Kutukan
Namaku
Suhartini. Aku adalah istri dari seorang petani bernama Sulaiman. Kami tinggal
di sebuah desa yang penduduknya paling banyak seingatku adalah 31 kepala
keluarga. Tadinya kami tinggal bertiga di sebuah rumah kayu yang dikelilingi
pohon-pohon bambu dan tanah-tanah persawahan.
Kami
punya anak bernama Akbar yang seharusnya sekarang sudah berumur sebelas tahun,
tetapi ia meninggal ketika usianya masih tujuh tahun karena malaria. Ia bukan
satu-satunya anak yang meninggal ketika wabah terkutuk itu menyerang desa kami
kala itu. Ada banyak orangtua yang kehilangan anaknya, tetapi suamiku
satu-satunya yang tidak mau punya anak lagi untuk sementara waktu setelah
kematian Akbar. Selain karena kondisi ekonomi kami tidak begitu baik, aku sudah
tiga kali keguguran. Sempat aku berpikir bahwa ini termasuk bagian dari wabah
mematikan lainnya, tetapi kemudian aku berpikir bahwa sepertinya aku memang
dikutuk, terutama setelah mengetahui bahwa orangtua-orangtua lain yang dulu juga
kehilangan anaknya sekarang sudah memiliki anak yang sedang lucu-lucunya.
Karena
kami tidak lagi mengurus anak sejak kematian putra satu-satunya, sepulang dari bertani
suamiku banyak menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak masuk akal. Salah
satunya adalah membuat lubang yang sangat besar tepat di sebelah meja makan. “Ini
adalah ruang rahasia,” katanya. Ketika kutanya untuk apa aku harus menggunakan
lubang itu, ia menjawab nanti akan ada keadaan darurat dan aku akan menggunakan
lubang itu untuk sembunyi.
Tentu
saja aku tidak mengerti maksudnya. Aku tidak pernah melihat suamiku berselisih
dengan orang lain, tidak pernah tahu bahwa dia punya musuh. Rumah kami memang sangat
jarang dikunjungi orang lain dari desa ini, tetapi mereka juga bukan musuh
kami. Pernah sekali ia berselisih dengan salah seorang dari desa ini, tapi
sungguh itu bukan masalah yang harus membuatku mendekam di lubang mirip kuburan
itu. Aku tidak setuju dengan lubang besar yang bisa memuat sampai lima orang
dewasa itu, tetapi aku juga tidak punya kuasa untuk melarangnya. Aku sempat
mengira bahwa ia menjadi gila setelah melihat anaknya mati dan menghadapi
kenyataan istrinya keguguran tiga kali, tetapi aku tidak melihat hal lain
berubah dari suamiku selain kebiasaannya membuat hal-hal baru—yang harus kuakui
memang hanya terpikirkan oleh orang-orang gila. Jadi, aku biarkan saja.
Suatu
hari pada musim kemarau yang berkepanjangan, suamiku pamit untuk mencari nafkah
di desa seberang. Hasil panen di sini tidak bisa diharapkan sebab hampir
semuanya gagal, dan itu berarti kami tidak bisa makan. “Aku akan kembali dalam
tiga bulan lagi,” katanya saat berpamitan lalu mencium keningku. Ia pergi
dengan bekal seadanya. Dan, mulai hari itu, aku tinggal sendirian di rumah kayu
ini.
Hari-hari
berlalu dan berjalan seperti biasa. Aku menghitung hari kepergian Sulaiman. Aku
menghabiskan hari-hari merindukannya. Kadang-kadang aku tidak bisa tidur,
kadang menghabiskan satu malam penuh menangisi hal-hal dari masa lalu, terkadang
aku mimpi buruk hingga berkeringat dingin, dan tidak jarang pula aku berteriak
memaki nasib yang terasa seperti kutukan ini.
Pada
bulan kedua kepergian suamiku, aku mual setengah mati dan muntah banyak sekali,
dan pada bulan ketiga kurasakan sesuatu bergerak di dalam perutku. Aku mendatangi
seorang dukun anak di desa ini dan dengan riang ia mengatakan aku hamil. Aku tersenyum
lebar sekali pada dukun itu, tetapi segera setelah tiba di rumah aku menangis
sejadi-jadinya. Aku khawatir aku akan mengalami keguguran seperti sebelum-sebelumnya.
Lebih dari itu, aku khawatir ayah dari bayi yang sedang kukandung ini tidak
akan pernah kembali seperti yang ia janjikan. Namun, aku berusaha menepis
keraguan itu dengan tetap menghitung berapa lama suamiku telah pergi, dan
selalu menyempatkan untuk mendoakan yang terbaik untuknya.
Tiga
bulan kini sudah lewat tiga hari. Suamiku belum juga kembali, dan tiada kabar
apa pun yang aku peroleh. Aku mulai meracau dan bersedih lebih dalam dari
sebelumnya. Malam ini harusnya dia sudah malam keempat ada di rumah, tetapi aku
masih saja sendiri. Aku sempat berpikir untuk tidur di ruang rahasia yang ia
buat dan menunggu di bawah sana hingga mati membusuk, tetapi begitu aku
membukanya dengan sekuat tenaga, aku tidak tahan dengan baunya jadi aku
mengurungkan niat itu.
Aku
akhirnya tidur di kamar dan berharap esok pagi ia datang membangunkanku bersama
dengan kabar baik lainnya.
Hari
esok tiba, ia belum juga pulang. Kini harapanku semakin menipis. Kali ini aku
tidak berharap ia membawa kabar baik. Kali ini aku hanya berharap ia pulang
dengan selamat, tetapi hingga tiga minggu berikutnya ia tetap tidak muncul.
Kerinduanku
berubah menjadi kemarahan, dan akhirnya untuk pertama kalinya aku berharap agar
ia mati saja. Perutku semakin membesar dan apa yang ditinggalkan suamiku untuk aku
bertahan hidup tinggal sedikit, maka aku memutuskan akan melakukan sesuatu esok
hari. Aku mulai membereskan pakaian dan berencana menyusulnya ke desa seberang.
Setelah mengepak pakaian dan beberapa barang lain, aku makan malam dan
ketiduran di meja makan. Entah karena kecapaian, entah karena terlampau marah. Mungkin
keduanya.
Ketika
subuh menjelang, aku terbangun karena tiba-tiba saja di luar aku mendengar
suara orang-orang desa berteriak dan semakin mendekat. Aku bangkit dan
mengintip dari jendela, kulihat cahaya dari obor yang mendekat disertai dengan
teriakan “kejar”, “tangkap”, dan “jebak” bersahut-sahutan di sana. Aku tidak
tahu apa yang sedang terjadi, tetapi aku juga tidak ingin keluar di subuh yang
masih gelap gulita seperti ini.
Aku
membalik badan bermaksud menuju kamar untuk melanjutkan tidur, dan tiba-tiba
saja seseorang menggedor pintu depan dengan sangat kencang. Ia berteriak minta
tolong dan aku bisa merasakan ketakutan dari suaranya.
Tanpa
rasa takut atau apa pun, aku membuka pintu. Begitu terbuka, aku melihat sosok
laki-laki berkaus putih polos dengan brewok yang tidak terurus, melihatku
dengan ketakutan dan meminta pertolongan.
“Kamu
pasti maling!” teriakku.
“Tidak.
Saya bukan maling. Sumpah. Tolong saya!”
“Lalu,
apa di tanganmu itu?”
Ia
memegang sebuah peti kecil yang kurasa isinya adalah emas dari kerajaan entah
siapa.
“Sungguh,
ini bukan emas seperti yang kamu pikirkan. Tolonglah.”
Aku
mengintip ke jendela sekali lagi dan obor-obor tadi sudah sangat dekat, begitu
juga dengan teriakan orang-orang yang membawa obor. Aku tahu orang ini dikejar
karena melakukan kesalahan, tetapi dari jawabannya aku cukup yakin dia memang
bukan mencuri emas dari kerajaan apa pun. Mungkin mahkota kerajaan,
pikirku.
“Baiklah,
tapi jangan bersuara,” kataku.
Ia
membantuku membuka lubang rahasia yang dibuat suamiku dan kusuruh ia masuk dan diam
seribu bahasa setelah aku melemparkan bantal kepadanya. “Jangan bersuara sampai
aku mengetuk lubang ini tiga kali sebagai tanda.” Ia mengangguk paham.
Orang-orang
yang mengejarnya akhirnya tiba beberapa saat kemudian. Tiga orang masuk,
bertanya, dan memeriksa sudut-sudut ruangan. Beberapa orang lainnya menunggu di
luar, dan beberapa lagi terus mengejar ke arah yang lain.
Di
antara tiga orang yang menggeledah rumahku, salah satunya aku kenal. Ia adalah
Yanto, lelaki desa yang pernah sedikit berselisih dengan suamiku karena memaksanya
meminum tuak, tetapi sungguh aku tahu suamiku sudah berdamai dengannya. Lagi pula,
itu sudah bertahun-tahun lalu.
“Kamu
yakin tidak melihat atau mendengar orang lari ke arah sini?” tanyanya.
“Tidak.
Sama sekali. Aku tertidur di meja makan. Aku berencana menyusul suamiku ke desa
seberang pagi ini, dan aku kecapaian jadi tidak menyadari apa pun sampai kalian
datang.”
Yanto
dan dua orang lagi tiba-tiba saja berhenti beraktivitas dan memandangi wajahku
dengan kaget. Aku tidak tahu kenapa mereka sekaget itu, tetapi kurasa karena
mereka akhirnya menyadari suamiku tidak di rumah.
Akhirnya
mereka pun pergi tanpa berkomentar. Setelah aku memastikan tidak ada lagi orang
di sekitar rumahku, aku mengetuk lubang rahasia tiga kali dan lelaki itu
membuka pintu lubang dari bawah. Ia segera keluar dan kulihat ia ingin muntah
tapi ditahan.
“Aku
hampir mati di bawah sana saking baunya,” katanya dengan napas masih
tersengal-sengal.
“Aku
baru saja menyelamatkan nyawamu.” Aku menyuruhnya duduk. “Sekarang beritahu aku
kenapa mereka mengejarmu sepagi buta ini. Apa karena kotak itu?”
“Ya,
karena kotak ini.”
“Kalau
begitu perlihatkan padaku apa isi kotak itu.”
Ia
terlihat sangat ragu, tetapi aku mengancamnya. “Kalau tidak, orang-orang tadi
akan menangkapmu segera. Aku kenal mereka.”
Aku
tahu di luar masih tidak aman, dan ia juga tahu, pergi sekarang berarti bunuh
diri. Maka ia pun memutuskan untuk memperlihatkan isi kotak misterius yang
membuatnya dikejar-kejar. “Tapi jangan kaget,” katanya. Aku mengangguk tidak
sabar.
Ia
membuka kotak usang itu dan betapa kagetnya aku ketika yang ia perlihatkan
padaku adalah kepala manusia. Kepala Sulaiman. Kepala suamiku. Seketika itu juga
aku berharap ini bukanlah bagian dari sebuah kutukan.