman.”
“Tujuanmu
ke mana?”
“Aku
tidak tahu. Kau sendiri?”
“Ke
hutan.”
“Sendirian?”
“Ya.”
“Aku
tidak pernah tahu kalau ada orang yang suka menghabiskan waktu di hutan
sendirian.”
“Bisa
saja kalau tujuannya adalah menghabiskan hidup.”
“Maksudmu?”
“Lupakan.”
Obrolan
kami terus berlanjut, dan dari sini aku mengetahui bahwa Winda juga sedang
dirundung masalah berat, dan ia juga sedang dalam pelarian. Bedanya, ia belum
tahu ke mana tujuannya. Lalu pada satu titik dalam obrolan kami, aku memutuskan
tidak jadi ke hutan untuk mengakhiri hidup.
Setelah
bus melaju delapan jam, Winda turun dan aku meminta izin untuk ikut bersamanya.
Kami terus bersama setelahnya. Hari demi hari berlalu dan kami semakin mengenal
dan tahu satu sama lain. Aku jadi tahu kalau Winda pernah bekerja di kantor
yang lokasinya tepat di seberang kantor tempatku bekerja.
“Kurasa
aku pernah melihatmu, tetapi aku tidak yakin,” kataku pada suatu hari. Sudah beberapa
bulan berlalu sejak pertemuan di bus itu, dan kami belum pernah berpisah
sedetik pun. Kami berpindah-pindah dari satu desa ke desa lain, sampai akhirnya
kami menemukan sebuah desa kecil dan memutuskan untuk menetap di sana berdua.
Aku
membeli rumah kecil dengan sisa tabungan yang ada, dan mulai membaur dengan
penduduk setempat. Para penduduk desa yang tidak terlalu banyak itu cukup
senang dengan kehadiran kami. Winda yang pintar memasak mencetuskan ide untuk
membuka usaha, dan karena tidak ingin terlalu repot seperti jika membuka usaha rumah
makan yang besar, kami sepakat untuk membuat toko roti kecil saja.
Seiring
berjalannya waktu toko roti kami terus berkembang, desa mulai terisi rumah dan
rumah, dan tanpa begitu kusadari sepuluh tahun telah berlalu dan aku masih hidup.
Pertemuan tak sengaja dengan Winda waktu itu rupanya membawaku ke dunia yang
baru dan impianku untuk membuka usaha sendiri pun tercapai. Pada titik itu, aku
merasa sangat bersyukur dan merasa semesta benar-benar berpihak padaku.
Pada
suatu hari di musim panas, pelanggan toko roti kami sedang membludak sampai
kami kehabisan stok.
“Kami
akan buka lagi besok. Kami butuh istirahat,” kata Winda pada salah satu
pelanggan kami yang kehabisan itu.
Aku
bisa melihat Winda begitu lelah, jadi aku menyuruhnya istirahat lebih awal. Aku
menelepon toko tempat kami biasa membeli bahan baku, tetapi katanya karyawannya
sedang tidak masuk hari ini. Aku pun memutuskan untuk menjemput bahan bakunya
sendiri. Lagi pula, jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat kami tinggal.
Waktu
pergi, Winda masih tidur dan aku tidak ingin mengganggu istirahatnya. Jadi aku
menulis pesan di kertas dan menaruhnya di dekat lampu tidur.
Aku
kembali sejam kemudian dengan bawaan yang cukup banyak. Aku berteriak memanggil
Winda untuk membantuku tetapi ia tidak menjawab. Mungkin tidurnya masih
nyenyak, pikirku. Aku pun menurunkan barang-barang sendirian dan mencuci
tangan di wastafel toko setelahnya.
Setelah
itu aku masuk ke rumah untuk istirahat, tetapi begitu membuka pintu, aku
menemukan sepucuk surat tergeletak di lantai di belakang pintu. Aku mengambil
surat itu dan membukanya. Isinya sama persis dengan surat yang kutulis sepuluh tahun lalu ketika hendak menghakhiri hidup di tengah hutan.