Galina
Aku
sedang membersihkan daun-daun kering yang berjatuhan ke kolam ketika Andrian
dan Kevin tanpa aba-aba muncul di belakangku dan menceburkan diri mereka begitu
saja ke dalam kolam.
“Dad,
ayo kita berenang!” seru Kevin begitu kepalanya kembali muncul ke permukaan. Ia
bahkan tidak sempat melihat ke arahku.
“Akan
turun hujan,” kataku. Cuaca memang sedang mendung. Aku tetap saja mengambili
daun-daun satu per satu dengan tongkat khusus yang kutaruh jala kecil di
ujungnya.
“Ayo,
Dad!” kali ini gantian Andrian yang memintaku. Aku hanya tersenyum kepada
mereka dan mereka dengan segera mengerti maksud dari senyumanku.
Setelah
daun-daun kuangkat, aku duduk di kursi di pinggir kolam. Dari sini aku bisa
melihat Galina yang sedang mencuci piring dan merapikan isi rak-rak di dapur.
Ia sempat menoleh padaku yang kubalas dengan senyuman dan lanjut memperhatikan anak-anakku
yang masih berenang dengan seru. Tidak lama gerimis mulai turun, tetapi kedua
putraku masih tetap berenang dari ujung ke ujung seolah tidak merasakannya.
Aku
pindah ke kursi sebelah yang atapnya terdapat payung kain khas kolam renang.
Andrian beranjak dari kolam dan menghampiriku.
“Dad,
kau yakin tidak mau ikut berenang?”
“Tidak.
Tidak hari ini.”
“Baiklah.”
Aku
melihat ada daun tercecer di pinggir kolam—yang kembali jatuh ke dalam air
ketika Andrian menceburkan diri kembali untuk kedua kalinya.
“Kev?”
“Ya,
Dad?”
“Kalau
daun kering jatuh ke kolam, kau menyebutnya daun kering atau daun basah?”
Kevin
memandangi Andrian.
“Aku
tidak tahu,” jawab Kevin. “Aku juga tidak,” Andrian melanjutkan.
“Baiklah.”
Aku
lalu menatap lagi Galina dan ia masih sibuk dengan pekerjaannya. Hujan mulai
turun cukup deras dan Andrian dan Kevin buru-buru meninggalkan kolam dan
berlari ke dalam ke arah dapur. Aku bisa melihat Kevin terjatuh setelah
menabrak Galina karena berlari terlalu kencang. Akan tetapi Galina hanya
sedikit terkejut dan merespons dengan tersenyum sementara Kevin terlihat tidak
peduli dengan kejadian itu. Ia bangkit berdiri dan langsung menuju tangga ke
kamarnya. Andrian menyusul di belakangnya.
Aku
menguncupkan payung dan menyusul Andrian dan Kevin ke kamar. Aku membantu
mereka berpakaian dan menyarankan untuk mengenakan sweter agar tidak kedinginan.
Mengurus anak berusia di bawah sepuluh tahun saja rasanya sudah merepotkan. Lalu
aku harus mengurus dua sekaligus. Kalian bisa bayangkan betapa repotnya aku,
kan? Namun bukan masalah lagi. Awal-awal aku memang cukup kerepotan, tetapi
kini sudah menjadi kebiasaanku.
Malam
ini aku menemani mereka menonton televisi di ruang keluarga sambil menikmati
camilan yang aku bikin sendiri untuk mereka. Dari sini juga aku bisa melihat
Galina yang sedang sibuk merapikan baju-baju yang baru saja ia ambil dari
jemuran.
Di
televisi sedang tayang acara olahraga golf yang entah siapa pemainnya. Memang aku
tidak begitu menyukai olahraga seperti itu.
“Kalian
bisa menyebutkan nama pemain golf selain Tiger Woods?” tanyaku sambil mengambil
jagung rebus di piring.
Andrian
dan Kevin terdiam sebentar, berhenti mengunyah, menatap ke arahku, lalu menggeleng.
Kulihat Galina juga menatap ke arahku dan tersenyum.
“Aku
juga tidak,” kataku.
“Lalu
kenapa kita menonton ini, Dad?”
“Karena
tidak ada dari kalian yang minta salurannya diganti.”
“Baiklah.”
Setelah
menonton acara golf, basket, lalu balap mobil dan balap motor yang sebetulnya
adalah tayangan tunda, aku menyuruh Kevin dan Andrian untuk tidur.
Seperti
biasa, aku membacakan cerita dongeng sebelum mereka terlelap. Kali ini aku
membacakan cerita Freaky Food, cerita yang sebenarnya menyeramkan bagi
anak-anak, tetapi Kevin sangat senang mendengarnya. Jadi malam ini aku
menceritakannya lagi sebagai pengantar tidur.
“Lampu
menyala atau lampu mati?” kataku setelah selesai mendongeng.
“MENYALA!”
sahut keduanya.
“Pintu
ditutup atau dibuka?”
“DIBUKA!”
Aku
mencuci muka dan menuju kamarku sendiri. Karena belum mengantuk, aku membaca novel
terjemahan dari penulis Jepang yang katanya tulisan-tulisannya bagus, tetapi
aku baru membaca satu karyanya. Sementara itu, di luar hujan sedang
deras-derasnya.
Sedang
asyik menikmati karya yang mendayu-dayu, pintu kamarku diketuk. Ketika kubuka,
Andrian dan Kevin berdiri di sana dengan piyama lusuh bergaris yang dibalut
sweter.
“Tidak
bisa tidur,” kata Andrian sambil mengucek mata. “Bisa kami tidur denganmu malam
ini?” lanjut Kevin.
“Tentu
saja!” jawabku.
Biasanya,
ketika sedang hujan deras dan petir seperti ini, keduanya akan ditenangkan oleh
Galina.
Sementara
keduanya berbaring di sampingku, aku melanjutkan membaca novel yang sepertinya
sudah mulai masuk ke bagian konflik.
“Dad?”
“Ya?”
“Kapan
kami akan punya ibu baru?”
“Ibu
baru?” aku sedikit terkejut dengan pernyataan Kevin barusan.
“Ya,
kami ingin punya ibu lagi,” sambung Andrian.
Aku
menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan kencang. “Entahlah,” kataku. “Ayah
belum bisa melupakan Galina sedikit pun.”