Menghadapi Kematian
“Lo
harus siap, Nov.”
“Gue
harap gue siap, Dan.”
Besok
adalah hari pernikahan Novi, dan malam ini dia memintaku untuk menemaninya
sejenak di rumahnya. Kami duduk dengan kaki menjuntai di ujung balkon menghadap
ke jalan yang masih ramai dengan lalu-lalang kendaraan. Kulirik arloji hitam di
tangan kiriku, baru pukul sembilan.
“Kalau
enggak salah akad nikah lo besok jam sembilan. Lo masih punya waktu 12 jam
untuk membatalkan,” kataku. Aku menggeser posisi duduk agar lebih nyaman. “Ya
walaupun enggak mungkin lagi, sih,” lanjutku dengan suara berat.
Novi
tidak bersuara. Alih-alih, ia malah menendang lembut kakiku yang telanjang.
Jika dia menendang kakiku sedikit lebih keras, aku bisa-bisa terjatuh dan
kehilangan nyawa.
“Gue
enggak tahu, Dan. Gue beneran enggak tau apa yang harus gue lakukan sekarang,”
katanya kemudian dengan suara paling menyedihkan yang pernah kudengar.
Aku
menatap matanya. Ia mulai mengeluarkan air mata dan aku mulai mendekap tubuhnya
ke tubuhku. Kaus putihnya yang tipis menyentuh sweater biru navy yang kukenakan.
Ia meremas jari-jariku dan tiba-tiba saja aku bisa merasakan kesedihan yang begitu
kelam dalam cengkeramannya.
“Tapi
lo juga harus tau kalau waktu juga enggak akan nungguin elo mengambil keputusan,”
jawabku berusaha tenang.
Novi
akhirnya tiba pada malam terakhir masa lajangnya setelah menerima tunangan Adit
sekitar enam bulan yang lalu. Adit adalah teman masa kecil Novi yang kembali
dari ibu kota enam bulan lalu dan langsung melamarnya. Novi yang pada waktu itu
sedang kalut dan juga sedang dilanda masalah asmara, menerima tunangan Adit
tanpa berpikir dua kali.
“Kalau
aja lo mau cerita ke gue waktu itu, Nov,” kataku. “Kalau aja lo cerita lebih
cepat, mungkin semua enggak akan kayak gini. Gue bisa bantuin elo, tapi
sekarang gue juga bingung, dan besok adalah harinya. Itu akibatnya kalau elo
terlalu lama mendiamkan masalah.”
“Apa
gue kabur aja?” Novi bertanya.
Aku
melihat ke bawah. Empat mobil termasuk dua mobil polisi terparkir di depan
rumah Novi. “Kayaknya mustahil,” jawabku.
“Kalau
gue loncat aja, gimana?”
“Gue
sih enggak sebego itu juga.”
“Terus
ini gimana?” nada suara Novi mulai meninggi.
“Kabur
adalah hal yang mustahil untuk lo lakukan sekarang. Dan loncat…” aku menarik
napas cukup panjang sebelum melanjutkan. “Kalau lo pikir loncat akan
menyelesaikan masalah lo ini, coba lo pikir lagi. Karena gue rasa itu cuma
bakal menambah masalah yang ada sekarang, dan gue juga otomatis akan terlibat.
Lo enggak loncat aja udah nyakitin gue banget, Nov, apalagi loncat.”
Air
mata Novi semakin deras sementara pelukanku semakin erat. Jalanan masih sama
padatnya seperti tadi meski malam semakin larut. Tidak ada pemandangan yang
indah malam ini, termasuk bintang yang sama sekali tidak terlihat, seolah
menyiratkan kesuraman yang tak perlu dikasihani.
Aku
sebetulnya ingin memaki Novi lebih lama terkait keputusan bodoh yang ia
sembunyikan dariku. Aku sendiri merasa semakin bodoh karena tidak bisa membantu
apa-apa, tetapi itu juga karena ia baru memberitahuku menjelang hari
pernikahannya. Jadi tidak ada yang bisa aku lakukan lagi selain memberinya
pelukan terakhir malam ini, dan melancarkan akad nikahnya besok pagi.
Novi
masih menangis di pelukanku ketika ibunya berdeham di belakang kami, memberi
tanda bahwa malam sudah hampir lewat tengah malam.
Aku
membantu Novi berdiri dan ia bersama ibunya mengantarkanku hingga ke depan
pagar rumahnya. Ibunya menjabat tanganku sembari menyelipkan undangan ke saku
sweater-ku. Aku melajukan sepeda motor dengan cukup kencang karena gerimis
mulai turun.
Sesampainya
di rumah, aku membuka seluruh pakaian, melemparkannya ke lantai dan kasur dan
mencuci muka dan menggosok gigi lalu merebahkan tubuh di tempat tidur. Kulepas
arlojiku dan menaruhnya di meja lampu di samping tempat tidur. Waktu di sana
sudah menunjukkan pukul dua pagi. Aku mengecek ponsel dan menyetel alarm ke
pukul tujuh pagi lalu menarik selimut untuk tidur. Sebentar lagi aku harus kembali
bekerja, dan bisa jadi ini akan menjadi pekerjaan paling berat dalam hidupku.
-///-
Meski
menyetel alarm pukul tujuh, aku baru bisa benar-benar bangun pukul tujuh lewat
sekitar lima belas menit dan langsung mengambil handuk untuk mandi.
Sehabis
mandi, aku melihat sudah ada dua panggilan tak terjawab dan masuk lagi satu
panggilan saat aku hendak menelepon balik.
“Halo,”
kataku menjawab panggilan.
“Mas
Dana, enggak lupa kan kalau hari ini ada jadwal jam sembilan pagi?”
“Oh,
enggak, Mas. Ini saya baru aja selesari mandi. Habis ini saya langsung menuju
lokasi. Mas sendiri gimana?”
“Mantap,
Mas! Saya juga sudah siap.” Terjadi jeda sebentar sebelum suara di seberang
telepon melanjutkan. “Mas Dana, sebetulnya hari ini ada jadwalnya Mas Arman jam
sebelas, tapi orangnya enggak bisa karena semalam istrinya masuk rumah sakit. Kalau
sekalian Mas Dana yang gantikan, gimana? Nanti saya kirimkan alamatnya,
kebetulan enggak jauh dari rumah pertama.”
“Oh,
enggak masalah, Mas. Dikirim aja alamatnya,” jawabku dengan mantap.
“Terima
kasih, Mas Dana. Mas Dana baik sekali.”
“Bukan
masalah, Mas. Saya tahu, semua orang butuh Dana, kan?”
Suara
di seberang telepon terkekeh. “Ya sudah, Mas Dana siap-siap. Sekali lagi terima
kasih ya, Mas.”
“Sama-sama,
Mas.”
Setelah
berpakaian, aku langsung menuju garasi untuk memanaskan motor dan mengingat-ingat
barangkali aku masih melupakan sesuatu.
Setelah
kurasa semua sudah siap, aku melajukan motor menuju rumah Novi dengan perasaan
yang aku sendiri tidak mengerti bagaimana menjelaskannya. Mungkin ibaratkan
bibir pantai yang dihancurkan ombak besar dalam sekali empasan, tetapi kurasa
lebih sakit lagi dari itu. Ah, aku mulai meracau sepanjang perjalanan. Kepalaku
mulai pusing dan jalanan yang cukup padat pun semakin menambah sesak di
kepalaku.
Aku
tiba di rumah Novi sekitar empat puluh menit kemudian, dan beberapa orang langsung
menyambutku di pintu masuk.
“Mari,
Mas, silakan masuk. Sudah ditunggu dari tadi.”
Aku
hanya memberi mereka senyuman dan berjalan masuk dengan terbata-bata. Di dalam
kulihat beberapa wajah yang familier. Ada Randy, Emil, Sam, dan Eko yang adalah
temanku dan Novi semasa kuliah dulu. Ada beberapa wajah lain, tetapi aku tidak
bisa mengingat nama mereka. Lalu kulihat juga Adit dengan pakaian pengantinnya
yang harus kuakui terlihat sangat jantan dan beribawa. Dan terakhir, kulihat Novi
yang sudah duduk di tempat ijab kabul menunggu kedatangan penghulu.
Sebelum
melangkahkan kaki lebih dekat, Randy menghampiriku dengan tawa kecil.
“Dana,
gimana rasanya akan menikahkan pacar sendiri?” tanyanya.
Aku
tidak menjawab pertanyaan itu. Aku langsung duduk di depan Adit dan Novi, dan
rasanya ternyata seperti menghadapi kematian.