24



Aku baru saja melompat dari gedung setinggi 24 lantai, tetapi aku tidak mati. Bukannya mati, aku malah merasa lebih sehat dari sebelumnya. Karena itu, aku akhirnya berjalan menyusuri trotoar tanpa tujuan sampai akhirnya sesuatu menarik perhatianku.

Di seberang jalan berdiri sebuah toko dengan angka 24 pada salah satu kacanya yang kelihatannya cukup sepi. Dari luar aku hanya melihat dua orang pria—satu berdiri di belakang mesin kasir, satu lagi sedang memindahkan barang dari rak ke keranjang belanja. Aku menyeberangi jalan yang juga cukup sepi dan memasuki toko itu. Tidak ada yang menyambutku. Si kasir bahkan tidak menatap ke arahku. Alih-alih, ia sibuk memandangi layar monitor di depannya sembari tersenyum-senyum, seperti sedang memandangi kekasihnya yang telanjang di layar besar.

Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan, jadi aku berusaha mencari pria yang sedang berbelanja tadi untuk mengajaknya mengobrol. Akan lebih baik jika ia bisa menjawab kebingunganku.

Jarakku dengan pria itu hanya sekitar tiga meter lagi ketika aku melihat di balik sweater birunya menonjol sesuatu yang kuyakini adalah sebuah pistol. Maka, aku berbalik untuk mengambil keranjang belanja dan memasukkan barang-barang ke keranjang seperti yang sedang dilakukannya.

Belanjaannya banyak sekali, dan aku cukup yakin ia berencana mencuri semua barang-barang itu. Aku mengisi keranjangku pelan-pelan sambil mendekat padanya. Ia sama sekali tidak menaruh curiga padaku.

“Belanja bulanan?” tanyaku.

Ia sedikit terkejut. Atau mungkin panik, entahlah. “Eh? Yeah. Sudah jadi kebiasaan setelah gajian,” jawabnya.

“Gajimu pasti banyak.”

“Maaf?”

“Belanjaanmu banyak sekali. Kau pasti membawa banyak sekali uang di sakumu.”

Ia terlihat semakin panik, terutama karena jarak kami tidak lagi sampai sejengkal.

“Bukan urusanmu!” suaranya meninggi.

Dalam sepersekian detik aku meraih pistol di balik sweater-nya dan berhasil mengarahkannya ke wajah penuh brewok itu tanpa perlawanan yang berarti.

Ia mengangkat tangan. “Apa masalahmu?” Aku menyuruhnya berjalan mundur hingga mendekati mesin kasir. Dua orang berjalan masuk ke toko, tapi segera membatalkan niat itu ketika melihatku memegang pistol dan lari terbirit-birit.

Pria muda di balik meja kasir hanya mematung melihatku mengarahkan pistol. “Jangan diam saja, telepon polisi!” teriakku. Ia pun menelepon polisi dengan tangan gemetaran dan kembali mematung setelahnya.

“Dengar,” kataku pada pria pemilik pistol. “Aku baru saja lompat dari gedung setinggi 24 lantai dan aku masih hidup. Barangkali kau sudi menjelaskan kenapa hal itu bisa terjadi?” Pria itu menggeleng, masih dengan kedua tangan di udara. “Kalau kau tidak mau menjawab, akan kuledakkan kepalamu.”

“Aku tidak tahu, sungguh!”

“Dan kalau jawabanmu tidak memuaskan, akan kuledakkan kepalamu dua kali.”

“Tidak, tolong, jangan. Aku punya anak dan mereka membutuhkanku.”

“Kalau begitu jelaskan kenapa aku masih hidup setelah melompat dari gedung setinggi 24 lantai?”

“Karena kau gila, Tuan.” Pria di balik kasir tiba-tiba menjawab dengan terbata. Aku menyuruh pria pemilik pistol untuk mundur sampai jarak mereka berdua hanya dipisahkan meja kasir.

“Gila?” gumamku.

“Yeah, karena kau gila,” katanya lagi.

“Aku tidak gila. Aku baru saja menyelamatkan tokomu dari perampokan. Orang ini, dia akan merampok tokomu dan yang kau lakukan hanya memandangi layar bodoh itu!” Aku mengarahkan pistol ke kasir. “Pistol ini, pistol ini miliknya.”

“Aku minta maaf,” katanya lalu kembali terdiam dan mematung. Ia ikut-ikutan mengangkat tangan ke udara.

Suasana hening sepersekian detik sebelum akhirnya kami dikagetkan suara tembakan dari pelatuk pistol yang tidak sengaja kutarik. Tembakan itu tepat mengenai kepala si pria di belakang meja kasir dan memuncratkan darah ke udara. Ia tersungkur ke lantai dan tidak lagi bersuara setelahnya.

Aku kaget bukan main, sedikit panik, tetapi langsung menodongkan pistol kembali ke pemiliknya. “Beritahu aku, apakah dia mati?”

Sambil mengangkat tangan, pria itu menengok ke dalam ke balik meja kasir. “Kau tepat mengenai kepalanya. Kau memang gila!” teriaknya dengan penuh ketakutan. Aku menyuruhnya berdiri tegak dan diam di tempat. “Dengar,” kataku. “Aku tidak pernah membunuh orang seumur hidupku. Aku tidak pernah merampok. Aku tidak pernah berbuat jahat hingga harus berurusan dengan polisi. Kau percaya padaku?” Pria itu mengangguk dengan terpaksa. Aku menyuruhnya minggir dan memeriksa pria kasir itu sendiri. Darah memenuhi lantai dan kepalanya bocor dan mulut serta matanya terbuka. Sungguh cara mati yang tidak mengenakkan, gumamku.

“Kau punya pemantik?”

Pria itu menunjuk rak di belakang kasir dengan was-was. Aku mengambil pemantik dan menyalakan rokok yang kuambil dari saku baju si pria di balik meja kasir yang malang. “Duduk,” kataku. Pria pemilik pistol duduk di lantai dengan segera, dan aku mengikutinya.

“Kau tahu sekarang jam berapa?”

Ia melirik arlojinya. “Dua belas.”

“Kau tahu hari apa ini?”

“Selasa.”

“Tanggal berapa?”

“Dua puluh empat.”

Aku mengisap rokokku sekali untuk setiap pertanyaan yang kuajukan.

“Kau tahu kenapa aku melompat dari gedung setinggi dua puluh empat lantai pada tanggal dua puluh empat?”

Ia menggeleng.

Aku mengisap rokokku lalu, lalu menyuruhnya berdiri. “Sebaiknya kau tidak usah tahu,” kataku. Belum lagi ia berdiri dengan sempurna, aku menekan pelatuk pistol untuk kali kedua dan tepat mengenai kepalanya. Ia tersungkur dan darah memuncrat membanjiri lantai toko. Darahnya bahkan lebih banyak dari yang dihasilkan pria malang di balik meja kasir tadi. Kini keduanya tidak lagi bernyawa dan tidak ada orang lagi yang bisa kuajak mengobrol.

Akhirnya aku memutuskan menunggu seseorang lain masuk ke toko untuk aku ajak mengobrol. Aku menunggu selama hampir satu jam tetapi tidak ada yang datang. Tidak juga dengan polisi. Malam semakin larut, dan aku pun memutuskan untuk meninggalkan toko ini. “Hei, kalian,” kataku sambil berdiri. “Aku akan keluar untuk mengobrol dengan seseorang. Kalian mau ikut?”

“Tidak, aku tidak akan ikut karena kau gila!” teriak salah satu mayat.

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.