Eria
Tema tulisan ini ditentukan oleh pembaca yang pernah berdonasi ke gue lewat Saweria.
Kereta
dari Bandung ke Jakarta malam ini tidak sepadat biasanya. Gerbong pertama terasa
lowong dan aku bisa dengan leluasa melihat kepala penumpang-penumpang lain dari
tempat dudukku, dan kuhitung hanya ada sembilan atau sepuluh kepala di
gerbongku. Kulirik jam tangan ketika kereta mulai berjalan, pukul 19.25. “Tepat
waktu,” gumamku.
Aku
duduk di kursi bagian kanan paling belakang, dan aku duduk di sebelah luar
meski kursi sebelahku kosong. Aku mengambil earphone dari dalam tas dan ingin
mulai mendengarkan lagu lewat smartphone, gadget yang selama ini menunjang gaya hidupku, tetapi kubatalkan ketika kepala seseorang dari tiga
kursi di depanku tidak sengaja menoleh ketika mengambil sesuatu dari dalam tasnya
yang ia taruh di bawah kursi. Tidak mungkin salah, itu adalah Eria, mantan
pacarku di Jakarta yang kutemui di tempat yang tidak akan pernah kalian
bayangkan sebelumnya. Akan kuceritakan bagaimana kami bertemu, tapi sekarang
aku ingin menghampirinya dulu, mumpung kursi di sebelahnya juga sedang kosong.
“Eria?”
kataku begitu berdiri di sampingnya.
“Eh?
Hei!” Ia langsung memelukku bahkan tanpa sempat menyebutkan namaku.
“Masih
inget sama gue kan?” aku bertanya.
“Masih
dong!” serunya. Ia lalu mempersilakanku duduk di sebelahnya. “Ke Jakarta? Mau ngapain?
Bukannya udah enggak kerja di Jakarta?”
Aku
menjelaskan bahwa aku ke Jakarta untuk bertemu seseorang. Seseorang yang baru aku
kenal dan ini akan jadi pertemuan pertama kami. Sebelumnya, kami hanya saling
kenal lewat media sosial. “Tapi ketemunya masih besok, sih. Cuma berangkat sekarang
karena ketemunya besok pagi banget, jadi biar keburu. Lo sendiri, habis ngapain
di Bandung? Masih kerjaan yang sebelumnya kah?”
Bibir
Eria membentuk senyum simpul, aku terkekeh dan membayangkan sekelebat kenangan
tiga tahun silam ketika bertemu dengannya pertama kali di Jakarta.
Aku
baru tiga bulan bekerja di Jakarta ketika Dimas, seorang teman kantor, mengajakku
“nongkrong” di Jalan Pangeran Tubagus Angke. Aku tidak tahu ada apa di sana,
atau tempat apa itu. Aku hanya mengikut Dimas karena dia bilang, “Tempat buat
hepi-hepi, ayo ikut aja!”
Karena
waktu itu penasaran dan tidak ada agenda ke mana-mana juga selepas jam kantor,
aku pun mengikut. Begitu memasuki area Jalan Pangeran Tubagus Angke di Jakarta Barat,
aku mulai melihat banyak perempuan berdiri di pinggir jalan dengan dandanan
menor, atasan dan bawahan yang sama minimnya, dan kondisi jalanan yang
remang-remang. Dimas menghentikan mobilnya di salah satu sudut jalan, dan tiga perempuan
menghampiri kami. Dua perempuan berusia sekitar 40-an kulihat berbicara dengan
Dimas sambil bisik-bisik, sementara yang satu lagi hanya berdiri dengan
malu-malu. Kuperkirakan waktu itu usianya masih di bawah 20 tahun.
Ketika
baru memasuki jalan ini, sebenarnya aku sudah mulai mengerti maksud Dimas
mengajakku datang ke sini, tetapi aku diam saja. Lagi pula, aku juga bukan
orang yang polos-polos amat meski tidak pernah ke tempat seperti ini. Bukan karena
aku sok suci atau apa, aku memang hanya tidak tertarik untuk bercinta kilat
dengan orang yang tidak aku kenal, apalagi jika harus bayar. Lebih baik aku
sisipkan uang untuk membayar kosan dan menonton video Hentai di smartphone saja
sebagai gantinya daripada harus datang ke tempat seperti ini.
Setelah
Dimas berunding dengan mereka, dua orang naik ke mobil. Salah satunya adalah
perempuan yang diam tadi. “Kita ke hotel aja. Lu mau kan?” tanya Dimas padaku.
“Sekamar
berempat?”
“Ya
elah, tenang aja. Gue booking dua kamar.”
Aku
mengangguk dengan muka datar. Sebenarnya, sekarang aku lebih ingin ada di kamar
kosku dan beristirahat. Namun entah kenapa, aku tetap ikut dan menuruti Dimas
malam itu. Hm, mungkin karena semua biaya ditanggung Dimas.
Aku
melirik perempuan itu dari spion tengah mobil, ia masih duduk diam dan menaruh
kedua tangan di paha.
Tiba
di hotel, Dimas benar membooking dua kamar yang saling berhadapan. Kami berempat
naik ke lantai lima hotel lewat lift. “Gue sama yang ini, ya. Gue suka yang
MILF soalnya,” kata Dimas begitu tiba di depan kamar. Ia menarik perempuan
berusia 40-an itu ke kamarnya. Sementara itu, perempuan yang satu lagi masih
saja diam. Ia membuka kamar kami karena ia yang memegang kunci. Begitu masuk,
ia duduk di kursi dan memandangiku dalam diam. Aku melepas sepatu dan mencuci
muka di kamar mandi. Setelahnya, aku membuka kemeja sehingga tersisa kaos di
badan, lalu rebahan di kasur. Perempuan tadi meningalkan kursinya dan duduk di kasur
menghadap ke jendela.
“Kenapa
lo diem aja dari tadi?”
Ia
menoleh, menggeleng, dan mukanya terlihat sedikit bingung.
“Oh,
gue tau. Ini hari pertama lo, ya?” Dia mengangguk. “Tenang aja, gue ke sini cuma
buat nemenin temen gue yang di kamar sebelah. Gue enggak pengen having sex. Gue
pengen tidur aja. Gue capek, baru pulang dari kantor. By the way, nama lo
siapa?”
“Eria,”
jawabnya agak takut.
“Eria,”
ulangku. “Nama yang bagus.”
Agar
suasana tidak canggung, aku membuka percakapan dan menanyakan banyak hal dari
mulai yang umum sampai yang sifatnya personal. Rupanya, dia tidak sependiam
itu. Dalam beberapa jam saja, aku merasa sudah menyukai perempuan ini. Kami benar-benar
hanya mengobrol sampai aku tertidur karena ngantuk berat, dan aku menyempatkan
memberi pengakuan bahwa aku menyukainya sebelum aku terlelap tidur, dan hal
terakhir yang aku ingat pada pagi harinya adalah Eria bilang, “Tolong transfer
ke rekening gue aja ya, gue butuh uang soalnya,” sebelum kami berpisah di lobi
hotel.
Begitulah
aku bertemu dengan Eria pertama kali, bertemu lagi sekali sebulan kemudian,
berpacaran, dan putus setelah setahun karena sebab yang sangat konyol.
Pukul
22.02 dan kereta baru saja berhenti di Stasiun Gambir. Aku kembali ke kursiku
untuk mengambil tas lalu turun Bersama Eria. “Lo pulang ke mana?” tanyaku.
“Belum
tau sih. Lo sendiri nginap di mana?”
“Gue
mau ke hotel sih. Udah booking di deket sini. Tinggal naik ojek online, paling
beberapa menit nyampe.”
“Kalau
gue ikut ke hotel lo aja, gimana?”
“Eh?”
“Gimana,
boleh apa enggak?”
“Bo-boleh-boleh
aja sih.”
“Ya
udah, gue aja yang pesen taksi online.”
Sekitar
lima menit kemudian kami sudah ada di dalam mobil menuju hotel. Dan lima menit
setelahnya kami sudah ada di lobi hotel. Salah seorang petugas hotel menemani
kami menuju kamar lalu meninggalkan kami setelah aku memberi uang tip yang cukup
banyak.
Setelah
kami di kamar, aku melepas sepatu dan mencuci muka di kamar mandi. Eria duduk
di kasur dan menyalakan televisi. Aku kembali dari kamar mandi dan langsung
rebahan di kasur. Aku mengambil smartphone dan mengabari kenalanku bahwa aku
sudah tiba di Jakarta. Kami mengobrol sebentar lewat telepon dan memastikan
tempat ketemuan kami besok pagi. Begitu telepon ditutup, seseorang mengetuk
pintu kamar. Eria membuka pintu dan mengambil empat botol minuman keras yang
dibawakan oleh petugas hotel. Aku memandangi Eria dengan penuh pertanyaan, dan
ia menjawab, “Oh, gue yang pesen waktu lo di kamar mandi tadi.”
Aku
membuka tutup botol dan meminum sedikit lalu melanjutkan obrolan dengan Eria
yang sempat tertunda di kereta.
Aku
mengutarakan ke Eria bahwa selepas putus dengannya, aku belum pacaran lagi. Bukan
karena aku tidak bisa move on darinya, melainkan karena aku ingin fokus ke
kerjaan dulu. Lagi pula, aku masih kesal dengan Eria ketika kami akhirnya harus
putus.
“Ya
namanya juga kerjaan,” respons Eria sambal tertawa.
Setelah
mengobrol entah berapa lama dan botol minumanku sudah tandas, aku membuka baju
karena kegerahan. Eria yang hanya minum sedikit ikut-ikutan membuka bajunya. “Ngapain
lo buka baju?” tanyaku. “Gerah,” jawabnya. Karena aku kegerahan dan sudah
sedikit oleng, aku pun tidak peduli dan hanya berusaha menyandarkan kepalaku
yang berat ke bantal hingga akhirnya aku tidak lagi sadar.
Pagi
harinya, aku dibangunkan oleh smartphone-ku yang berbunyi terus-menerus. Aku bangun
dengan buru-buru dan kulihat Eria sudah tidak ada. Botol bekas minum semalam
tergeletak begitu saja di lantai. Aku mengangkat telepon dari kenalanku dan ia
marah karena sudah menunggu lama di lokasi janjian. Kulihat jam di smartphone,
ternyata sudah pukul sepuluh pagi.
“Iya,
tunggu sebentar ya. Ini mau cuci muka dulu baru ke situ.”
Aku
masih berusaha agar bisa tetap bertemu dan aku buru-buru mencuci muka ke kamar
mandi. Ketika masuk, aku menemukan selipat kertas di depan wastafel.
"Tolong transfer ke rekening gue ya, gue butuh uang soalnya. –Eria."
Dan
begitulah aku dan Eria putus; ia melakukan hal yang sama hampir setiap bulan bersama
Dimas selama setahun ketika sedang berpacaran denganku.