Betrugen
Anisa
baru saja turun dari mobil dengan pakaian yang masih lengkap; blazer warna
krem, dalaman kaus putih tipis, rok pendek warna krem, dan sepatu hak tinggi
berwarna hitam mengkilat.
Ia
menekan bel rumah Alex yang beberapa sisi temboknya terbuat dari kaca tebal tipe
laminasi. Dengan segera Alex membuka pintu dan membiarkan Anisa masuk. Mereka
berpelukan sesaat pintu menutup. Alex menciumi tengkuk Anisa dengan lembut dan
mengirup aroma parfumnya yang masih tajam. “Kau masih wangi sekali,” katanya.
“Aku baru saja selesai meeting,” balasnya lalu melepaskan pelukan Alex.
Mereka
lalu duduk di kursi ruang tamu selama beberapa menit sebelum Alex berdiri untuk
mengambil minuman di dapur. Sementara Alex berjalan ke dapur, Anisa melepas
sepatunya dan menaruh tas Dior-nya di atas bufet kecil yang letaknya tak jauh
dari ruang tamu. Setelah itu, ia menyusul Alex ke dapur.
“Kenapa
tidak kau tunggu saja di luar?”
“Ruang
tamumu tidak menyenangkan.”
“Itu
karena tidak ada aku di sana.”
Anisa
hanya tersenyum dan mulai mendekati Alex. Ia mulai mendekap tubuh Alex dari
belakang sementara Alex tetap fokus membuat jus lemon untuk mereka nikmati
berdua. “Bagaimana kalau minuman ini kita bawa ke kamar saja?” tanya Anisa.
“Kau tidak ingin mandi dulu?” Alex balik bertanya, tetapi Anisa hanya mau mengiyakan
pertanyaan Alex jika lelaki itu mau ikut mandi bersamanya.
“Aku
baru selesai mandi ketika kau datang tadi. Kalau mandi lagi, aku bisa meriang.”
“Oh,
ayolah. Di kamar mandi ada air hangat.”
“Tapi
aku masih segar dan wangiku bahkan lebih dari parfummu sehabis meeting.”
Setelah
beberapa jenak beradu argumen, Anisa mengalah. Ia akhirnya mandi sendirian dan
Alex menunggu di kamar dengan dua gelas jus lemon. Selepas mandi dan mengganti
pakaian dengan piyama, Anisa merebahkan diri di samping Alex di kasur. Alex
sendiri sedang membaca buku sambil meminum minumannya sedikit demi sedikit.
“Bagaimana
harimu?” tanya Anisa dengan senyumnya yang menawan. Terkadang, Alex tidak
mengerti kenapa bisa ada perempuan seperti Anisa dengan senyum yang mampu
menghentikan waktu beberapa detik ketika melihatnya.
“Seperti
biasa,” kata Alex pelan, tetapi tetap terlihat tertarik dengan pertanyaan itu.
“Oh, aku sempat membersihkan halaman belakang tadi siang karena kerjaanku
sedang tidak banyak. Sepertinya acara berenang berikutnya tidak akan diganggu
oleh daun-daun kering lagi. Sisanya, seperti biasa. Sarapan, bekerja, makan
siang, mandi, bekerja lagi, joging, mandi lagi, lalu kau datang.”
“Apa
kau tidak bosan dengan rutinitas seperti itu setiap harinya?”
“Tidak
juga. Lagi pula, rutinitas kita sama saja. Bedanya, kau di luar rumah, aku di
dalam rumah.”
Anisa
berpikir sebentar. “Benar juga. Aku baru menyadarinya sekarang,” responsnya.
Alex menutup bukunya dan menyentil hidung Anisa sambil tersenyum.
“Bagaimana
denganmu? Ada cerita apa selain meeting tadi?”
“Oh,
sebetulnya aku punya banyak cerita menyebalkan hari ini, tetapi ketika
melihatmu membuka pintu tadi, perasaan sebal itu hilang seketika. Oh, tapi
tenang. Aku akan berusaha mengingat lagi apa yang menyebalkan seharian.
Maksudku, tidak semua orang menyebalkan, tetapi ada banyak. Dan sekarang aku
sudah tidak sebal, tapi kau tetap harus mendengarkan ceritaku.”
“Aku
menyimak,” jawab Alex singkat.
Anisa
meminum jus lemonnya dan menaruhnya di samping tempat tidur. Begitu juga Alex.
Setelah itu mereka mencari posisi yang nyaman sebelum saling berbagi cerita.
Alex menaruh dua bantal di belakangnya lalu menyandarkan punggung ke sana,
sementara Anisa menarik selimut putih dan menyandarkan kepalanya ke dada Alex
yang bidang.
“Hari
ini aku menghadiri tiga meeting, dan satu presentasi ke klien baru. Tiga
meeting dan tiga-tiganya menyebalkan. Yang pertama, aku bersama anak
baru yang kerjaannya menyela perkataanku dan merasa pendapatnya selalu lebih
baik. Kami tidak kehilangan klien itu, tetapi aku sangat tidak suka dengan
caranya yang seperti itu. Seperti tidak pernah diajari sopan santun.
“Meeting
yang kedua, aku sekalian makan siang dengan klienku. Awalnya makan siang itu
sangat menyenangkan dan berlangsung baik-baik saja, terutama karena steak
tenderloin yang aku pesan rasanya sangat enak. Akan tetapi, saat meeting
akan berakhir dia dengan percaya diri mengatakan kalau sebaiknya desain yang
aku bikin dibuat lebih sederhana saja karena anggaran yang mereka sediakan
untuk proyek ini tidak akan cukup jika tetap mengikuti desain yang sudah ada.
Rasanya aku ingin menonjok mukanya sebelum meninggalkannya. Tentu saja aku
tidak melakukannya karena aku masih sayang pekerjaanku. Cuma, kau sendiri
mengerti kan bagaimana repotnya mendesain ulang?
“Lalu
yang ketiga, sebetulnya meeting berlangsung lancar saja di kantor
klienku. Semuanya lancar, tidak ada drama desain ulang seperti yang kedua,
tetapi ruangan meeting-nya sangat dingin sampai-sampai aku harus ke
toilet empat kali untuk pipis saking dinginnya. Ketika hendak ke toilet untuk
kali kelima, aku akhirnya bilang ke mereka untuk menyetel pendingin ruangannya
agar aku bisa fokus, tetapi tidak ada satu pun yang tahu ke mana remotnya.
Karena benar-benar tidak tahan, aku mengambil kursi untuk menekan tombol
pendingin ruangannya dan kau tahu apa yang terjadi? Rok yang aku kenakan sobek!
Sobek dan semua orang di ruangan itu melihatku. Ya Tuhan, aku malu sekali!”
“Lalu
apa yang kau lakukan?” tanya Alex.
“Aku
langsung membuka blazerku dan menutupi bokongku.”
“Cerdas.”
“Tidak
juga. Karena yang terjadi selanjutnya adalah mereka tidak berhenti memandangi
kausku yang terlalu tipis tanpa blazer itu. Untungnya setelah itu meeting
berakhir dengan baik dan klienku terlihat puas. Meski aku tidak begitu paham
mereka puas karena penawaran yang aku ajukan, atau karena aku. Sudah.”
“Sudah?”
“Iya,
sudah. Begitu saja untuk hari ini.”
“Bagaimana
dengan presentasi yang satu lagi?”
“Oh,
itu.”
“Ya,
bagaimana dengan itu?”
“Sebetulnya
aku tidak tahu apakah cerita ini masuk kategori menyebalkan atau tidak. Begini…
aku mendatangi klien baru di sudut kota untuk presentasi awal setelah selesai meeting
sambil makan siang tadi, tapi sampai di sana klien baru ini tidak ada di
ruangannya. Aku bertanya ke orang-orang di kantor itu tetapi tidak ada satu pun
yang tahu ke mana bos mereka menghilang. ‘Dia memang sering begitu,’ kata salah
seorang karyawannya. Lalu dengan perasaan marah, kecewa, dan lainnya, aku
berniat meninggalkan kantor itu, tapi kemudian ponselku berbunyi dan orang itu
meneleponku. Ia bilang setuju dengan penawaran kantor kami padahal aku belum
menjelaskan apa-apa. ‘Kami percaya reputasi perusahaanmu,’ katanya. Dan itulah
yang membuat aku sayang dengan pekerjaanku sekarang, dan di mana aku bekerja
sekarang. Di satu sisi aku senang karena tidak perlu repot menjelaskan dari
awal, tapi di sisi lain menyebalkan juga sudah datang jauh-jauh dan tidak
bertemu siapa-siapa.”
“Kau
benar-benar menikmati pekerjaanmu,” respons Alex pendek. “Bolehkan aku
menciummu?”
“Tentu
saja boleh! Aku sudah lama menunggu ini.”
Anisa
pun mengangkat kepalanya dari dada Alex dan menarik lehernya sehingga bibir
mereka bertemu dan saling melumat. Mereka berciuman selama beberapa menit dan
tanpa sadar kancing piyama Anisa sudah terlepas seluruhnya. Alex yang
mengenakan kaus membuka kausnya sendiri dan lanjut memeluk Anisa dengan erat,
dan masih sambil berciuman.
“Aku
pikir kau tidak menginginkan ini,” kata Anisa di sela-sela ciuman itu.
“Entahlah,
kadang-kadang aku tidak bisa menahannya.”
“Oh,
kemarilah.”
Alex
mulai merebahkan tubuh Anisa untuk kemudian ia tindih dan tiba-tiba saja suara
klakson mobil berbunyi di luar. Sorotan lampu mobil itu sempat mengenai jendela
kamar yang sebenarnya adalah tembok.
“Sialan!”
umpat keduanya bersamaan.
Di
luar adalah suami Anisa yang datang menjemput istrinya. Dengan segera mereka
merapikan pakaian kembali. Anisa bergegas meninggalkan kamar, sementara Alex
hanya terduduk diam tanpa menatap ke arah Anisa yang berlalu dengan cepat.
Terdengar suara pintu dibanting dan mobil meninggalkan rumah. Dengan kekecewaan
yang tidak dapat diungkapkan, Alex memeluk gulingnya, menarik selimut, dan sambil
memejamkan mata membayangkan seandainya mereka bisa punya waktu lebih lama
untuk tidak menipu perasaan masing-masing.