Balinda
Namaku
Yoga. Usiaku 15 tahun dan aku baru saja dikeluarkan dari sekolah.
“Ayo,
kita akan pindah ke sekolah yang baru, Sayang.”
Sebetulnya
aku tidak mengerti kenapa aku dipindahkan ke sekolah baru, atau kenapa aku
dikeluarkan dari sekolah sebelumnya. Kata mereka, aku tidak cocok lagi dengan
lingkungan sekolah yang lama. Akan tetapi, aku tidak merasa demikian.
Aku
merasa nyaman dengan sekolahku yang lama, meskipun memang banyak anak-anak
bandel dan aneh yang kutemui.
Misalnya
saja Akbar. Anak kelas delapan ini suka membawa gunting ke kelas dan memakainya
untuk menakut-nakuti para siswi. Lucunya, bukannya takut, siswi-siswi justru
menjadikan Akbar sebagai bahan olok-olokan. Ia bukan membawa gunting kain
maupun gunting kertas, melainkan gunting kuku.
Oh,
aku lupa menyebutkan pada awal kalimat kalau Akbar masuk kategori anak aneh.
Nama
berikutnya adalah Rido. Dia masuk kategori anak bandel. Kebiasaannya adalah
menyembunyikan sepatu teman-teman kelas. Tidak cuma yang sekelas, namanya
terkenal di seluruh kelas di sekolah, bahkan sampai ke ruang guru. Selain
menyembunyikan, ia juga gemar menukar sepatu-sepatu kami. Suatu hari ia
menyembunyikan sepatu Pak Basir—guru biologi yang terkenal sangar—dan
menukarnya dengan sepatu perempuan berhak tinggi warna merah.
Kaki
Pak Basir meraba-raba ke bawah meja tanpa melihat, lalu ketika ia ingin
berjalan ke papan tulis tiba-tiba ia bertambah tinggi beberapa senti dan
jalannya oleng seperti orang yang mabuk berat. Ia memarahi semua orang di
kelas, tetapi seisi kelas hanya menertawainya karena ia malah memakai sepatu perempuan
itu untuk berkeliling kelas alih-alih melepasnya.
“Sepatu
Bapak ada di atas pohon di depan musala,” kata Rido sambil berusaha menahan
tawanya.
Pak
Basir dengan segera menuju pohon mangga yang dimaksud oleh Rido, dan ia memanjat
tanpa melepas sepatu hak tinggi yang entah milik siapa. Celakanya, kaki Pak
Basir terpeleset sebelum berhasil meraih sepatunya. Ia terjatuh dan tubuhnya
menghantam kawat di pagar musala.
Semua
orang berkumpul di depan musala untuk melihat Pak Basir tergeletak tak bernyawa
lagi, kecuali aku. Alih-alih, aku malah lari bersembunyi ke toilet sekolah
karena takut melihat darah. Kata Ibu, aku pernah tidak sadarkan diri selama dua
hari gara-gara melihat darah berceceran di jalanan. Jadi sebelum itu terjadi aku
menyelamatkan diri duluan.
Tak
berapa lama berselang, pintu toilet tempatku bersembunyi ada yang menggedor.
“Sayang,
buka pintunya,” kata suara di balik pintu.
Dengan
tangan bergetar dan sedikit takut, aku membuka selot di pintu. Kulihat Ibu
Diah—guru BP—membuka pintu dengan perlahan, dan hal yang pertama kulihat adalah
kakinya yang telanjang. Dengan segera kepalaku berpikir bahwa ia juga
kehilangan sepatunya.
“Apa
kau melihat Rido?” tanyanya. Aku menggeleng, masih dengan tangan bergetar.
Ibu
Diah membawaku ke ruang BP dan menjelaskan bahwa hampir semua sepatu siswa dan
siswi termasuk para guru menghilang, begitu juga Rido. Aku tidak tahu bagaimana
Rido—siswa bertubuh mungil dengan muka polos itu—melakukan hal itu, tetapi
itulah yang terjadi.
Di
ruang BP, Ibu Diah tidak menanyaiku apa pun. Jadi, karena aku merasa ruangan
sangat hening, aku yang akhirnya membuka percakapan.
“Bu,
kalau aku memecahkan kaca jendela ruangan ini, apakah Ibu akan memberiku
hadiah?”
Ibu
Diah menatapku tajam, tidak menjawab pertanyaanku, dan malah berkata hal lain.
“Kalau
kamu mau tahu, sepatu yang dipakai Pak Basir adalah sepatu Ibu. Dan itu adalah
sepatu pemberian almarhum suami Ibu,” katanya.
Aku
yang merasa tidak terima dengan jawaban yang tidak nyambung itu, langsung
memaki Ibu Diah. “Dasar gila!” teriakku. Tidak lama setelah itu aku melempari
kaca jendela ruangan ini dengan sepatuku yang sebelah kiri. Bisa kulihat dengan
baik sepatu hitam itu menghantam jendela dengan suara yang begitu indah.
Sekarang sisa sepatu sebelah kanan yang ada di kakiku. Warnanya putih.
Aku
cukup yakin suara kaca jendela yang pecah itu terdengar ke ruangan guru yang
berada tepat di sebelah ruang BP, dan memang tidak lama setelahnya muncul dua
orang sekuriti—yang tidak bisa kuingat namanya—membawaku secara paksa.
“Hei,
apa kalian tau kenapa sepatuku tinggal satu?” tanyaku ke mereka. Mereka
mengangkat kedua lenganku dan membiarkan kakiku tidak menyentuh tanah, tapi aku
menyukainya karena rasanya seperti sedang terbang menaiki Pegasus. Meskipun
sebetulnya aku tidak tahu Pegasus itu apa, tapi namanya terdengar keren jadi
aku tetap menyebutkannya.
Kedua
sekuriti tadi membawaku ke ruangan yang belum pernah kumasuki sebelumnya.
Sepertinya ini gudang, tetapi mana mungkin di sekolah ada gudang? Lagi pula,
kalau ini gudang, kenapa ramai sekali?
Kulihat
ada tiga orang selain aku di dalam sini. Yang pertama ada Rahmat. Seingatku dia
mantan ketua OSIS yang terpaksa digulingkan dari jabatannya karena belakangan
ia ketahuan tidak bisa membaca. Yang kedua ada Yasmin. Dia adalah salah satu
siswi tercantik di sekolah ini, tetapi aku tidak suka setiap kali ia mengangkat
roknya hanya untuk memperlihatkan pantatnya yang hitam dan tanpa celana dalam
kepada setiap siswa yang ditemuinya di lorong sekolah. Dan yang terakhir ada
Rido. Aku bukan pelupa, dan aku sudah menjelaskan tentang siapa Rido.
Ketika
melihat ke arah Rido, aku refleks berbalik badan dan ingin lari ke ruangan BP
untuk memberitahu Ibu Diah keberadaan buronan ini. Namun, ruangan yang tadinya
kukira gudang ini ternyata sudah terkunci dari luar jadi kuputuskan untuk
membalik badan lagi dan mengamati tiga orang tadi.
“Hei,
di mana kamu menyembunyikan sepatu semua orang?” tanyaku ke Rido. “Ya Tuhan,
semua orang mencarimu. Dan mungkin membencimu karena membuat Pak Basir
terbunuh.”
Bukannya
menjawab, Rido malah tertawa lantang seperti orang gila yang sedang kesurupan.
Berikutnya
aku menanyai Yasmin yang rupanya dari tadi duduk dan menangis sesenggukan di
pojok ruangan.
“Kenapa
kamu menangis?” tanyaku. Ia berhenti sesenggukan, menatapku sekilas,
menggeleng, lalu kembali sesenggukan dan menenggelamkan wajahnya ke kedua
lututnya. Kulihat pipinya menghitam karena celak di matanya yang berguguran
oleh air mata. Sebetulnya aku ingin menanyakan apakah ia mengenakan celana
dalam atau tidak, tetapi aku tidak ingin ia memperlihatkan pantatnya yang hitam
itu.
Berikutnya
aku ingin menghampiri Rahmat yang sedari tadi terlihat sibuk membolak-balik
sebuah kertas di tangannya. Namun sebelum aku melakukannya, ia malah menghampiriku
duluan.
“Kamu
bisa baca tidak?” tanyanya.
Tentu
saja aku bisa. Meski sering bolos dari kelas, aku adalah siswa yang
berprestasi. Di sekolah yang sebelumnya lagi, aku juara kelas. Lagi pula, siswa
sekolah mana sih yang tidak bisa membaca? Oh, kecuali Rahmat tentu saja.
Aku
mengambil kertas di tangan Rahmat dan mencoba membaca tulisannya.
“Aku
rasa sampai bel pulang berbunyi pun kamu tidak akan bisa membacanya,” kataku.
“Kenapa?”
“Tulisannya
terbalik.”
“Oh,
aku tidak tahu.”
Kubalik
kertas seukuran kartu nama itu dan mencoba membacanya lagi.
“Apa
bacanya?” tanya Rahmat tidak sabar.
“Bal—”
“Balonku?”
“Tunggu!
Bal—”
“Balphomet?”
“Itu
Baphomet, Bodoh!”
Aku
menghabiskan beberapa menit dan ternyata aku juga tidak bisa membaca tulisan di
kertas itu.
Melihat
aku dan Rahmat sibuk, Yasmin menghampiri kami dan tanpa sadar ia sudah berdiri
di belakang kami. “Apa yang kalian lakukan dengan kertas kosong itu?” tanyanya.
“Kertas
ini tidak kosong,” bela Rahmat. Aku mengiyakan.
“Lalu
apa bacanya?” tanya Yasmin lagi.
Aku
berusaha membacanya lagi dan masih selalu stagnan di kata “Bal” yang tidak bisa
kulanjutkan. Tiba-tiba saja Rido datang dan menarik kertas yang kupegang
bersama Rahmat.
Kertas
itu sobek.
Rahmat
yang tidak terima kertasnya disobek, lalu mendorong Rido dan terjadilah kekacauan
kecil. Saat Rahmat hendak berlari menangkap Rido, aku iseng menyilangkan kaki
dan Rahmat terjatuh. Yasmin tertawa melihat itu dan ia mengangkat roknya di
depanku.
“Iyuwh!”
aku berkata dengan jijik.
Kekacauan
ini baru berlangsung semenit tetapi dua sekuriti tadi sudah datang lagi dan
menarikku keluar dari ruangan. Aku yang tidak terima karena sedang asyik
bermain dengan teman-temanku, meronta dan coba melepaskan diri. Namun, dari
kejauhan kulihat Ibu berdiri dan menatap ke arahku.
“Ayo,
kita akan pindah ke sekolah yang baru, Sayang,” kata Ibu.
Aku
berusaha menolak karena aku betah di sekolah ini, tetapi aku tidak bisa melawan
ataupun menolak setiap perkataan Ibu. Dua sekuriti tadi mengantarkanku hingga
ke mobil dengan cara mengangkatku seperti ketika mereka membawaku ke ruangan
bermain bersama teman-temanku yang tadinya kupikir adalah gudang.
Aku
sudah di mobil bersama Ibu. Pintu mobil ditutup, dan sebelum mobil melaju aku
sempat memandang ke arah gedung sekolah untuk kali terakhir. Kulihat terpampang
plang besar bertuliskan “Rumah Sakit Jiwa Balinda” di sana.