Erina
Aku
mengangkat koper dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Ada dua koper. Satu
koper cokelat kepunyaan Erina, dan satu lagi koper hitam kepunyaanku.
Setelah
itu aku melambaikan tangan ke kedua orangtua Erina tanda pamit, lalu masuk ke
mobil. Erina menyusul setelahnya. Ia yang menyetir, dan tujuan kami adalah
stasiun kereta api yang berjarak cukup jauh dari sini. Kata Erina, kalau
jalanan sedang lengang, bisa ditempuh dalam satu jam. Kalau sedang apes, kadang
bisa seharian penuh.
Namun untuk mengantisipasi keapesan itu, kami berangkat
lebih cepat. Kereta baru akan berangkat pukul lima sore, dan kami sudah berada
di jalan pukul dua saat kulirik arloji di tangan.
Mobil
sudah melaju sekitar dua puluh menit, dan belum ada sepatah kata pun yang
keluar dari mulut kami. Tidak ada suara musik juga, dan aku masih belum tahu
harus melemparkan kalimat apa untuk memecahkan keheningan ini. Maka aku membuka
jendela sedikit dan praktis hanya ada suara angin yang terdengar. Sementara itu
kepalaku diisi dengan banyak sekali hal yang makin memusingkan saja.
“Untuk
apa kau membuka jendela itu? Apa AC mobilku tidak cukup dingin untukmu?” Akhirnya
Erina bersuara, meski nadanya sedikit kesal.
“Tidak.
Sebenarnya sudah dingin,” kataku. “Hanya untuk membuka percakapan saja.”
Erina
menatapku sekilas sambil terkekeh muram, lalu kembali fokus menyetir.
“Kepalaku
hanya dipenuhi banyak pertanyaan-pertanyaan,” katanya.
“Misalnya
seperti apa?”
“Misalnya,
‘apakah setelah ini Perang Dunia III akan benar-benar pecah?’ atau ‘apakah
kekeringan di Zimbabwe akan bisa teratasi secepatnya?’. Hal-hal semacam
itu. Kau mengerti, kan?”
“Tentu
saja.” Dan tentu itu adalah gurauan. Aku tahu persis apa yang ada di kepala
Erina saat ini. Aku hanya mencoba agar kekikukan ini tidak jadi lebih kikuk dari
ini karena oh Tuhan ini benar-benar kikuk.
“Sebetulnya
sekarang aku berharap agar Perang Dunia III pecah saja. Kurasa itu lebih baik
dengan kondisi sekarang.”
“Aku
masih heran kenapa mobil sebagus ini tidak memungkinkanku untuk memutar lagu
secara wireless.” Aku mengabaikan pernyataan Erina.
“Oh,
kau mau memutar musik?” Erina mengambil kabel yang terjuntai di bawah dasbor
dan menyerahkannya padaku.
“Ini
mobil terbaru, kan?”
“Ya,
ya, ya. Aku tahu. Ini memang keluaran terbaru, tetapi mungkin mereka membuat
desainnya sepuluh tahun lalu makanya tidak ada integrasi ke Spotify atau Apple
Music atau apa pun yang katamu wireless itu. Lagi pula, konektivitas
semacam itu jadi tidak praktis kalau kau mau menyambungkan ponselmu ke lebih
dari satu perangkat dalam waktu bersamaan.”
Aku
mencolokkan kabel ke smartphone dan mulai memiliih lagu secara acak. Terputar
Marry Your Daughter dari Brian McKnight.
“Pemilihan
lagu yang bagus untuk suasana seperti ini,” protes Erina.
“Baiklah.
Boleh aku memutar musik rock?”
“Jangan
yang terlalu keras.”
Akhirnya
aku memilih lagu-lagu akustik rock yang sudah kumasukkan ke playlist. Mobil
sudah melaju lewat tiga puluh menit dan tidak ada tanda-tanda akan terlambat.
Jika tidak ada hambatan sampai tiba di stasiun, artinya aku bisa tidur di dalam
stasiun kurang lebih satu jam sebelum kereta tiba. Itu pun kalau aku bisa
tidur.
Di
tengah-tengah terputarnya lagu Apology dari Alesana, aku bertanya, “Jadi
bagaimana selanjutnya?” dan Erina terdiam cukup lama sebelum akhirnya ia
menjawab, “Apanya yang bagaimana selanjutnya?”
“Iya,
selanjutnya bagaimana?”
“Memangnya
kau tahu langkah selanjutnya yang akan kau ambil?”
Aku
terdiam, memandangi jendela seiring mobil yang berhenti secara perlahan karena
di depan lampu merah sedang menyala. Lampu merah terakhir sebelum masuk ke
stasiun. Beberapa orang menyeberangi jalan dengan santai sementara di
pedestrian sebelah kiriku sedang ramai orang-orang berkumpul di taman.
“Karena
aku tidak tahu, makanya aku menanyaimu. Barangkali kau punya jawaban yang lebih
meyakinkan.”
“Aku
sama kacaunya denganmu, kau tahu?”
“Ya,
oke, oke. Kalemlah sedikit. Jangan menyetir dalam keadaan emosi, oke?”
“Salahmu
sendiri kenapa tidak bisa menyetir.”
Lampu
merah berubah hijau dan mobil-mobil mulai berjalan lagi. Lagu berganti ke To
be with You oleh Mr. Big dan aku ingin sekali bernyanyi tetapi sadar
suasananya sedang tidak cocok. Karena itu, selama sekitar sepuluh menit
berikutnya kami kembali diam dengan masing-masing kekalutan di kepala dan lagu
yang tetap mengalun dan sesekali aku ikut bernyanyi dalam hati. Sekelebat
bayangan rumah besar Erina sempat membanjiri ingatanku, rumah yang bagiku lebih
cocok disebut istana. Kupenjamkan mata, dan semakin banyak bayangan akan tiap
sudut rumah yang pernah kulewati; taman belakang yang bahkan jauh lebih luas
dari seluruh luas tanah tempatku tinggal; jumlah kamar yang lebih banyak dari
jumlah jari di tanganku; model atap rumah yang mengingatkanku akan rumah-rumah
bangsawan di Britania Raya; dan kamar tidurku selama menginap di rumah Erina
yang sebetulnya bisa kugunakan untuk bermain bola jika bisa menyingkirkan
perabotan di dalamnya.
Mobil
terparkir di stasiun. Aku turun dan langsung mengambil dua koper di bagasi. Aku
masuk ke dalam stasiun dan Erina mengikutiku di belakang.
“Berat?
Mau aku bantu?” tanyanya.
“Oh,
tidak. Aku bisa mengatasinya.”
Aku
berhenti dan duduk di ruang tunggu. Erina duduk di sampingku dengan tatapan
nyaris kosong. Kuambil ponsel dan menghampiri tempat pencetakan tiket dalam
keheningan, lalu kembali duduk di samping Erina. Kulirik jam berwarna putih
besar di atas sana dan mencocokkan waktu di tiket.
Masih
ada sekitar 54 menit lagi.
“Jadi
apa kau sudah punya jawaban soal langkah selanjutnya yang kita bahas tadi?” aku
bertanya kembali. Kepalaku dipenuhi ribuan pertanyaan yang entah apa
jawabannya. Kepalaku dipenuhi pikiran tentang kemungkinan-kemungkinan yang
entah kemungkinan mana yang akan keluar menjadi kenyataan.
“Entahlah.
Aku rasa aku butuh waktu lebih lama. Bagaimana denganmu?”
“Yang
pasti aku akan menaiki kereta sekitar 50 menit lagi.”
“Lalu
setelah itu?”
“Ada
12 jam untuk memikirkan langkah selanjutnya.”
“Oh,
tidak. Aku tidak punya sebanyak itu.”
“Boleh
aku memelukmu?”
“Tentu.”
Aku
mendekap tubuh Erina yang dibalut sweter cokelat muda berbulu. Badannya hangat
dan aku bergetar ketika mendekap tubuhnya ke tubuhku. Ia menyenderkan kepalanya
ke bahuku dan aku bisa mencium aroma rambutnya yang selalu seperti baru selesai
keramas.
“Apakah
ini pelukan terakhir?” tanya Erina.
“Aku
berharap bukan.” Aku menarik napas panjang. “Tapi bisa jadi.”
Kami
menghabiskan puluhan menit sisanya dalam diam dengan posisi tubuh saling
menopang. Tanganku menggenggam tangan Erina. Pengumuman bahwa kereta sebentar
lagi akan tiba telah berbunyi. Aku melirik koper, memastikannya ada di dekatku.
“Bagaimana dengan kopermu?” tanyaku.
“Aku
punya banyak di rumah.”
“Tapi
aku ingin mengembalikannya.”
“Salah
satu hal kecil yang membuatku dilema. Aku berharap dirimulah yang kembali, bukan
koper itu. Atau, koper itu kembali bersamamu. Atau, hal lain yang berpihak pada
kita. Semacam itu.”
Aku
terdiam lagi, agak lama.
Aku
berdiri dan tanganku masih menggenggam jemari Erina yang hangat. Wajahnya masih
menunjukkan kegalauan, keinginan untuk menangis yang ditahan, diganti dengan
senyum kecil yang tetap saja tidak bisa menutupi kesedihannya. Sementara itu,
aku sendiri tidak tahu seperti apa ekspresi wajahku.
Kereta
tiba.
Genggaman
tangan Erina mulai terlepas seiring aku berjalan menarik dua koper menuju
kereta. Aku melambaikan tangan dan mengucapkan “aku mencintaimu” sebelum aku
menghilang dari pandangan Erina. Aku menaruh koper dan duduk di dekat jendela.
Kusenderkan kepala ke kaca dan meratapi kenyataan bahwa menjadi miskin bisa
menjadi penghalang dua orang untuk bersatu pada zaman yang katanya sudah begitu
maju. Aku, seorang anak petani dari desa, dan Erina, putri bangsawan yang tak
pernah kekurangan apa pun sejak lahir hingga mungkin nanti mati. Erina, yang
memiliki segalanya dengan warisan yang tak akan habis hingga sekian turunan,
dan aku, lelaki biasa yang hidup bersama ayah yang mulai renta dengan profesi
petani yang menjadi satu-satunya hal yang bisa diturunkan ayah kepadaku sebagai
warisan.