Jonah yang Menyebalkan
Aku
duduk di lantai dua kamarku menghadap ke luar jendela yang terbuka. Angin sepoi
menggoyangkan kain jendela dengan lembut. Dari sini, aku bisa menyaksikan
keramaian yang sedang terjadi di rumah sebelah; sebuah pesta pernikahan yang
cukup meriah untuk ukuran pesta pernikahan rumahan yang diadakan di pinggiran
kota.
Aku
mengenal mempelai wanitanya. Dia adalah Jean, tetangga sekaligus teman
bermainku sejak kecil. Mempelai prianya? Kudengar namanya Adam, tetapi aku
belum pernah bertemu langsung dengannya jadi aku tidak tahu bagaimana
perawakannya. Kuasumsikan, ia lebih tampan dariku.
Aku
mengenal beberapa orang bernama Adam dari bangku kuliah, dan aku cukup yakin
tidak ada satu pun yang mengenal Jean. Terutama Adam Jonah, Adam paling
menyebalkan yang pernah kutemui.
Dari
atas sini, aku memang tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana situasi yang
terjadi di dalam lokasi pesta. Namun, dengan memperhatikan orang-orang
keluar-masuk, aku bisa membayangkan seramai apa acaranya. Dari raut wajah orang
yang keluar masuk pun aku bisa mengira-ngira sebahagia apa Jean dan Adam
pilihannya itu.
Aku
dan Jean berteman sejak kecil. Sejak aku berusia lima dan baru pindah ke rumah
yang kutinggali sekarang ini. Jean adalah orang pertama yang menjabat tanganku
dan mengajakku berkeliling, dan ia memperkenalkan dirinya sebagai Putri Salju
yang Tersesat pada Musim Panas.
“Kau
sungguh konyol. Bagaimana mungkin bisa ada salju pada musim panas?” tanyaku
waktu itu.
“Semua
bisa saja kalau kau menginginkannya,” jawabnya. Tetap saja aku hanyalah bocah
yang tidak mengerti makna setiap kata.
Jika
boleh kugambarkan, kiri-kanan dan depan-belakang rumahku sekarang adalah
pemukiman yang padat dan bersih. Dari atas sini bisa kulihat setiap rumah
memiliki halaman belakang yang luas dipenuhi pohon tinggi hijau, dan halaman
depan berpagar putih dari kayu. Hanya beberapa rumah yang memilih tetap menggunakan
warna kayu alami, tetapi kebanyakan tetap putih.
Tidak
semua rumah memiliki dua lantai, hanya beberapa termasuk rumahku. Dan dulu
rumah-rumah masih jarang. Dua blok dari sini, ada rumah milik duda tua bernama
Rupi, tetapi aku dan Jean lebih suka memanggilnya dengan sebutan Pak Tua Rupi. Pak
Tua Rupi adalah orang yang ramah dan penyayang. Oh, dan tentu saja setia.
Istrinya sudah meninggal belasan tahun, tetapi ia selalu merasa istrinya selalu
menemaninya di dalam rumah makanya ia tidak pernah menikah lagi dan memilih
hidup bersama segerombolan anjing dan kucing liar yang kini jadi piaraannya.
Pak
Tua Rupi juga tidak sempat punya anak, jadi ia sangat senang setiap kali ada
anak yang datang ke rumahnya. Halaman depan rumahnya adalah salah satu dari beberapa
yang terluas di area ini, dan di situlah aku bermain bersama Jean setiap sore
sepulang sekolah.
Rumah
Pak Tua Rupi seperti sebuah taman kanak-kanak yang muridnya terlalu cepat
dewasa sehingga mereka lebih memilih permainan yang lain. Ya, tempat itu selalu
sepi dari manusia. Namun tidak lagi semenjak aku pindah ke sini. Jean selalu
bersemangat mengajakku bermain ayunan atau sekadar main perosotan.
“Aku
pikir di sekolah kita juga ada permainan seperti ini.”
“Ya,
tetapi aku tidak bisa bermain dengan bebas, terutama jika anak-anak berbadan
besar seperti Robby atau Adam sudah ikut bermain. Mereka bertingkah seperti
merekalah pemilik dunia dan seluruh isinya. Aku tidak menyukai mereka. Di sini
aku bisa bermain tanpa ada yang mengganggu. Bahkan Pak Tua Rupi pun tidak.”
“Aku
bisa jadi pengganggu.”
“Aku
tidak takut padamu.”
“Ya,
aku memang pengganggu yang baik.”
Biasanya
aku dan Jean bermain hingga menjelang malam, atau sampai Pak Tua Rupi keluar
bersama anjingnya dan beberapa ekor kucingnya untuk mengusir kami secara sopan.
“Dengar,
aku tidak bermaksud mengusir kalian. Aku hanya khawatir kau tidak tahu arah
mana yang benar untuk pulang jika hari sudah gelap.” Begitu katanya setiap kali
kami lupa waktu.
Aku
selalu ingin menyela perkataannya dengan mengatakan kalau aku hafal semua jalan
di daerah sini, tetapi terakhir kali aku memiliki hasrat yang sama, aku
benar-benar lupa jalan pulang. Dan ingatan yang lemah soal jalan itu masih
terbawa hingga sekarang.
Selama
berbulan-bulan aku dan Jean melakukan rutinitas yang sama setiap sepulang
sekolah. Pada akhir pekan, orangtuaku selalu mengajakku keluar kota sehingga
aku tidak pernah punya waktu dengan Jean setiap akhir pekan. Dan pada satu
liburan musim dingin, kami pergi cukup lama sehingga Jean tidak mendapat kabar
apa pun dariku. Begitu pulang, ia langsung menamparku ketika kami bertemu lagi.
“Aku
sangat merindukanmu, Bodoh!”
“Ya,
aku tahu, tapi kau tidak perlu menamparku juga. Auh! Ini sakit sekali.”
“Kenapa
kau lama sekali?”
“Kami
terjebak badai ketika liburan, jadi tidak bisa langsung pulang.”
“Aku
mencintaimu!”
Aku
terdiam cukup lama. Lagi-lagi, aku sulit mencerna makna dari setiap kata,
terutama kata-kata barusan.
“Ak-aku
…”
“Aku
tahu. Kau tidak mencintaiku, kan?”
“Tidak.
Bukan begitu.”
Jean
berbalik dan berjalan meninggalkanku.
“Jean,
tunggu!”
Ia
tidak menggubrisku. Ia tetap berjalan menjauh sementara aku masih memegangi
pipiku yang rasanya benar-benar sakit. Aku menyukai Jean. Maksudku, aku mungkin
mencintainya. Namun aku tidak benar-benar tahu bagaimana itu cinta dan apakah
perasaan yang kurasakan sekarang adalah cinta. Yang aku tahu, aku sangat
senang, nyaman, dan merasa aman setiap berada di dekat Jean. Hanya saja, aku
tidak tahu bagaimana mengutarakannya jadi yang kulakukan hanyalah berusaha
tetap berada sedekat mungkin dengannya. Kupikir dengan begitu dia akan tahu.
Selama
berbulan-bulan setelah kejadian itu, aku dan Jean tidak pernah lagi bermain di
rumah Pak Tua Rupi. Selama itu, aku menyibukkan diri membantu orangtuaku
berjualan alat pemotong rumput yang didatangkan dari kota. Semua orang
menyukainya, terutama karena ayahku sangat memahami setiap hal dari mesin yang
ia jual. Jadi aku sedikit demi sedikit mempelajarinya.
Aku
baru bertemu lagi dengan Jean ketika kami sudah duduk di bangku SMP. Waktu itu
tidak sengaja kami bertatapan mata ketika ia hendak menyeberang jalan dan ia
menyapaku. Lalu kami akrab kembali, dan ia bercerita banyak hal mulai dari apa
saja yang ia lakukan sejak terakhir kali bertemu denganku, hingga hal-hal apa
yang sedang ia gandrungi sekarang.
“Aku
sangat menyesal menamparmu malam itu, tetapi aku tidak berani datang untuk
meminta maaf. Maka aku menangis sepanjang malam sampai-sampai ibuku bingung apa
yang harus ia perbuat. Kau, apa yang kau lakukan setelahnya?”
“Oh,
aku tidak begitu ingat. Namun aku ingat malam itu kau menamparku.”
“Hanya
itu?”
“Kau
tahu aku tidak begitu pandai untuk urusan seperti itu.”
Kami
akhirnya makan di kantin sekolah hari itu dan hari-hari setelahnya. Aku seperti
kembali menemukan serpihan hati yang sudah lama hilang, dan kedekatan kami
bertahan hingga setidaknya 15 tahun setelahnya, sebelum akhirnya Jean
menghancurkannya kembali 350 jam sebelumnya.
15 hari sebelumnya …
“Kenapa
kau tidak memberitahuku sebelumnya, Jean? Kenapa?”
“Aku
berusaha memberitahumu, tetapi kau terlihat tidak punya pendirian sama sekali.”
“Apa
maksudmu?”
“Kau
tidak pernah mengatakan sesuatu seperti ‘Aku mencintaimu’ atau ‘Aku ingin hidup
denganmu’ atau ‘Aku ingin menikah denganmu’ dan semacamnya.”
“Ya,
tapi kau tahu aku tidak begitu pandai untuk urusan seperti itu.”
“Aku
hanya butuh kepastian, dan kau tidak pernah memberikannya.”
“Apakah
apa yang aku lakukan selama ini tidak cukup? Oh, ayolah. Kau tau aku tidak
begitu pandai untuk urusan seperti itu, Jean.”
Jean
menatap mataku yang kurasa sudah berlumuran air mata. Ia melihatku menangis dan
aku memohon untuk membatalkan pernikahannya, tetapi ia bersikukuh semuanya
sudah terlambat untuk dibatalkan.
“Aku
tidak bisa membatalkannya semudah itu.”
“Kenapa
tidak?”
“Ada
banyak hal yang jadi pertimbanganku, dan sekarang sudah terlambat.”
“Kau
yakin tidak ada cara lain?”
“Oh,
Ayolah. Kau tahu aku tidak pandai untuk urusan seperti itu.”
Malam
itu aku meninggalkan Jean dengan air mata dan rasa sakit yang tidak
tertahankan, dan malam ini aku hanya bisa menyaksikan kebahagiaannya bersama
lelaki pilihannya dari balik jendela kamarku.
Bersama
suara angin musim panas yang sepoi lembut aku melayangkan pertanyaan,
“Bagaimana mungkin dia lebih memilih lelaki itu dibanding aku?” Lalu
sepersekian detik kemudian, suara lain dari dalam diriku menjawab, "Semua
bisa saja kalau kau menginginkannya." Akhirnya aku mengerti makna dari
kata-kata itu.
Keesokan
harinya, aku berjalan-jalan melintasi rumah Jean menuju blok rumah Pak Tua Rupi
yang baru berpulang bulan lalu. Dari jauh aku melihat Jean bersama suaminya,
mereka sedang berdiri memandangi taman di halaman depan Pak Tua Rupi yang tidak
lagi terurus. Aku menghampiri mereka.
“Hai.”
Jean menyapaku.
“Hai.”
Aku menjabat tangannya. Sementara itu suaminya masih memandangi halaman depan
Pak Tua Rupi.
“Adam
berpikir untuk membeli rumah ini,” kata Jean.
“Oh,
itu bagus,” jawabku.
Adam
suami Jean akhirnya menghampiriku, dan rupanya ia adalah Adam Jonah yang
menyebalkan itu.