Ferrovia



Aku senang menaiki transportasi umum, terutama kereta api. Aku menyukainya karena aku bisa bertemu dengan orang-orang asing yang baru dan mendengarkan cerita mereka tentang apa saja. Aku selalu bisa membuat orang-orang yang duduk di sampingku di dalam kereta, bercerita banyak hal—meski aku hampir tidak pernah melakukan hal yang sama.

Biasanya aku akan mulai bertanya tujuan mereka ketika baru duduk dan sebelum menjejalkan earphone ke dalam telinga. Setelah aku tahu ke mana tujuan mereka, aku akan mulai membahas segala hal yang aku tahu tentang tempat itu. Setelahnya, aku akan bertanya dari mana mereka berasal. Pada titik ini, aku akan berhenti berbicara jika tidak tahu-menahu perihal kota yang disebutkan. Namun, sejauh ini, aku selalu punya pengetahuan yang cukup tentang kota-kota yang para asing ini sebutkan.

Jika sudah begitu, mereka akan semringah karena merasa aku mengenal mereka lebih dekat. Lalu, seiring cerita berlanjut, mereka akan mulai menyerempet ke hal-hal yang berbau personal. Dari yang aku lihat, penumpang-penumpang berusia remaja dan di bawah tiga puluh selalu senang menceritakan hal-hal yang sedang mereka geluti. Aku pernah bertemu seseorang berusia dua delapan yang sedang merintis usaha bersama kekasihnya yang baru saja melamarnya seminggu sebelumnya. Ia bercerita tentang usaha-usaha yang mengusung konsep ramah lingkungan dan bagaimana ia harus bekerja ekstra untuk membuat orang-orang mengerti apa dampak buruk dari ketidakpedulian orang-orang terhadap lingkungan.

Awalnya terdengar seperti sebuah cerita perjuangan seseorang yang sedang membangun usaha dari nol. Namun, perjalanan berjam-jam di dalam kereta mau tidak mau memaksa ia untuk memberitahuku bahwa kekasihnya pernah berselingkuh dengan teman dekatnya ketika ia sendiri sedang berada di luar kota untuk suatu hal. Aku memberinya saran untuk membatalkan lamaran itu sesegera mungkin, tetapi perempuan ini sungguh keras kepala dan mengatakan bahwa lelakinya berjanji akan berubah. Aku berusaha meyakinkannya sekali lagi bahwa tidak akan ada yang berubah dari lelakinya itu, tetapi kereta berhenti dan ia sudah tiba di tujuan. Jadi aku hanya tersenyum dan menanti penumpang berikutnya yang ternyata seorang lelaki paruh baya dan aku tidak mendapatkan cerita apa pun darinya karena begitu duduk ia langsung tertidur sambil mengorok.

Pada lain waktu, kereta berhenti di perhentian kedua dan ternyata kursi di sebelahku tidak ada yang mengisi—tidak seperti biasanya. Rupanya, di kursi seberang juga hanya diisi satu orang. Seorang lelaki muda dengan wajah berminyak penuh kekalutan dan dengan tatapan yang hampir-hampir kosong.

Kereta sudah berjalan sekitar lima belas menit, dan ia masih dengan kekosongan yang sama. Melihat ada yang tidak beres, aku memberanikan diri menghampirinya.

“Hai, boleh aku duduk di sini?”

“Eh? Hai. Ya, tentu saja. Silakan.” Ia menjawab dengan sedikit kaget, lalu kembali dengan tatapan kosongnya lurus ke depan.

“Sendiri saja?”

“Eh, ya. Sendiri saja.”

Kulihat kepalanya berkeringat. Baru saja aku ingin memberitahunya, tetapi dengan sigap ia langsung mengelapnya dengan saputangan berwarna biru muda yang ia keluarkan dari saku jaketnya.

Momen berlalu cukup lama hanya diisi dengan suara kereta, tidak ada percakapan.

Selama ini, orang yang kutemui di kereta adalah orang-orang yang antusias dengan kisahnya, atau mereka yang terlihat lelah tetapi berubah ceria ketika mulai kuceritakan sesuatu. Namun lelaki muda ini adalah anomali. Aku butuh waktu lebih lama untuk membuatnya bercerita.

“Aku akan ke stasiun akhir. Ke mana tujuanmu?”

Ia menatapku dengan dingin. “Stasiun Kota,” jawabnya.

“Oh, aku sering ke sana. Aku punya cukup banyak teman dan kenalan di sana. Aku paling senang dengan suasana malam di taman kota, kau tahu, air mancur yang bisa berubah warna itu?”

“Aku tidak tahu.”

Aku sedikit terkejut. Bagaimana mungkin ia tidak tahu? Pemandangan itu kan bisa ia lihat begitu ia keluar dari stasiun.

“Tunggu. Sepertinya aku pernah melihatmu.”

Belum sempat ia menjawab, berbunyi pengumuman bahwa kereta sebentar lagi akan tiba di pemberhentian berikutnya.

“Ah, jadi sebenarnya kau baru pertama kali ke kota?” aku lanjut bertanya.

“Ya, semacam itulah,” katanya berusaha tenang dan dingin, tetapi ia benar-benar terlihat sangat kacau.

“Oh, aku mengerti. Jadi kau bukan orang asli sini, ya.”

Ia menatapku lagi. Kali ini terukir sedikit senyum di wajahnya.

“Kau ini orang yang sok tahu, ya.” Ia tersenyum kecil.

Aku tertawa. “Kau tahu, karena kau tidak menjawab pertanyaanku, jadi aku berasumsi sendiri. Kalau kau menganggap aku sok tahu, coba beritahu aku yang sebenarnya.”

“Apa kau selalu begini ke semua orang yang kau temui?”

“Tidak juga. Hanya ke orang-orang yang menarik saja.”

“Menurutmu aku menarik?”

“Lebih pantas disebut menyedihkan, sih. Jika aku boleh jujur.”

“Nah, itu baru tidak sok tahu.”

“Hahahaha. Baiklah, ternyata kau orangnya lucu juga.” Aku menepuk bahunya. “Ngomong-ngomong, sepertinya aku pernah melihatmu,” kataku mengulang pernyataan sebelumnya.

“Aku yakin tidak.”

“Aku yakin iya.”

“Kau benar. Aku bukan orang sini dan aku baru pertama kali naik kereta ini.”

Kau lihat, kan? Hanya butuh satu pemberhentian untuk membuat seorang lelaki muda yang tadinya terlihat hampir tak bernyawa jadi bercerita panjang lebar. Selama satu jam berikutnya ia tidak berhenti bercerita tentang banyak hal, dan tidak ada lagi kekalutan terlihat di wajahnya. Hanya ada satu hal yang aneh: setiap kali bercerita, ia selalu mengulang bahwa ia sangat menyukai warna merah, dan bahwa ia sangat menyanyangi kekasihnya. “Dan aku sangat menyukai gaun merah yang terakhir ia kenakan,” katanya sesaat sebelum pengumuman bahwa kereta sebentar lagi akan berhenti di Stasiun Kota berbunyi.

Aku terlarut dalam banyak cerita yang didominasi oleh warna merah sampai-sampai aku tidak sempat mengeluarkan sepatah kata pun.

“Oh, aku membawa potongan gaun kekasihku. Kau mau lihat?” katanya. Aku mengangguk. Kali ini ada rasa aneh dari tuturnya yang tidak bisa kujelaskan.

Ia mengeluarkan sobekan gaun merah dari saku jaketnya yang satu lagi. Sambil berdiri, ia menciuminya dan berjalan melewatiku. Kereta baru saja berhenti dengan sempurna di Stasiun Kota.

“Ke mana kekasihmu? Kenapa hanya ada sobekan gaunnya?”

“Aku baru saja memotong lehernya, dan darahnya merah sekali. Aku sangat menyukainya.”

Lelaki muda itu berlalu dan aku hanya duduk mematung sampai seseorang memintaku untuk berdiri karena aku mengambil tempat duduknya.

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.