Hal yang Paling Dibenci Einstein
Kalau
ada satu hal yang cukup gue benci dari diri gue, maka itu adalah.. selalu ingat
muka orang, tapi enggak ingat namanya.
Gue
beberapa kali enggak sengaja ketemu sama orang yang gue ingat mukanya tapi lupa
namanya setiap kali lagi keluar rumah, entah buat jalan-jalan atau ngurus
sesuatu. Makanya, setiap kali keluar dan ngeliat orang dari jauh dan gue dalam
hati merasa kalau orang itu sepertinya bakal ngenalin gue sementara guenya
enggak, gue langsung membuang muka.
Bukan,
bukan karena gue sombong. Gue memang susah mengingat nama orang yang enggak
dekat-dekat banget sama gue, atau orang yang enggak pernah berhubungan langsung
sama gue meskipun mereka bisa mengenali gue dengan sangat baik.
Waktu baru keluar dari bioskop
Waktu
itu gue baru banget pulang dari Jogja. Gue nonton film Pengabdi Setan-nya Joko
Anwar yang lagi hype waktu itu. Begitu keluar dari bioskop, gue ngeliat
perempuan yang gue ingat sebagai teman kerja waktu gue masih bekerja sebagai
promotor handphone saat cuti kuliah dulu.
Seperti
biasa, gue refleks menunduk sambil main hape dan berharap di enggak ngeliat
gue.
“Firman!”
Ternyata
dia manggil gue dong!
Karena
pas ada yang manggil itu gue refleks mencari sumber suara dan ternyata orangnya
pas banget ada di depan gue, gue pun membalas sapaannya dengan senyum.
“Dari
mana?” tanya dia sambil mengulurkan tangan untuk salaman.
“Eh,
habis nonton,” jawab gue sambil senyum.
“Firman,
kamu masih ingat saya gak?”
Tentu
saja gue ingat. Orang ini dulunya satu toko sama gue. Gue ingat banget dia jago
jualan, dan paling sering ngajakin gue makan siang di warung yang katanya
paling murah setiap jam istirahat.
“Ingat
dong!” kata gue. “Kamu jaga di store mana sekarang?”
Dia
menyebutkan nama toko dan beberapa nama orang lain yang beberapa gue ingat,
sementara sisanya enggak sama sekali, termasuk nama dia.
“Terus
sekarang kamu jaga di store mana?” tanya dia.
“Oh,
sekarang saya sudah tidak kerja di handphone. Saya baru pulang dari Jogja. Kemarin
kerja di sana.”
Setelah
kurang-lebih lima menit, gue akhirnya keluar dari situasi percakapan yang kikuk
itu. Dan, kemudian kekikukan ternyata berlanjut di dalam…
Matahari Department Store, pada hari yang sama
Gue
memang sudah ada rencana sehabis nonton mau nyari celana buat dipake jogging. Sehari
sebelumnya, gue nanya temen gue si Ari dan dia bilang di Matahari Store ada
celana yang lumayan bagus buat jogging dengan harga yang cukup murah.
Pas
lagi asik memilih, ada lagi perempuan yang nyamperin gue.
“Bisa
dibantu, Mas?”
“Oh,
ini enggak ada yang polosan aja gitu ya, Mbak?” jawab gue tanpa memandang ke sumber
suara. Gue sibuk memilih celana yang numpuk di keranjang besar dan tidak
terlipat rapi.
Sebelum
dia menjawab, gue lalu memandang ke arahnya dan dia tertawa.
“Lah,
kamu?”
Gue
ingat muka orang ini, tapi bener-bener lupa namanya siapa.
“Firman,
kamu cari celana apa?”
DIA
INGAT NAMA GUE LAGI, BANGKAI.
“Oh,
iya. Ini saya lagi cari celana buat jogging,” jawab gue. “Kamu ngapain di sini?”
“Lagi
mau cari baju juga, terus kebetulan lihat kamu di sini.”
“Oh.”
Gue melanjutkan mencari celana yang pas.
“Eh,
Firman coba yang ini deh. Tapi ada tulisannya sedikit di bagian paha.” Dia ngasih
gue celana dengan tulisan “NEVADA” segede gaban di bagian paha.
“Ih,
enggak ah. Tulisannya kegedean.”
“Firman,
Firman, kalau yang ini gimana?”
Gue
nyamperin dia ke keranjang sebelah. Dia menunjukkan celana dengan motif tentara
di salah satu bagiannya.
“Duh.
Saya enggak suka motif tentara kayak gini. Tidak sesuai dengan penampilan saya.”
“Iya
sih, kamu enggak cocok,” timpal dia.
Dalam
hati, dengan halus: Terus kenapa nawarin, goblok. Lalu kemudian sisi
diri gue yang lain menjawab: Yakan siapa tau aja suka.
“Firman,
kamu sekarang sibuk apa?”
“Oh,
enggak sibuk apa-apa. Lagi di rumah aja. Baru pulang dari Jogja.”
“Di
Jogja kerja?”
Gue
cuma mengiyakan lewat eskpresi muka.
“Saya
sering lewat depan rumah kamu, tapi enggak pernah liat kamu. Taunya kamu di
Jogja toh.”
Hm.
Berarti orang ini adalah tetangga gue.
Gue
berusaha nanya balik untuk menggali informasi yang barangkali bisa membantu gue
mengingat nama orang ini. Dia menyebutkan beberapa nama orang yang hampir semua
gue kenali, tapi ternyata tidak terlalu membantu untuk mengingat nama dia
sendiri.
Akhirnya
pertemuan gue hari itu dengan dia berakhir dengan kegagalan gue mengingat nama
orang untuk kesekian kalinya, dan gue membeli satu buah celana dengan tulisan “NEVADA”
segeda gaban di bagian paha.
Kemarin, di kantor pos
Belakangan
ini, adek gue lagi belajar jualan online dengan beberapa orang temannya.
Salah satu rekan jualannya adalah adik kelas gue waktu SMP yang katanya kenal
sama gue. Seperti biasa, gue tentu saja enggak ingat sama sekali, tapi pas adek
gue nanya, gue dengan sok bilang kalau gue tau.
“Saya
partneran sama Ira,” kata adek. “Katanya dia kenal sama kamu. Adik kelas waktu
SMP katanya.”
“Ira?”
“Iya,
yang rumahnya dulu tempat rental PS. Yang samping masjid depan Indomaret itu.”
“Oh,
Ira.”
“Iya,
itu.”
Percakapan
itu berakhir dengan adek gue mengira gue kenal dengan Ira yang dia maksud. Padahal
enggak. Seiring waktu berjalan, jualan adek gue cukup laku dan si Ira sering
datang ke rumah gue dan adek gue selalu nanya apakah gue mau ketemu sama dia
atau enggak, yang selalu gue balas dengan, “Nanti aja, lagi malas keluar kamar.”
Kebetulan,
kemarin orderan adek gue lagi banyak tapi dia lagi sakit demam. Jadi gue
diminta buat bantuin dia ngirim paket ke pelanggannya.
Begitu
sampai di kantor pos, gue melihat ada dua orang (satu laki-laki, satu
perempuan) yang sedang berdiri kayak lagi ngisi form, dan satu ibu-ibu yang
lagi duduk antre.
Pas
masuk, dua orang yang berdiri ini melihat ke arah gue dan yang perempuan
tersenyum lebar sambil bilang, “Eh, Firman.”
Gue
ingat sama muka perempuan ini. Karena dia berkumis tipis dan gue ingat sempat
mengagumi dia karena kumis tipisnya itu. Masalahnya, gue enggak ingat namanya.
Gue
tentu saja refleks membalas senyumnya, sambil berusaha terlihat seperti gue
kenal dengan bilang, “Jauh amat ke sini?” yang dia jawab dengan “Kan rumah saya
di dekat sini. Kamu kali yang kejauhan.”
Akhirnya
gue cuma ketawa gak jelas.
Karena
paket yang gue bawa cukup banyak, jadi gue harus menunggu lumayan lama sampai
proses input pesanan selesai. Kebetulan, si perempuan tadi juga masih ngisi
form yang gue enggak tau apa.
“Eh,
Firman, kamu kerja di mana sekarang?”
Gue
sempat bingung dan khawatir dia akan mengerti dengan jawaban gue. Maka, karena
gue lagi bawa paket adek gue, gue jawab aja gue jualan, ngurusin olsyop.
“Enggak
mungkin,” kata dia. “Masa olshop. Kamu kerja di mana?”
“Saya
kerja di rumah.”
“Ngaco!
Masa kerja di rumah sih.”
Akhirnya
perdebatan enggak penting itu berhenti sendiri setelah form yang dia isi
selesai. Setelah form itu dia setor, dia kembali duduk di sebelah gue.
“Eh,
Firman, yang gemuk-gemuk itu pacar atau istri kamu?”
Gue
sedikit kaget. “Yang gemuk yang mana?”
“Ih,
pacar kamu saking banyaknya sih sampai lupa.”
Karena
bingung mau merespons seperti apa, akhirnya gue cuma tertawa dan melihat
ibu-ibu yang tadi antre memandangi gue dengan tatapan heran.
Setelah
transaksi di kantor pos selesai, gue pamit ke mereka.
“Eh,
main-main ke rumah lagi,” kata dia.
LAGI?
“Emang
rumah kamu di mana sekarang?”
“Masih
yang dulu, yang kamu pernah main ke sana sama Kak Ira,” jawab dia.
Mendadak
kepala gue pusing.
Rasanya
setiap kali gue ketemu orang, semesta berkonspirasi untuk memaksa gue
mengetahui hal-hal yang paling dibenci oleh Einstein sekalipun.