Pandangan Pertama
Gelap.
Pengap.
Mataku
baru saja melek dan semuanya gelap di dalam ruangan yang pengap.
“Hei,
kenapa kau matikan lampu kamar ini, bodoh.”
“Aku
tidak mematikannya, ia mati sendiri. Sepertinya rusak.”
Aku
mengucek mata dan masih tidak bisa melihat apa-apa kecuali bayangan tipis Jason
yang sedang duduk sambil menonton lewat laptop di pojok kamar.
“Kau
sedang menonton apa?” tanyaku.
“Gone
Girl,” jawabnya. “Hei, apa kau pernah jatuh cinta pada pandangan pertama?”
“Entahlah,”
kujawab.
“Baiklah,
aku ganti pertanyaannya. Apa kau percaya dengan hal semacam itu?”
“Hal
semacam apa?”
“Cinta
pada pandangan pertama. Ya Tuhan, kenapa kau begitu bodoh hari ini.”
“Aku
baru bangun, bodoh. Jangan melayangkan pertanyaan sulit dulu. Aku bahkan belum
membuka mataku.”
“Kalau
begitu buka matamu dan jawab pertanyaanku.”
“Bagaimana
kalau kau perbaiki dulu lampu kamar ini, buatkan aku sarapan, dan aku akan
menjawab semua pertanyaan bodohmu itu?”
“Setuju!”
Jason
menutup laptopnya dan langsung meninggalkan kamar. Ia membiarkan pintu kamar
tetap terbuka sehingga cahaya dari luar bisa masuk dan akhirnya aku bisa
melihat lagi.
-///-
“Apa
kau ingin bilang kalau Gone Girl itu omong kosong?”
Aku
duduk menekuk lutut di kursi teras bersama sepiring nasi dan telur dadar buatan
Jason. kami sama-sama tidak mengenakan baju, hanya boardshorts selutut.
“Tidak.
Aku ingin tahu apa kau kenal dengan seseorang yang pernah jatuh cinta pada
pandangan pertama.”
Aku
mengingat-ingat barangkali ada yang pernah membagikan kisahnya padaku. Namun,
sulit sekali mengingat hal-hal jika sedang kedinginan.
“Apa
kau tidak dingin?” tanyaku.
“Sedikit.”
“Kau
tidak ingin kembali ke dalam saja? Atau setidaknya kita pakai piama, atau kaus,
atau semacamnya.”
“Tapi
kita sudah sepakat.”
“Menurutku
ini adalah kesepakatan bodoh.”
“Sudahlah,
kita sudah sepakat, dan sebaiknya kita kembali ke inti percakapan kita. Hei,
jangan ambil telurku!”
Telur
dadar buatan Jason selalu enak, jadi satu saja tidak pernah cukup untukku.
“Aku
tidak ingat,” kataku. “Sepertinya aku tidak kenal siapa pun yang pernah mengaku
kalau mereka pernah jatuh cinta pada pandangan pertama. Lagi pula, apa
pentingnya hal semacam itu?”
Jason
menatapku sesaat lalu menatap langit yang mulai gelap.
“Sebentar
lagi akan turun hujan,” katanya.
“Ya,
aku bisa merasakannya.”
“Jadi
menurutmu hal semacam itu gila, tidak masuk akal, atau memang hanya omong
kosong yang ada di dalam film?”
“Hal
semacam itu yang mana yang kau maksud?”
“Ya
Tuhan.”
Jason
terlihat kesal, tetapi nasi goreng ini sungguh enak. Jadi aku memutuskan untuk
menghabiskannya dahulu sebelum menjawab pertanyaan Jason.
“Aku
tidak bilang itu omong kosong, tapi kalau pun ada, apakah akhirnya akan bahagia?
Aku khawatir hal-hal semacam itu hanya akan berakhir sebagai dongeng atau
legenda. Maksudku, tidak ada salahnya kau suka dengan seseorang pada pandangan
pertama, tapi kurasa kau tidak akan bisa memilikinya.”
“Aku
tidak bicara tentang suka.” Jason mendebat. “Aku bicara soal cinta.”
“Nah,
aku cukup yakin kalau yang terakhir kau ucapkan barusan hanyalah omong kosong.”
“Apa
maksudmu?”
“Aku
berkali-kali bertemu perempuan cantik di jalanan, dan aku pikir aku menyukai
mereka. Terutama jika dadanya besar dan pantatnya semok. Aku sangat
menyukainya, tapi tidak pernah aku berpikir untuk mencintai mereka. Dan memang itulah
yang terjadi.”
“Apa
kau pernah memimpikan salah satu dari mereka?”
“Oh,
Jason. Aku bahkan tidak ingat wajah mereka seperti apa.”
“Tentu
saja!”
“Apa
maksudmu?”
“Aku
memimpikan seorang perempuan yang pernah kutemui pertama kali di sebuah acara
seni. Waktu itu aku diajak temanku, dan ia memperkenalkanku kepada perempuan
ini. Jadi orang itu adalah teman dari temanku, kau paham maksudku, kan?” Aku
mengangguk. “Kami bertatapan, dan aku menyukainya saat itu juga. Oke, mungkin
aku mencintainya, tapi aku juga tidak yakin sama sepertimu. Belum. Jadi malam
itu kami hanya berjabat tangan untuk berkenalan, mengobrol sambil mengelilingi
gedung pameran, mengambil foto beberapa kali, dan selebihnya aku berjalan di
belakang temanku ini karena aku tidak pandai mengakrabkan diri dengan orang
baru.
“Sebetulnya
malam itu cukup lama kami bersama, karena gedung pameran memang sangat luas dan
terdiri dari tiga lantai. Jadi aku punya banyak waktu untuk mencuri-curi
pandang. Sesekali aku menimpali percakapan mereka, tapi kulihat dia tidak
begitu tertarik padaku. Sehabis dari pameran itu … oh, kau tahu, aku tidak
begitu menikmati isi pameran itu. Aku lebih menikmati mencuri pandang wajah
perempuan ini. Mukanya bulat, mengenakan jaket jin dengan kaus di dalamnya—tapi
aku lupa tulisannya, roknya hitam sama seperti kausnya, dan sepatu putih.
Jangan tanyakan soal rambut karena aku juga tidak tahu. Ia mengenakan jilbab
hitam. Dan dia sangat menggemaskan, tapi tentu saja aku harus menahan untuk
tidak mengatakan itu padanya.
“Sehabis
dari pameran itu, kami mampir untuk makan di sebuah kafe dan mengobrol lebih
lama dan lebih banyak hal. Kau tahu, aku menyukai isi kepalanya, tapi aku juga
tidak mengatakan itu. Aku tidak punya keberanian. Jadi malam itu kami pulang ke
tempat masing-masing dan aku memimpikannya malam itu. Dan mimpi itu terus
datang secara berkala. Yang menarik adalah, aku tidak berhenti memimpikannya
meski aku sudah punya kekasih.”
Aku
memeluk badan telanjangku yang menggigil di tengah hujan yang berangin.
“Kau
tidak dingin?” tanyaku.
“Tidak.”
“Siapa
nama perempuan itu?”
“Fania.”
“Dan
temanmu?”
“Ferio.”
Aku
diam sejenak, mencerna kembali potongan-potongan yang bisa kutangkap dari
cerita Jason.
“Jadi
kau menganggap kau jatuh cinta pada Fania karena memimpikannya setelah bertemu?”
“Aku
memimpikannya secara berkala. Dan aku sudah mencintainya sebelum itu.”
“Apa
kalian pernah bertemu lagi setelahnya?”
“Tidak,
tapi kami berteman di Instagram dan Twitter.”
“Facebook?”
“Kurasa
dia tidak punya Facebook.”
“Bagaimana
denganmu?”
“Facebook?
Aku masih menggunakannya.”
“Wow!
Kalian pasti akan sangat cocok!”
“Sialan
kau!”
Petir
mulai menyambar. Aku menyerah. Aku berlari ke kamar dan langsung berlindung di
balik selimut. “Taruhan kita batal, aku akan meminjamkanmu PS4-ku selama seminggu
penuh!” seruku.
Jason
terlihat begitu senang. Kurasa ia ingin melompat dan bersalto saking senangnya,
tapi ia batalkan dan ikut bersembunyi di balik selimutku. “Kupikir kau tidak
dingin,” kataku. “Tidak sebelum kau menyerah,” ia menjawab.
Percakapan
tentang Fania yang membuat Jason jatuh cinta pada pandagan pertama pun
berlanjut.
“Kau
berteman dengannya di Instagram dan Twitter, kenapa kau tidak bilang kalau kau
suka padanya?” kataku. “Maksudku cinta,” aku meralat.
“Aku
khawatir momennya sudah tidak tepat dan dia malah berpikir aku mengada-ada soal
itu.”
“Tunggu,
apa dia sudah punya kekasih?”
“Sepanjang
yang aku lihat, tidak.”
“Apa
kau pernah bertemu lagi dengannya?”
“Tidak
pernah. Kami hanya sesekali mengobrol di Instagram atau Twitter, dan kebetulan
beberapa hari terakhir kami sangat intens, dan ia akhirnya menyapaku duluan
setelah sekian lama.”
“Sekian
lama? Memangnya kapan kalian bertemu pertama kali?”
“Tiga
tahun lalu.”