Baru Saja Berakhir
Aku
dan Rio berteman sejak masih kecil. Rumah kami hanya berjarak satu blok,
sehingga kami sangat sering bersama. Aku dan Rio masuk ke SD, SMP, SMA, dan
kampus yang sama meski beda kelas. Ia adalah teman yang royal juga loyal.
Ketika
SD, aku selalu membonceng di sepeda Rio dalam perjalanan pulang dan pergi ke
sekolah. Keluargaku biasa saja, sementara Rio berkecukupan. Ayahnya punya usaha
yang cukup berkembang di tengah kota. Namun, status itu tidak membuat aku dan Rio
berjarak. Kami justru berteman baik, dan kedua orangtuanya juga tidak pernah
mempermasalahkannya.
Dikarenakan
tubuhku kurus dan pendek, ketika masuk SMP aku sering diganggu kakak kelas, dan
Rio yang selalu membelaku. Kadang kami menang, tapi lebih sering babak belur
karena tubuh Rio juga tidak bisa dibilang ideal meski tidak juga sekecil
badanku. Sekali waktu uang kami pernah dipalak habis oleh preman ketika pulang
sekolah. Aku menangis karena kebingungan bagaimana caranya bisa dapat uang
lagi, dan besoknya Rio mengganti uangku dua kali lipat.
Sewaktu
baru masuk SMA dan mulai tertarik dengan lawan jenis, aku dan Rio sempat
berselisih karena secara kebetulan kami menyukai perempuan yang sama. Namanya Aiko,
perempuan asal Jepang berkulit putih mulus dengan aksen yang bisa membuat lawan
bicaranya klepek-klepek. Rio termasuk orang yang klepek-klepek karena aksen
itu. Aku sendiri, lebih menyukai Aiko karena kepintarannya. Tentu saja aku juga
mengakui kecantikannya, dan aksennya bagus juga, tetapi aku tau ada Melisa atau
Carmen yang tidak kalah cantiknya dari Aiko, dan aku tidak tertarik pada mereka
karena secara akademik mereka biasa saja.
Melisa
dan Carmen sekelas dengan Rio, sementara aku satu kelas dengan Aiko. Rio sering
bolos bersama Melisa dan Carmen, sementara aku dan Aiko bersaing di kelas untuk
menjadi juara kelas. Pada tahun terakhir sekolah, aku akhirnya berhasil
mengalahkan nilai Aiko setelah dua tahun berturut-turut aku hanya bisa finis di
belakangnya.
Pada
tahun terakhir itu pula, aku memberitahu Rio kalau aku menyukai Aiko dan aku
akan menyatakannya. Rio akhirnya mengaku bahwa ia juga menyukai Aiko, tetapi ia
mendukungku karena merasa ia tidak akan punya kesempatan. Aku mengerti raut
wajah kecewa Rio, tetapi sebagai kawan, ia benar-benar suportif dan penuh
simpati.
Karena
sudah dekat dengan Aiko sejak awal, tidak butuh waktu lama untuk ia memberikan
jawaban dan kami pun resmi berpacaran.
Aku
dan Aiko melanjutkan kuliah di kampus yang sama. Kami mengambil Jurusan
Matematika, sementara Rio mengambil Jurusan Ilmu Sejarah. “Aku tidak pernah punya
ketertarikan lebih pada Matematika,” katanya.
Aku
berpacaran dengan Aiko pada tahun terakhir sekolah hingga lulus kuliah.
Persahabatanku dengan Rio pun bisa dibilang baik-baik saja. Kami hampir tidak
pernah cekcok, dan aku sering mengajaknya nongkrong bertiga dengan Aiko.
Kadang-kadang, aku meminta izin pada Aiko agar aku bisa berdua saja dengan Rio.
Aku dan Rio sering menghabiskan waktu berdua di rumahnya untuk bermain gim,
atau mendaki gunung saat akhir pekan. Sebenarnya aku beberapa kali mengajak Aiko
ikut, tetapi naik gunung bukanlah kegemarannya. Ia benar-benar akademisi
sejati.
Setelah
kelulusan di kampus, aku mengajak Aiko ke luar kota untuk merayakan kelulusan
kami, tetapi ia harus kembali ke Jepang untuk menemui keluarganya sebelum
kembali lagi ke sini untuk menetap. Aku menyetujuinya dan Rio menemaniku
mengantar Aiko ke bandara. Besoknya, aku dan Rio merencanakan untuk naik gunung
lagi. “Aku ingin menikmati ini sebelum mulai memasuki dunia kerja,” kataku.
Kata dia, “Kau tetap bisa melakukannya saat akhir pekan.” Aku jelaskan kalau
aku akan lebih memilih tidur dan istirahat atau pergi dengan Aiko pada akhir
pekan daripada harus naik gunung. “Kecuali Aiko mau ikut mendaki gunung,”
kataku.
Kami
pun mulai mendaki gunung seperti yang biasanya kami lakukan. Hanya semalam, dan
tidak ada yang istimewa. Semua berjalan lancar sesuai rencana, sampai ketika di
perjalanan pulang kakiku terpeleset, dan ponsel yang sedang kugunakan merekam
perjalanan kami terjatuh dan layarnya retak. “Kau baik-baik saja?” tanya Rio,
tetapi sepertinya kakiku terkilir dan Rio harus memapahku hingga ke kaki
gunung.
“Kurasa
akan butuh beberapa minggu sampai benar-benar sembuh,” kataku.
“Tenang
saja, masih ada waktu sampai kau mulai masuk kerja.”
“Apa
menurutmu kantor akan memecat karyawan yang jalannya pincang pada hari pertama
kerja?”
“Kurasa
tidak,” sangkal Rio. “Kecuali kau berjalan terpincang-pincang sambil memaki
atasanmu.”
Rio
dan aku tertawa. Kami berhenti di bawah sebuah pohon besar di kaki gunung. Kami
duduk dan aku memeriksa ponselku. Retakan layarnya cukup parah dan sepertinya
tidak bisa kugunakan untuk sementara.
“Boleh
aku pinjam ponselmu?” tanyaku pada Rio. Ia menatapku dengan sedikit ragu. “Aku
hanya ingin menghubungi Aiko dan memberitahukan hal ini agar dia tidak
khawatir. Kau punya nomor ponsel dia, kan?”
Rio
memberikan ponselnya. Aku menggulir daftar kontak mencari nama Aiko. Panggilan
tersambung dan langsung diangkat.
“Hai,
Honey! Apa kau sudah pulang? Aku rindu sekali padamu!” kata suara di seberang
sana. Aku terdiam dan memandangi Rio.
“Rio?”
kata suara di seberang telepon lagi.
Aku
tidak menjawab dan langsung menyerahkan ponsel itu kepada Rio. Hari ini, dua
hubungan baru saja berakhir.