Tidak Pernah Lebih Baik

Rumah Sejuta Martabak Apparalang




Sambil menunduk aku menyusuri bibir pantai. Aku berjalan sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana, memikirkan tentang hal-hal yang tidak kunjung membaik.

Sesekali ombak menyentuh kakiku yang telanjang, menyapu pasir di atas kaki. Kadang, aku berharap ia juga rangkap menyapu segala bentuk masalah di dalam kepalaku yang rasanya ingin meledak.

Dari kejauhan, aku melihat sepasang kekasih sedang memandang ke arah matahari yang sebentar lagi akan tenggelam. Semburat warna jingga di langit semakin mempercantik latar belakang mereka. Di dekatku, kulihat beberapa anak kecil berlarian sambil membawa kerang-kerang kecil untuk dipamerkan ke teman-temannya.

Aku terus saja menyusuri pantai yang entah di mana ujungnya ini. Matahari tinggal separuh, dan dingin semakin terasa. Sesekali kemeja putih yang kukenakan terangkat oleh angin, dan segera kubereskan dengan sapuan tangan saja.

Kepalaku masih saja memikirkan masalah-masalah yang tidak kunjung bertemu solusi; keluarga, tumpukan pekerjaan, dan tentu saja asmara.

Tanpa terasa, air mata jatuh membasahi pipi. Aku pun tidak lagi mampu menahan tangis. Aku berhenti dan duduk menghadap matahari yang akhirnya menghilang. Kusapu air mata yang tersisa dan berusaha menghentikan tangis. Orang-orang yang tadi masih kulihat menikmati sore, kini mulai menghilang satu per satu.

Hari sudah gelap sempurna, air mata pun sirna.

“Hai, apa kau baik-baik saja?” seseorang asing menghampiri dan menanyaiku.

Aku berdiri dan menepuk bagian belakang celana. “Ya, tentu. Tidak pernah lebih baik dari ini,” jawabku sambil berlalu meninggalkannya dengan senyum yang begitu kupaksakan.

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.